Monday, July 31, 2006

Menulis Opini Sepuluh Menit

Mungkinkah menulis opini dalam waktu sepuluh menit? Barangkali ini yang terlintas di benak kita saat membaca judul tulisan ini. Jawaban yang akan saya berikan tidak sesederhana hanya dengan menjawab mungkin atau tidak mungkin. Namun, sekadar berusaha membuka mata kita tentang sebuah kemungkinan yang barangkali selama ini luput dari perhatian kita.Tulisan ini saya tulis saat saya duduk di meja kerja saya. Saya membuka-buka Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga terbitan Balai Pustaka Tahun 2002. Lalu, saya lihat pengertian opini. Ternyata, pengertian opini dalam kamus itu sangat singkat, yaitu pendapat; pikiran; pendirian. Setelah membaca pengertian itu saya berpikir. Kalau pengertian opini sesederhana itu, mengapa banyak di antara kita kesulitan ketika akan mulai menulis sebuah opini? Akan menuangkan pendapat dalam bentuk tulisan? Dari kenyataan ini saya lagi-lagi merenung. Ternyata, menyampaikan opini secara lisan dengan secara tertulis memang berbeda. Karena (barangkali) kita lebih terbiasa dengan budaya lisan (oral), ketika akan memulai mengemukakan pendapat dalam bentuk tulisan, kita tidak bisa bebas. Merasa terbelenggu oleh dan kaidah-kaidah bahasa tulis yang mungkin terlalu rumit. Padahal, mungkin itu hanya perasaan kita. Jarang kita sadari bahwa kita sebenarnya bisa menulis belasan lembar opini dalam hitungan menit. Ingin bukti? Ketika bertemu seseorang (siapa pun itu), sering kita mendiskusikan sesuatu. Secara tidak sadar kita telah beradu argumen. Kita beropini sebebas-bebasnya selama berpuluh menit, bahkan hingga satu atau beberapa jam. Seandainya opini kita dalam pembicaraan itu direkam, lalu ditransliterasikan dalam bentuk bahasa tulis, berapa puluh (bahkan mungkin berapa ratus) lembar saja tulisan yang kita hasilkan selama pembicaraan itu? Seandainya kita berbual-bual selama tiga jam, bukankah itu sudah bisa jadi sebuah buku? Nah, jika kita sadari bahwa setiap hari sebenarnya kita beropini, mungkin ini bisa dijadikan salah satu cara alternatif untuk menghasilkan sebuah tulisan opini (bahkan tidak menutup kemungkinan untuk menghasilkan tulisan jenis lain, cerpen, misalnya). Caranya adalah dengan membayangkan seolah-olah kita berdebat dengan seseorang. Dengan demikian, kita bisa melontarkan opini sebebas-bebasnya. Ketika kita beropini, kita rekam suara kita. Lalu, kita transliterasikan dalam bentuk tulis. (Bandingkan dengan wartawan yang mewawancarai seorang tokoh yang hanya beberapa menit, tapi bisa menghasilkan tulisan yang berbobot dari hasil wawancara itu. Bukankah cara menulis semacam itu tidak begitu jauh berbeda?) Yang perlu dicatat adalah hal ini mesti dilakukan di tempat sepi, di kamar, misalnya. Sebab, jika sampai dilihat orang, bisa-bisa Anda sudah dianggap tidak waras lagi karena bicara seorang diri. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mencetak penulis andal dalam waktu singkat, melainkan menawarkan sebuah jalan alternatif tentang bagaimana cara menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan. Dan, barangkali di antara Anda ada yang cocok dengan metode ini. By:ugieyogyakarta

