Wednesday, June 28, 2006

Tentang Lokalitas Sastra

Prihal lokalitas sastra aku sepakat dengan SI Malin Kundang yang kata Goenawan Moehamad bisa terjadi di mana saja. misalnya, dalam The Satanic Verses Salman Rushdie: seorang muda Pakistan pindah ke Inggris, berontak pada ayahnya, dan suatu hari muncul berbentuk setan. Sebuah alegori, tentu, di sebuah novel yang sarat dengan alegori, yang oleh Rushdie diaduk dengan kejadian sehari-hari, dengan humor, imajinasi yang murtad, dan dongeng puitis—sebuah lukisan kemajemukan rasa getir dan gairah, ilusi dan ambisi, ketika orang-orang Pakistan, dengan pelbagai jenis kemiskinan mereka, mentransformasikan diri menjadi warga sebuah negeri bekas penjajah yang angkuh tapi rusuh: Inggris. Namun, Si Malin dalam The Satanic Verses tak berakhir dengan kutuk. Si Setan akhirnya berdamai dengan dirinya. Ia pun berwujud manusia kembali. Ia terbang ke tanah leluhur, menemui ayahnya yang menjelang wafat: si anak hilang memutuskan untuk pulang, meskipun ia tak bisa sepenuhnya pulang. Sering orang menyangka bahwa Si Malin adalah sebuah kasus migrasi budaya si anak hilang pindah ke lingkungan kultural lain secara final seperti Hanafi dalam novel Salah Asuhan. Tapi tokoh Hanafi dikemas untuk jadi "contoh soal". Ia bukan sosok yang hidup. Dalam hidup, yang sering kita temukan bukanlah dia, melainkan gejala yang oleh Umar Kayam disebut sebagai "cultural commuters": mereka yang bolak-balik antara lingkungan budaya "asal" dan budaya "luar", tak henti- hentinya sementara itu kita tak tahu lagi apa persisnya arti kata "asal" dan "luar" sekarang ini. Mungkin karena kolonialisme zaman Hanafi telah digantikan. Hidup tak lagi dilihat seperti sebuah ruang dengan dua kutub yang tak sederajat. Dulu ada "kolonialis"-"nasionalis", "Barat"-"Timur", "kemajuan"-"tradisi", dan seterusnya, masing-masing dengan esensi dan hierarki yang berbeda. Kini benda, hasrat, mimpi, ide -- ya, hampir semua hal -- berproses, melintas dari satu letak ke letak lain, di ruang yang serentak terbuka, dengan semua arah yang setara. Maka, nasib Malin Kundang pada zaman ini bukanlah menjadi batu, melainkan mengalami differance. Ia kita temui sebagai proses, bak rangkaian jejak sebuah perjalanan bolak-balik yang tak kunjung usai. Kita baru menangkap artinya dengan meringkaskannya, kita memahaminya dengan mengikhtisarkan lalu lintas tilas yang tak tak terbatas itu. Jadi, apa arti sebuah negeri tempat Si Malin berangkat dan pulang? "Sebuah negeri bukan hanya tanah dan rumah-rumah. Sebuah negeri adalah wajah-wajah, kaki yang menjangkar dalam bumi, kenangan, bau yang tercium pada masa kanak, sepetak ladang mimpi, sebuah nasib ke arah harta karun yang tersembunyi di kaki gunung". Itu ucapan seorang gadis dusun Berber dalam novel Yeux baisses, karya Tahar ben Jelloun, sastrawan muslim Maroko yang menulis dalam bahasa Prancis itu. Si gadis lahir di sebuah ladang miskin Maroko, datang ke Paris, belajar di sana, berubah, tapi mesti kembali. Ia harus memenuhi nubuat: ia telah diramal akan jadi orang yang menemukan sebuah harta karun yang tersembunyi di kaki gunung, untuk kesejahteraan sukunya. Tapi benarkah ia 20 tahun kemudian itu kembali? Novel Ben Jelloun tergenang kalimat-kalimat yang cemerlang tapi cair, yang sering menggelincirkan kita ke beberapa lapisan dunia imajiner. Pernah kita dengar keluh si gadis tentang susahnya jalan pulang kembali, tapi pernah juga ia seperti kangen. Di akhir buku, ada sepucuk surat dari kekasihnya yang pergi: "Tadinya kukira kau ada di antara dua budaya, di antara dua dunia; tapi sebenarnya kau ada di sebuah tempat ketiga, yang bukan tanah kelahiranmu, bukan pula negeri pungutmu". Di mana itu, kita tak tahu. Mungkin gadis Berber itu juga bolak-balik, seperti "Ahmad", tokoh dalam novel Ben Jelloun yang lain, l'Enfant de Sable, yang riwayatnya dikisahkan oleh tiga pencerita dengan akhir yang berbeda-beda. Syahdan, ada seorang gadis kecil Maroko yang dibesarkan sebagai anak lelaki dengan nama "Ahmad", karena ayahnya hanya punya delapan anak perempuan. Ia lari mengembara. Tetap sebagai "Ahmad", ia bergabung dengan sebuah rombongan sirkus. Di pentas ia harus selalu menjadi Zahra, seorang wanita. Artinya, keperempuannya, sifat asalnya, kemudian "hanya" jadi sebuah polah panggung. Mana yang asal mana yang bukan pun jadi problematis. Maka, bisakah ia menganggap "asal" sebagai sesuatu yang punya hakikat? Tidak, jika lakon kita sekarang adalah "Ahmad/Zahra": Malin Kundang di dunia yang tak lagi tampak terdiri dari dua kutub, para nomad yang berkata, "Pelbagai negeri dan abad pernah lewat di depan mataku. Kakiku mengingat semua itu". *Esay Si malin Kundang oleh Goenawan Moehamad

