Tentang Lokalitas Sastra
Prihal lokalitas sastra aku sepakat dengan SI Malin Kundang yang kata Goenawan Moehamad bisa terjadi di mana saja. misalnya, dalam The Satanic Verses Salman Rushdie: seorang muda Pakistan pindah ke Inggris, berontak pada ayahnya, dan suatu hari muncul berbentuk setan. Sebuah alegori, tentu, di sebuah novel yang sarat dengan alegori, yang oleh Rushdie diaduk dengan kejadian sehari-hari, dengan humor, imajinasi yang murtad, dan dongeng puitis—sebuah lukisan kemajemukan rasa getir dan gairah, ilusi dan ambisi, ketika orang-orang Pakistan, dengan pelbagai jenis kemiskinan mereka, mentransformasikan diri menjadi warga sebuah
negeri bekas penjajah yang angkuh tapi rusuh: Inggris. Namun, Si Malin dalam The Satanic Verses tak berakhir dengan kutuk. Si Setan akhirnya berdamai dengan dirinya. Ia pun berwujud manusia kembali. Ia terbang ke tanah leluhur, menemui ayahnya yang menjelang wafat: si anak hilang memutuskan untuk pulang, meskipun ia tak bisa sepenuhnya pulang.
Sering orang menyangka bahwa Si Malin adalah sebuah kasus migrasi budaya si anak hilang pindah ke lingkungan kultural lain secara final seperti Hanafi dalam novel Salah Asuhan. Tapi tokoh Hanafi dikemas untuk jadi "contoh soal". Ia bukan sosok yang hidup. Dalam hidup, yang sering kita temukan bukanlah dia, melainkan gejala yang oleh Umar Kayam disebut sebagai "cultural commuters": mereka yang bolak-balik antara lingkungan budaya "asal" dan budaya "luar", tak henti- hentinya sementara itu kita tak tahu lagi apa persisnya arti kata "asal" dan "luar" sekarang ini.
Mungkin karena kolonialisme zaman Hanafi telah digantikan. Hidup tak lagi dilihat seperti sebuah ruang dengan dua kutub yang tak sederajat. Dulu ada "kolonialis"-"nasionalis", "Barat"-"Timur", "kemajuan"-"tradisi", dan seterusnya, masing-masing dengan esensi dan hierarki yang berbeda. Kini benda, hasrat, mimpi, ide -- ya, hampir semua hal -- berproses, melintas dari satu letak ke letak lain, di ruang yang serentak terbuka, dengan semua arah yang setara.
Maka, nasib Malin Kundang pada zaman ini bukanlah menjadi batu, melainkan mengalami differance. Ia kita temui sebagai proses, bak rangkaian jejak sebuah perjalanan bolak-balik yang tak kunjung usai. Kita baru menangkap artinya dengan meringkaskannya, kita memahaminya dengan mengikhtisarkan lalu lintas tilas yang tak tak terbatas itu. Jadi, apa arti sebuah negeri tempat Si Malin berangkat dan pulang? "Sebuah negeri bukan hanya tanah dan rumah-rumah. Sebuah negeri adalah wajah-wajah, kaki yang menjangkar dalam bumi, kenangan, bau yang tercium pada masa kanak, sepetak ladang mimpi, sebuah nasib ke arah harta karun yang tersembunyi di kaki gunung". Itu ucapan seorang gadis dusun Berber dalam novel Yeux baisses, karya Tahar ben Jelloun, sastrawan muslim Maroko yang menulis dalam bahasa Prancis itu.
Si gadis lahir di sebuah ladang miskin Maroko, datang ke Paris, belajar di sana, berubah, tapi mesti kembali. Ia harus memenuhi nubuat: ia telah diramal akan jadi orang yang menemukan sebuah harta karun yang tersembunyi di kaki gunung, untuk kesejahteraan sukunya. Tapi benarkah ia 20 tahun kemudian itu kembali?
Novel Ben Jelloun tergenang kalimat-kalimat yang cemerlang tapi cair, yang sering menggelincirkan kita ke beberapa lapisan dunia imajiner. Pernah kita dengar keluh si gadis tentang susahnya jalan pulang kembali, tapi pernah juga ia seperti kangen. Di akhir buku, ada sepucuk surat dari kekasihnya yang pergi: "Tadinya kukira kau ada di antara dua budaya, di antara dua dunia; tapi sebenarnya kau ada di sebuah tempat ketiga, yang bukan tanah kelahiranmu, bukan pula negeri pungutmu".
Di mana itu, kita tak tahu. Mungkin gadis Berber itu juga bolak-balik, seperti "Ahmad", tokoh dalam novel Ben Jelloun yang lain, l'Enfant de Sable, yang riwayatnya dikisahkan oleh tiga pencerita dengan akhir yang berbeda-beda.
Syahdan, ada seorang gadis kecil Maroko yang dibesarkan sebagai anak lelaki dengan nama "Ahmad", karena ayahnya hanya punya delapan anak perempuan. Ia lari mengembara. Tetap sebagai "Ahmad", ia bergabung dengan sebuah rombongan sirkus. Di pentas ia harus selalu menjadi Zahra, seorang wanita. Artinya, keperempuannya, sifat asalnya, kemudian "hanya" jadi sebuah polah panggung. Mana yang asal mana yang bukan pun jadi problematis. Maka, bisakah ia menganggap "asal" sebagai sesuatu yang punya hakikat?
Tidak, jika lakon kita sekarang adalah "Ahmad/Zahra": Malin Kundang di dunia yang tak lagi tampak terdiri dari dua kutub, para nomad yang berkata, "Pelbagai negeri dan abad pernah lewat di depan mataku. Kakiku mengingat semua itu".
*Esay Si malin Kundang oleh Goenawan Moehamad
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home