Sunday, July 30, 2006

Si Tukang Palu

Ada sebuah cerita tentang seorang tukang palu. Di kehidupannya dia hanya bisa mengunakan palu memperbaiki semua benda yang rusak. Pagar, mobil, rumah, bahkan kaca yang rusak pun di palu. Si tukang pun berakhir dengan kutuk pelanggannya, naasnya pelangan pun berakhir dengan palu dikepalanya. Lalu Si tukang palu berjaya, memberi pemahaman kepada murid-muridnya untuk melupakan alat lain selai palu.Ada yang bilang cerita si tukang palu, adalah kisah manusia egois. Ada juga pendapat, Si Tukang Palu kurang pengetahuannya. Yang kedua ini, bisa menjadi akibat kebodohan si tukang, namuan di negeri jargon ada pepatah “guru kencing berdiri—murid kencing berlari.” Atau “buah jatuh—tidak jauh dari pohonnya.” Ini yang membuat pelanggan kemudian berbicara tentang perlunya memahami alat menukang selain palu. Dia mulai mengomel tentang pendidikan yang menghasilkan peserta didik serupa dengan pendidiknya. Tapi yang terjadi kemudian kepalanya si pelanggan di bilang rusak dan harus di perbaiki. Tentu Si Tukang Palu, telah belajar memahami apa yang harus dan apa yang tidak bisa dipalu, namun tampaknya keputus asaan dalam proses menukang, meyakini bahwa: kerusakan menjadi tambah parah jika diperbaiki dengan alat lain selain palu. Saat ini, Indonesia belum seperti Rwanda. Indonesia belum seperti Yugoslavia. Tentu kita harus cemas bila suatu hari nanti tukang palu mengambil alih pentas. Apalagi kini terasa bertambah buruknya hubungan yang sehat antara orang yang berbeda agama dan berbeda ras. Sementara di ruang-ruang tertutup orang melakukan semacam diskriminasi rasial: jika si anu bukan berdarah X, maka ia tidak akan dapat kesempatan untuk masuk kerja, naik pangkat, atau berada di jabatan yang penting. Dan bukan hanya karena orang ramai kembali ke ikatan-ikatan seagama dan sekaum sebuah komunitas nasional terancam oleh proses disintegrasi. Kalau orang hari-hari ini ramai bertanya lagi, ada apa gerangan dengan nasionalisme, jawabannya tidak bisa diberikan dengan asumsi-asumsi lama, dan tidak bisa seperti si tukang yang hanya bisa mengunakan palu. Tetapi bukan hanya karena si Tukang Palu saja sebuah bangsa retak. Sebab, selama sekitar seperempat abad terakhir ini Indonesia telah berubah sedemikian rupa, bahkan acuan-acuan kita tentang identitas diri kita sendiri pun berubah pula. Kilauan cahaya ekonomi yang tumbuh dengan cepat telah hadir, dan itu punya akibat serta nemesisnya sendiri. Sebuah masyarakat yang dulu tidak kita kenal betul tumbuh dan berkembang di antara kita: sebuah masyarakat yang secara diam-diam ataupun secara hiruk-pikuk berpacu dengan kebutuhan-kebutuhan yang terus-menerus bertambah. Masyarakat "baru" ini juga pada umumnya menampakkan ciri sebuah masyarakat yang secara intensif menganyam hubungan antar anggotanya dalam proses jual-beli. Keadaan itu membuat orang seakan-akan diperlakukan sama: sebagai penjual atau sebagai pembeli. Kaum ningrat, bapak dan ibu pejabat, akhirnya mendapatkan perlakuan yang "disamakan" seperti itu—karena mereka pun boleh dikatakan produsen—konsumen pula. Tapi di lain pihak, ketidaksetaraan meruak, ada yang lebih mampu berproduksi dan berkonsumsi, ada yang kurang mampu membeli atau menjual. Ada yang bergerak maju, ada yang diam atau tenggelam. Akhirnya, banyak kepastian guncang: bentuk-bentuk martabat dan penghormatan lama jadi rancu, hubungan- hubungan yang pernah ada menjadi tak bisa stabil lagi. Lalu korupsi menyelinap dalam sela-sela itu. Di bangsa ini, korupsi bukanlah kejahatan biasa. Ia mengakar dan berkarat, Negara yang seharusnya menjadi penjaga kepentingan bersama itu pun rapuh, retak, dan rusak. Hingga meruntuhkan hampir seluruh konstruksi res publica. Karna seorang gubernur bisa disogok oleh pengusaha real estate untuk meniadakan sebuah lapangan yang diperlukan khalayak ramai, seorang hakim bisa disuap agar memenangkan perkara untuk kepentingan si penyuap. Solidaritas para koruptor terlembaga. Seperti seorang pemimpin proyek pembangunan bisa mengajak petugas di pelbagai instansi lain untuk menyulap biaya agar bisa masuk ke kantong mereka semua. Di situlah letaknya sebuah pola disintegrasi bangsa: mereka yang seharusnya menjadi perekat kepentingan orang banyak ternyata hanya melayani kepentingan pribadi. Tantangannya, bisakah kita memperbaiki itu? Dalam hal seperti ini generasi kita sekarang lebih "beruntung". Kita lebih banyak bahan. Generasi sekarang lebih banyak bisa mempelajari hasil penelitian tentang masyarakatnya sendiri, yang di zaman dulu belum pernah dilakukan. Generasi kini, generasi kita yang dapat melihat apa yang dulu tak terlihat. Dulu siapa bicara soal polusi, kehidupan Yang konsumtif, kemungkinan habisnya minyak bumi dan bahaya ledakan penduduk? Dulu siapa yang menyimak Revolusi Kebudayaan, melihat kegagalan Pakistan dan pesatnya perkembangan Pendidikan di negara Malaysia? Dan dulu siapa yang melihat meluasnya korupsi di Indonesia? Kita semua kini terdiri dari sejarah yang lebih lanjut. Kita semua terdiri dari bermacam aliran pikiran, latar belakang sosial-kultural, dan berbagai kepentingan, yang jika didengarkan semua secara seksama dan bebas—akan memperkaya batin kita. karna kalau kita putus asa, maka terciptalah Si Tukang Palu. Dimana semua kebocoran-kebocoran di perbaiki dengan mengunakan palu, sehingga menciptakan kebocoran-kebocoran lain. Sering orang bilang bahwa Si Tukang Palu telah terorganisir, kepercayaan terhadap palu yang mampu menyelesaikan semua masalah menjadi keyakinan mereka, dan meraka tidak mau dibilang terbatas ilmu pengetahuannya. Mereka seperti putus asa. Seperti keputus asaan Gus Dur yang bilang “Tuhan tidak perlu dibela.” Lalu penggal pemikiran kyai nyentrik itupun, di klaim para tukang palu, sebagai penyakit yang harus di palu untuk mengobatinya. Inilah mengapa pelanggan tidak lagi, setia kepada para tukang palu. Pelanggan sadar bahwa hakekat menjadi tukang harus bisa mengunakan alat lain seperti sugu, amplas, cet, kuas bahkan sapu tanggan untuk mengelap noda di benda yang terkuak akibat sugu amplas dan warna cet.