Saturday, June 24, 2006

Diskusi Bilik Jumpa Sastra

Lokalitas Sastra=eksotisme Mengapresiasi sajak-sajak Udo Z Karzi yang memakai bahasa lampung, seharusnya bukan hanya sastra yang hadir dalam medium bahasa Lampung tok. Dus dicetak supaya dibaca oleh komunitas yang berkomunikasi dalam dan dengan bahasa Lampung. Namun begitulah adanya. Udo Z membatasi apresiasi kita di wilayah itu. Udo hanya menulis. Memberi makna pada teksnya dan meminjam idiom rasa bahasa Lampung untuk sajaknya. Hal ini terungkap dalam diskusi bilik sastra di Unila beberapa waktu lalu. Udo tidak sedang memberontak terhadap kemapanan bahasa nasional apalagi terhadap kemapanan struktur bahasa Imperial, seperti keingginan Ahmad Yunus, selaku pembahas malam itu.

***

Perdebatan mengenai lokalitas dalam sastra mungkin sedang berlangsung diantara kaum liberal dan kaum “populis”. Permasalahan tersebut bukanlah persoalan bagi pembaca. Dialektika materialis berdiri di atas ini, dari cara pandang proses historis yang obyektif, karya sastra merupakan pelayan sosial dan berdasarkan sejarah bersifat utilitarian. Udo mungkin dalam barisan ini; memberikan alunan kata yang dibutuhkan bagi suasana hati yang samar dan kelam, mendekatkan atau mengkontraskan pikiran dan perasaan, memperkaya pengalaman spiritual individu dan masyarakat, memurnikan perasaan, menjadikannya lebih fleksibel, lebih responsif, memperbesar volume pemikiran sebelumnya dan bukan melalui metode personal yang berdasar pada pengalaman yang terakumulasi, mendidik individu, kelompok sosial, kelas dan bangsa. Dan apa yang disumbangkannya tersebut tidak dipengaruhi oleh permasalahan apakah sastra tersebut muncul di bawah bendera daerah atau nasional, apalagi yang bertendensi pada sebuah kasus tertentu.

Usaha mendefinisikan sastra lokal, hanya mengandaikan satu kesusasteraan yang terkungkung dan dikungkung oleh satu lokalitas. Karna jika lingkungan dan relasi produksi telah mempengaruhi seni, lalu tidakkah tema-tema seni akan terikat pada tempat-tempat yang terhubung dalam relasi-relasi itu saja? Padahal tema tak terbatas wilayah bukan? Meski kita sudah terbiasa menerima kehadiran sastra lokal tanpa mempertimbangkan vitalnya aspek eksklusivitas sastra bersangkutan. Bahkan cenderung menerimanya sebagai sesuatu yang inklusif hingga terbuka pada pengaruh asing. Ketika kita membaca sajak-sajak Udo Z, meski memakai bahasa Lampung secara teramat personal, kita tetap bisa meraba dan melihat bayang-bayang pola ekspresi Ws Rendra. Maka kita tak bisa menyebut itu sebagai sastra lokal Lampung. Semua itu jelas merujuk kepada sebuah pola dan mode estetika dan ekspresi sajak modern Indonesia, meski telah diadaptasikan di dalam dan dengan bahasa Lampung yang bagus. Dan, ketika kita tak bisa menyebut itu sebagai sastra lokal Lampung, maka kita mengerti kalau lokalitas (sastra) itu tak boleh eksklusif dan harus selalu inklusif.

Terminologi lokalitas yang coba ditekankan secara eksklusif itu selalu dibarengi sikap permisif dan toleran mengandaikan sifat inksklusif sehingga estetika, ekspresi, idiomatik, kekayaan budaya, seting sosial, filsafat dan seterusnya dari satu komunitas (budaya) bisa beralih dan dipinjam oleh komunitas (budaya) lainnya. Ini agar teks sastra mutakhir satu komunitas (budaya) mendapat pengayaan verbal dan substansial. Karna lingkungan tidak mengekspresikan dirinya sendiri dalam sastra. Jika bias! maka muncullah argumen dari mana asal muasal ide cerita Simalin Kundang berasal? Apakah dongeng itu murni Sumatra Selatan, atau telah bersintesa dengan keragaman budaya lain. Untuk menyebutkan bahwa lingkungan seseorang, termasuk seorang sastrawan, yaitu kondisi dari pendidikan dan kehidupannya, menemukan ekspresi dalam seninya bukanlah berarti menyatakan bahwa ekspresi seperti itu memiliki karakter geografis, etnografis, dan karakter statistikal yang sama persis. Tidaklah mengejutkan bahwa adalah sulit untuk memutuskan apakah sebuah novel ditulis di Mesir, India atau Persia, karena kondisi sosial dari negara-negara tersebut memiliki banyak kesamaan. Tapi fakta utama bahwa ilmu pengetahuan Eropa “memecahkan kepalanya” mencoba untuk menjawab pertanyaan ini dari novel tersebut menunjukkan bahwa novel itu merefleksikan sebuah lingkungan, meskipun tak sama persis. Tak seorang pun bisa melompat diluar dirinya. Bahkan omelan dari seorang yang sakit jiwa berisi sesuatu yang orang itu terima dari dunia luar sebelum dia sakit. Tapi adalah gila untuk menganggap omelannya sebagai refleksi akurat dari dunia di luar dirinya. Hanya seorang psikiatris yang berpengalaman dan penuh perhitungan, yang mengetahui masa lalu dari sang pasien, yang akan mampu menemukan mana bagian realita yang terefleksi atau terdistorsi dalam isi omelannya

Kreasi artistik tentu saja bukanlah omelan meskipun ini juga merupakan pembelokan, sebuah perubahan dan transformasi realita, sesuai dengan hukum-hukum kekhususan seni. Sejauh apapun seni fantasi melangkah, dia tak bisa menolak material lain kecuali apa yang diberikan dunia tiga dimensi dan masyarakat berkelas padanya. Bahkan saat sorang artis menciptakan sorga dan neraka, dia hanya mentransformasikan pengalaman dari hidupnya dalam phantasmagoria. Kita juga tahu kalau tidak ada lagi rasa, aroma, substansi dan hakikat Lampung di sana. Bahkan Lampung masa kini, yang secara sosial-politik terdesak oleh dominasi Indonesia (Jawa) dan dunia global.

Isu sastra lokal hanya ada dalam khazanah sastra Indonesia, dan diformulasikan sebagai sastra Indonesia yang terbuka pada realitas para pelakunya (para sastrawan itu) berjejak pada geografis Indonesia yang terkotak-kotak dalam kekayaan budaya suku. Ada Sunda - meski orang Cirebon tidak merasa Sunda dan orang Banten lama mempunyai kejayaan sejarah sendiri. Ada Jawa - yang terpecah dalam wilayah budaya pesisir, Madura, Ujung Timur, dan mungkin Samin dan Tengger. Sehingga, sastrawan Indonesia yang menulis sastra Indonesia dengan bahasa Indonesia berhak menampilkan manusia Sunda dengan seting Bandung atau Sumedang. Atau, seorang sastrawan Pariaman mengungkapkan karakter manusia dan filsafat hidup Minang dalam bahasa Indonesia bagi pembaca non-Minang. Dan, seterusnya.

Lokalitas adalah eksotisme. Sebuah bagian dari genre sastra romantik - sejak setengah abad lalu menggejala di dalam tradisi balada. Sebagai eksotisme, hal itu menjadi semacam kegenitan 'dandyisme' yang menyebabkan sebuah teks sastra tampil kemayu. Setengah tidak dipahami oleh apresiator yang berbeda latar, budaya dan bahasa (ibu) dari si sastrawan, karenanya terpaksa dibuatkan catatan kaki - atau pengantar oleh kritikus apresiatif yang banyak membualkan eksotisme bagi turis.

* * *

Ada kecenderungan teks sastra Indonesia tidak bisa gampang dicerna dalam apresiasi awam tanpa membawa bekal referensi budaya lokal. Ada faktor-faktor estetika, ekspresi seni, filsafat, karakter, kekayaan budaya dan seterusnya - yang teramat lokal. Dengan melihat lokalitas Bloomington dalam kumpulan cerpen Budi Darma, Orang-orang Bloomington, atau Orang-orang Pinggiran dan yang Terpinggirkan dalam cerpen Joni Ariadinata, maka kita melihat lokalitas sebagai potensi seting, karakter tokoh, serta kemungkinan konfliks - selain idiom rasa bahasa. Karenanya, lokalitas menjadi kemungkinan menjelajah Nusantara dengan bahasa sebagai pisau analisis dan menjadikan teks sastra sebagai altar per-sembahan eksotisme posmo. Tak lebih dan tak kurang.

Bila tak punya motif menjual eksotisme lokal bagi orang kebanyakan di pasar, kenapa mereka masih memilih bahasa Indonesia? Padahal hal lokal itu akan menggejolak penuh gairah kalau disampaikan dalam dan dengan bahasa daerah. Bukankah sastra lokal akan tampil sangat eksklusif ketika diungkapkan dengan estetika, ekspresi dan bahasa daerah? Seorang Godi Suwarna atau So-ni Farid Maulana lebih mendekati ideal sastra lokal ketika mengadaptasikan yang nasional ke lingkup komunitas suku. Meski secara finansial lebih bagus mengekspor eksotisme lokal ke dunia global dengan bahasa Inggris sehingga kita mendapat julukan maestro posmo.

Tapi apa benar lokalitas (sastra) berhubungan dengan pangsa pasar? Ekslusivitas karya sebenarnya berjiwa inklusif dan memiliki efek finansial? Jadi, selalu ada langit di luar dan langit di dalam diri setiap sastrawan?

Bilik Jumpa Sastra, Minggu, 24 Juni 2006

Wednesday, June 14, 2006

Goal

Tiga belas hari sebelum peluit pertama piala dunia ditiup di stadion Munich Jerman. Sang wasit jagat raya telah mengoyang Yogya dengan 6,3 Skala Richter di pagi buta 27 mei. Kabar tersiar, korban bertambah. Dua-lima hari, posko bantuan menjamur, sukarelawan penuhi jalan dengan kardus bertulis dana bantuan Yogya dan Jawa Tengah. Kampus ikut, pegawai rektorat dipotong gaji. Saya dan beberapa teman di UKM ngamen dan melelang buku untuk disumbangkan. Dua-lima hari itu, hampir semua orang berdecak iba. Media mempropokasi masa menyiarkan air mata, gempa menelan korban 6.234 jiwa dan ratusan rumah yang ringsek. Koran, televisi dan radio, berlomba membuka pundi amal. Acara lawak yang biasa saya tonton tidak lucu, tidak juga membuat saya menangis. Padahal Taufik Safalas merubah mimik mukanya sesedih mungkin. Mereka bilang ini diluar skenario. Dus, malam itu mereka hanya mengundang penyayi dan membuka premium call mengalang dana. Ya, dua—lima hari itu semua perhatian tertuju pada Yogya dan Jateng. Pada gempa yang membinasakan. Sekali lagi dua—lima hari.

***

Tanggal sepuluh, seorang teman yang kuliah di Yogya datang pagi-pagi temui saya. Padahal mata ini masih berat, malam saya begadang nonton partai pertama piala dunia dan mengkomentari sang komentator Titik Prabowo Suharto. Saya salah satu penggagas nontong bareng dengan kawan-kawan di gedung PKM malam itu. Nama teman saya itu Peter Pratama, mahasiswa Psikologi UII Yogya. Dia dijemput pulang oleh orang tuanya dua hari lalu. Dia bilang dia tidak nonton bola semalam, makanya saya menceritakan aksi tendangan jarak jauh pemain Jerman Torsten Frings. Namun cerita saya tidak membuat dia tertarik. Peter malah jengkel dengan cerita saya. Dia bilang tidak mungkin bisa menikmati piala dunia, masih terbayang karibnya ditimpa beton kos-kosan dan orang-orang berteriak memohon ampun pada sang kuasa. Bahkan sekarang disela hujan yang menguyur Yogya, para korban gempa masih takut dengan gempa atau Tsunami susulan. Peter bercerita tentang bagaimana warga Yogya marah benar, ketika ada orang yang memotret puing reruntuhan. Mereka bilang “ini bukan objek wisata, yang perlu difoto” bahkan dibeberapa tempat kata-kata itu ditulis. Menurut Peter di yogya kehidupan mandek, ekonomi pupus, mereka perlu dibantu untuk bangkit. Uh..Seperti terbanggun dari mimpi rasanya, hari itu saya benar-benar ditegur, untungnya itu dari Peter.

Setelah pertemuan saya dengan Peter, keesokannya saya niatkan untuk melebihkan proporsi baca koran dan nonton Televisi seputar isu gempa Yogya dan Jateng. Kebetulan saya pembaca setia Lampung post, Kompas, Majalah Tempo dan member tempointeraktif.com. Sialnya, saya hampir tidak temukan berita gempa Yogya, jika pun ada itu pun dihalaman dalam, biasanya cerita tentang perusahaan apa bantuannya apa mengirim Yogya, beritanya ditambah foto sang direktur perusahaan menyerahkan bantuan secara simbolis. Selebihnya berita piala dunia. Namun ada juga media menempatkan kamera atau reporternya untuk memantau secara kontiyue di Yogya. Salah satu contoh ada berita yang saya pikir bisa mengambarkan kondisi Yogya. Kompas 11/06, memberitakan seorang relawan asing yang juga dokter dinyatakan menderita gangguan jiwa. Menurut dokter yang menanggani relawan tersebut, “ia tidak kuat menghadapi kenyataan banyaknya korban dan kerusakan fisik yang ditimbulkan akibat gempa, hal inilah yang membuat jiwanya terguncang dan mengalami gangguan jiwa.” Lanjut, Kompas mencatat, sedikitnya ada 16 orang yang mengalami hal serupa. Gila karna menyaksikan bencana masal ini. Namun berita macam ini sangat langka dimedia. Jika dibanding berita piala dunia, mungkin hanya nol koma persen. Bahkan Lampung Post membuat suplemen delapan halaman khusus mengulas piala dunia. Walau hanya SCTV yang secara resmi mempunyai hak siar, namun pengelola televisi lain, tidak kalah akal, mereka menayangkan ulasan, sorotan, kilas, pengalaman pertandingan, dan banyak lagi. Bahkan sekarang segala acara hiburan seperti lawak, kuis, sampai reality show, menyerempet bola. Inilah pesona bola yang membuat SBY merasa perlu mengundang Atlet nasional untuk nonton bareng di Istana.

Namun seperti cerita saya tadi, saya sempat lupa dengan gempa di Yogya. Ini mungkin karna saya yang kurang peka dan terbawa suasana ciptaan media. Terus terang saya malu dan mempertanyakan integritas diri saya sendiri. Ini seharusnya menjadi evaluasi kita pada media. Lihatlah dua—lima hari hebohnya mereka mencari simpati audiacenya, agar pembaca, menonton, dan pendengar terfokus pada media mereka. Sensasi gempa yang menelan korban 6.234. Dua—lima hari pasca piala dunia, siapa yang tau gempa membesar di lampung. Dan mungkin hanya dua—lima hari media dan relawan sibuk, bagai mana dengan kita?

P ojok PKM, 14 Juni 2006

Pers Mahasiswa di Lampung Post

Pers Kampus tak Cuma Menulis Lo... KEBERADAAN pers kamus kian marak di perguruan tinggi di Lampung belakangan ini. Mahasiswa meyakini keberadaan lembaga pers tidak sekadar untuk mengetahui bagaimana menulis yang baik, tapi menjadikannya sarana menyampaikan kebenaran fakta, kontrol sosial, dan pendidikan bagi mahasiswa.Teknokra, sebuah produk dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Universitas Lampung, terbit sejak 1977. Produk pers mahasiswa di Lampung itu kini menghasilkan format buletin dan majalah. Buletin Teknokra News, terbit dua pekan sekali dengan gaya straight news. Majalah Teknokra terbit dua bulan sekali dengan gaya naratif dan jurnalisme sastrawi. "Pemaparan naratif dengan gaya jurnalisme sastra justru mampu mengeksplorasi fakta dalam bentuk tulisan yang detail. Selain, membuat pembaca mudah memahami isi berita, juga mampu memunculkan kesan rasa pembaca. Kami juga jadi semangat menggali data lebih dalam, menulis dengan baik," kata Yudi Nopriansyah, Pempimpin Umum LPM Teknokra, di sekretariatnya, Jumat (2-6). Majalah yang 70% merupakan hasil liputan itu mengulas hal aktual tentang kampus dan kondisi Lampung, selebihnya rubrik sastra dan esai. Gaya tulisan mengadopsi style The Newyorker dan Majalah Pantau, sedangkan Majalah Tempo, Kompas dan Lampung Post sebagai referensi isu. Perbaruan tampilan dan rubrik berita, juga selalu dilakukan, paling tidak tiga hingga lima tahun, hal yang baru itu diciptakan. "Pada 2002 hingga 2005 terbitan kami masih berbentuk tabloid 24 halaman. Kami berubah format ke tabloid dengan 100 halaman pada 2005," kata Yudi, mahasiswa FISIP Komunikasi angkatan 2002. Yudi menjelaskan secara umum penerbitan kampus terkendala independensi dengan pihak kampus. "Namun, untuk di Unila, LPM Teknokra merupakan badan otonom kemahasiswaan yang diakui rektorat. Jadi tidak pernah ada intervensi sebelum berita terbit," kata dia. Namun, dia mengaku pihaknya masih tetap mandapat komplain petinggi kampus ketika tulisan berkaitan kebijakan kampus, tak berkenan di hati mereka. Menurut Erie Khatif, Pimpinan Redaksi Teknokra, pers harus idealis, menyajikan kebenaran, independen, dan bebas dari kepentingan apa pun. "Sepanjang itu fakta, kami berani menulis," kata Erie, mahasiswa FISIP Unila. Bagi Lembaga Pers Kampus (LPM) IAIN Raden Intan berbeda lagi. Menurut Pimpinan Redaksi LPM IAIN Raden Intan, Erik, sulit jika menyoroti masalah kebijakan kampus, pasti terbentur saat penggalian data. "Ketika data tak berhasil didapat, kami tentu tak berani menurunkan beritanya," kata Erik di Masjid IAIN, Jumat (2-6). Selain masalah itu, Erik menilai kontribusi dukungan anggaran masih minim untuk membuat terbitan IAIN menjadi lebih bernas dan tampil menarik. LPM IAIN Raden Intan menerbitkan Surat Kabar Raden Intan hanya sekali dalam satu semester, yakni pada awal semeter. Lainnya, Buletin Pabula dan Renaisans, juga satu kali dalam satu semester. Terbitan LPM Raden Intan, yang berdiri 1985 itu juga menemukan kendala lain, yaitu komitmen tim redaksi terhadap lembaga tersebut. "Mereka banyak yang aktif juga di lembaga lain. Ketika akan terbit, untuk rapat saja susah, ada yang sibuk di organisasi lain, ada yang mengerjakan tugas kampus, ada yang lagi skripsi, dan lainnya," kata Erik, mahasiswa semester delapan Tarbiyah Jurusan Kependidikan Islam. Erik menjelaskan untuk bergabung LPM IAIN Raden Intan, melalui pelatihan jurnalistik (plastik) atau magang selama satu bulan. Selanjutnya, mereka yang terpilih menjadi tim redaksi adalah yang teruji loyalitas dan produktivitasnya. Pers kampus bagi Erik banyak memberi ilmu menulis. Dia berharap hal itu dapat menunjang pekerjaannya kelak sebagai penulis. n DWI/M-2

Tuesday, June 13, 2006

PUISI

Saya tidak bisa berpuisi dan menulis syair, walau suka membacanya. Puisi mengajak saya mencermati hidup, satu kata didalamnya terkadang melewati batas bahasa. Saya begitu terpengaruh dengan Goenawan Moehamad. Teks puisinya begitu hidup-lepas dan mendalam, saya diajak berpikir sebelum bersikap atas ide dalam puisinya. Saya juga rutin membaca essay GM yang disuguhkan setiap minggu di Catatan Pinggir Majalah Tempo. Dampaknya luar biasa buat saya.

Namun sebenarnya bukanlah Goenawan Moehamad yang buat saya menulis Puisi. Ceritanya di minggu pertama bulan april saya mewawancarai Rendra si Burung Merak. Rendra datang ke Lampung di undangan LSM DAMAR untuk berkampanya menolak RUU/APP di depan ratusan orang undangan. Saya tidak benar-benar ingin wawancara, saya hanya inggin mengungkapkan kesan saya ketika dia membacakan 3 puisinya. Itu kali pertama saya menyaksikan langsung si Burung Merak baca puisi, dampaknya jangan ditanya, saya terkagum. Salah satu puisi yang di baca berjudul 'Maskumambang' puisi ini dibuat rendra 4 April lalu, malam itu tanggal 8 april. Maskumambang berumur 4 hari ketika dibacakan didepan saya. Ada bait yang selalu saya inggat dalam Maskumambang. begini bunyinya: Cucu-cucuku! Zaman macam apa, peradaban macam apa, yang akan kami wariskan kepada kalian! Jiwaku menyanyikan tembang maskumambang. Kami adalah angkatan pongah. Besar pasak dari tiang. Kami tidak mampu membuat rencana menghadapi masa depan.

Bait ini saya tanyakan kepada Rendra. Saya bilang mas Willy apakah 'maskumambang' adalah sikap dari Mas Willy terhadap RUU/APP? Dia jawab, "Maskumambang itu bahasa jawa, yang artinya emas Yang mengambang." Lalu Rendra meneruskan bait puisi diatas:

Karena kami tidak menguasai ilmu Untuk membaca tata buku masa lalu, dan tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa kini, maka rencana masa depan hanyalah spekulasi keinginan dan angan-angan.

"menurut kamu apa makna nya?" Rendra bertanya, Saya sungkan, saya tidak menjawab apa, Saya bilang implisit ada sesuatu dalam puisi barusan terngiang dibenak saya dan banyak maknanya. Rendra meneruskan, ini bait terakhir dari Maskumambang itu.

“Mas Willy!” istriku datang menyapaku. Ia melihat pipiku basah oleh airmata. Aku bangkit hendak berkata. “Sssh, diam!” bisik istriku, “Jangan menangis. Tulis sajak. Jangan bicara.”

Lalu kamipun ngobrol, dia tanya fi'il orang lampung itu seperti apa. Rendra juga banyak cerita tentang wawasan kebangsaan. Diakhir obrolan dia berpesan "Ada kalanya orang payah berbicara dan jenuh mendengar rektorika, jika kau dalam kondisi itu, ikut saran istri saya 'jangan menangis tulis sajak jangan bicara'."

Mungkin malam ini disela-sela gempita piala dunia dan disela hujan yang mendera korban gempa Yogya, puisi ini tertulis begitu saja menahan air mata saya.

Tabik

Gelombang Peradaban

Bumi manusia terbelah digetarkan Nyiur melambai tengelam diterjang Lagu cinta menjadi obat para pelayat Penyumbang sumbang mencari sumbangan

OI, akar peradaban yang tak berbatang tak berdaun

Diledakannya bom oleh manusia, sebagai sajen persembahan Kesedihan disulapnya menjadi hiburan dalam kotak bercahaya *bumi manusia melihatnya, Sang pencipta adalah jurinya

Kita telah temukan muasal minyak bumi Baranya mengebul didetik waktu manusia. Kini harimau mati tanpa belang, Dan manusia mati karna perang.

OI, ini zaman kita, peradaban manusia.

*Bumi manusia: Adalah Judul Buku pertama Tetralogi Pramoedya Ananta Toer, Pojok PKM, 12 Juni 2006

Cinta Manusia

Sudah biar saja kau yang lakukan Karna mereka sibuk berbicara cinta Tak usah pula kau ikut bicara, Karna percuma, jika hanya bicara

Iklaskan garis hitam dibawah mata Karna kau tak mungkin melihatnya Biar mereka yang melihat, Tanda cintamu yang teramat.

Lalu dengarkan bisik yang gundah Yang kelak mengeras mungkin teriak Dengarkan saja dan hayati Buatlah lagu lalu menari

Cium dan harumi pula semua aroma Mawar-melati dan juga bangkai, Mungkin kau akan menghirup cinta manusia: Sebuah citarasa budaya manusia yang dangkal

Kau pasti akan bertanya: Mengapa dan untuk apa? Lalu setuhlah dan rasakan Maka jiwamu akan menjawabnya.

*Berita

Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang terus menimbulkan kontroversi sampai saat ini, menurut WS Rendra, seperti dalam draft-nya menunjukkan sikap anti seksual (aseksual) dan anti gairah hidup manusia.Budayawan, seniman dan sastrawan kondang itu, berbicara pada Kaulan Rakyat bertema "Refleksi Pornografi dalam Bingkai Pluralisme dan Globalisasi" diselenggarakan LSM Damar di Bandar Lampung, Sabtu malam, mengingatkan isi dari RUU APP yang bersifat anti seksual dan anti gairah itu adalah tidak sehat bagi kehidupan masyarakat Indonesia.Menurut dia, RUU APP itu mencoba mengatur hal-hal yang menjadi gairah dan naluri yang ada dalam diri setiap orang dengan pengaturan secara berlebihan.Padahal gairah seksual pada diri manusia merupakan karunia Illahi yang justru membuat manusia bersemangat untuk terus hidup dan juga baik bagi kesehatan, asalkan dijalankan secara benar dan wajar, kata WS Rendra pula.Dia pun menilai, agama Islam dan agama umumnya bukanlah agama yang aseksual dan a-erotis dan tidak pernah memberikan larangan orang untuk bergairah pada lawan jenisnya."Allah menciptakan perbedaan dan nafsu yang kita miliki juga diciptakan Allah untuk menggunakan akal sehat disalurkan, sehingga dapat menilai mana yang benar atau salah, baik atau tidak, pantas dan tidak pantas," cetus WS Rendra lagi.Ia juga menyebutkan bahwa agama Islam melarang orang untuk berzinah, tapi membolehkan berpoligami.Karena itu, WS Rendra berpendapat, dengan nafas RUU APP yang anti erotis dan aseksual, merupakan pengaturan bagi masyarakat secara tidak sehat dan tidak baik.Dalam RUU itu, WS Rendra menilai, terdapat hal-hal yang dipaksakan untuk dirumuskan, termasuk persoalan gairah dan nafsu birahi. Padahal wajar setiap lelaki melihat wanita cantik kemudian memunculkan gairah."Kalau saya lihat ada perempuan cantik, eh, Alhamdulillah, ada ciptaan Tuhan secantik ini," cetus WS Rendra pula.Namun kalau sampai terus menerus memandangi perempuan cantik itu, tanpa mengontrol diri, menurut dia, sama saja dengan merendahkan diri seolah betul-betul terikat dengan duniawi, sehingga harus cepat mengontrol dan mengendalikan diri agar tidak melakukan aktivitas yang salah.Rendra menyatakan, seharusnya saat ini yang perlu diajarkan oleh para pendidik, pengkhotbah dan penganjur agama adalah bagaimana manusia dapat mengontrol birahinya, tidak justru mengajarkan untuk menjadi anti birahi dan anti seksual.Kendati begitu WS Rendra mengakui bahwa persoalan ponografi adalah masalah yang serius, kalau sudah menyangkut hal-hal yang tidak layak dipertontonkan kepada masyarakat umum.Dia pun menguraikan perbedaan sikap dan adat dalam peradaban dunia, berkaitan dengan persoalan erotisme dan pornografi itu.Pornoaksi Lebih BahayaRendra melihat, bagi umumnya negara di Asia, khususnya Asia Tenggara, pornografi itu tidak menjadi masalah yang besar mengingat hanya terkait lebih banyak dengan persoalan gambar. Yang jadi masalah, menurut Rendra, adalah pornoaksi."Pornoaksi yang terjadi pada umumnya negara-negara di Asia ini, itu yang lebih bahaya," kata dia.Pornoaksi dalam pandangan Rendra adalah mempertontonkan aktivitas seksual di muka umum, sehingga dapat menjadi masalah yang serius kalau tidak ditangani dengan baik.Rendra juga menilai keberadaan penerbitan khususnya majalah yang termasuk porno, sebenarnya dilakukan secara sengaja untuk mengeksploitasi seksualitas sesuai dengan selera pasar untuk memuaskan pembacanya.Namun begitu, di sejumlah negara Eropa dan AS, peredaran penerbitan seperti itu hanya dijual di tempat tertentu.Majalah Playboy, menurut Rendra mencontohkan, orientasinya jelas untuk memenuhi keinginan pasar walaupun dikemas secara pintar dengan memasukkan pula tulisan berisikan wawancara untuk menunjukkan intelektualitas tinggi."Tapi pada bagian lain majalah itu, justru sangat rendah intelektualitas karena porno, tapi itu dilakukan sebagai bagian politik pasar yang sangat cerdas," kata Rendra.Rendra mengaku sudah membaca isi draft RUU APP dan berkomentar bahwa isi RUU itu sebenarnya bukanlah soal moralitas, melainkan "sok moralis" hanya dengan mengaitkan soal hasrat seksualitas dengan moralitas padahal ada hasrat untuk melakukan korupsi yang juga menunjukkan sikap amoral."Bagaimana mungkin bicara moralitas hanya terkait dengan seksualitas, tapi perilaku korupsi yang juga mesti dilawan tidak dikaitkan dengan moralitas pula," tanya Rendra.Sebagai seniman, Rendra juga mencemaskan, kalau RUU APP itu menjadi undang-undang akan banyak sekali karya seni yang terkena karena dianggap termasuk pornografi."Jadi mau diapakan karya seni seperti di candi-candi dan patung-patung dengan menampilkan wanita telanjang dan sejenisnya itu," cetus dia.Padahal menurut Rendra, dalam kesenian, gambaran orang bersenggama dapat menjadi simbol bersatunya jiwa dan raga.Rendra justru melihat nafsu dan birahi bisa menciptakan kekhusyukan dalam ibadah dan iman seseorang untuk menicptakan kebaikan, memperkuat iman dan tidak terjerat pada pemaksaan atau perkosaan menjadi sebuah kekuatan rohani yang luhur.Rendra mengingatkan, kalau dibiarkan RUU APP itu dapat menimbulkan kekuasaan pada seseorang untuk melakukan pelarangan dalam ruang pribadi, menyangkut iman dan akal sehat yang seharusnya tetap dibiarkan bebas dan tidak diatur-atur secara berlebihan oleh negara dan hukum.RUU itu, lanjut Rendra, juga dapat menimbulkan konflik kultural dan struktural, seperti munculnya ancaman dari warga masyarakat Bali dan warga kita di wilayah Timur Indonesia untuk melakukan gerakan memisahkan diri dari negara kita."Upaya negara untuk menguasai rohani dan akal manusia seperti dilakukan melalui RUU APP itu adalah tindakan fasisme, bagaimana mungkin pula tindakan berburuk sangka dan was-was bisa dilembagakan, semua itu justru menyalahi ketentuan agama dan memusuhi gairah serta daya hidup sebagai manusia," demikian Rendra.Kaulan Rakyat yang digelar di B''Coffe di Bandar Lampung yang berada di dekat salah satu ruas jalan cukup ramai di Bandar Lampung itu dihadiri ratusan orang seperti kalangan aktivis LSM, mahasiswa, aktivis perempuan, anggota legislatif, parpol, wartawan dan masyarakat umum.Selain Rendra, juga berbicara SN Laila (Direktur Eksekutif LSM Perempuan Damar), dan Agung Sasongko, Wakil Ketua Pansus RUU APP DPR-RI dari Fraksi PDIP.Dalam Kaulan itu, dilakukan pula telewicara dengan sejumlah tokoh, seperti Permadi (anggota DPR) dan Anand Krisna (tokoh spiritualis) yang tegas menyatakan menolak isi RUU APP yang ada saat ini.