Saturday, July 29, 2006

Si Bule Tukang Foto

Ada bule yang nongol di pintu Sekretariat Teknokra jumat sore, dengan camera Minolta manualnya dia ngejepret ambil gambar kedalam, saya yang seadang bermain catur denga kawan dari Rakanila kaget. Sibule menyapa ‘halo’, lalu mencepret kotak sampah, sepedah rusak, piring kotor dibak, dan rak sepatu, yang semuanya berada di depan sekret Teknokra. Saya menjabani si bule, “halo can’t i help you sir.” Kata saya. “Hey, you speak Engglis.”bule mengulurkan tangan, sambil berjalan di lorong gedung PKM. Si bule memperkenalkan dirinya sebagai Robert Lara, dosen Chicano Latino Studies di California State University Long Beach (CSULB). Saya mengajaknya masuk sekretariat Teknokra, dan sebisanya memperkenalkan diri dan Teknokra. Ketika mendengar Teknokra adalah Studen Organization for Publising Media, dia tertarik dan langsung duduk di ruang tamu, dia bertanya durasi terbit, pendanaan dan gaji, prodak yang diterbitkan?. Tapi hanya itu yang sempat dia tanya, Karna keburu diserbu kru Teknokra yang tanya macam-macam dengan bahasa Inggris yang keindonesian. Robert rupanya dari Amerika dia datang datang bersama Michael Jackson yang bersama Istri dan anaknya di depan Gedung melihat persiapan UKM BS untuk pementasan Teater. Ketiganya datang ketika Robert sedang asik memotret koleksi cover tabloid Teknokra yang di pajang diruang tamu. Micheal mengajak Robert datang ke Lampung mengunjunggi rumah mertuanya di kampung sawah, Istri Micheal asli lampung. Mereka mampir di Unila hanya untuk melihat-lihat. Ini yang ketiga kalinya Michael datang ke Lampung, setelah pernikahannya di Lampung tahun 1997. Michael berkulit hitam, badannya tinggi besar. Dia sedikit bisa berbahasa Indonesia tidak seperti Robert yang tidak bisa sama sekali. Anak Michael perempuan 5 tahun, namanya Michelle, kulitnya sama dengan Mich, rambutnya keriting, cewek-cewek Teknokra gereget, menguek-nguek rabut anak Indo itu. Istri Mich ramah, dia yang membantu bahasa inggris-keindonesiaan kru Teknokra, namanya (wah lupa). Orang tuanya tinggal di daerah Kampung Sawah, dia alumnus SMA satu Tanjung Karang. Micheal mengelola situs web pribadi pickaprint.net Isinya kebanyakn foto-foto koleksi. Kedua bule itu, memotret apa saja di Teknokra. kamera Michael digital Nikon D 70. Mereka memotret gudang yang berisi budel koran, lemari buku, papan tulis, memotret ruang redaksi. Di ruang redaksi, Robert inggin menujukan situs kampusnya www.csulb.edu Robert Lara, M.A. di situs ini saya melihat profil Robert sebagai Dosen teori kepemimpinan di Chicano Latino Studies Department di California State University Long Beach (CSULB), dia menyelesaikan program Bachelor’s jurusan Social work and Mexican American Studies di California State University Los Angeles (CSULA). Pada tahun 1995 menyelesaikan program Master Public Policy and Administration di CSULB. Dan melakukan disertasi Doctorate tentang Education Leadership di University of California, Los Anggels (UCLA). Setelah puas memotret, ruangan Teknokra, mereka pun inggin berfoto bersama, seperti biasa kenorakan anak Teknokra yang hobi berpose, selalu siap untuk di potoret.Nomor dua dari kiri Michael Jackson dan Michelle Rhiata Jackson kecil, yang paling kanan Robert tak mau kalah bergaya dengan kru Teknokra. Mereka bilang akan datang nanti malam, melihat pertunjukan teater di gedung ini. Memang saat mereka datang, kru UKMBS sedang mempersiapkan pertunjukan teater yang di gelar malam itu. Namun sampai tulisan ini di tulis jam dua belas malam, tuh bule ngak datang.

Friday, July 28, 2006

Diskusi Bengkel Jurnalisme

PendidikanJum'at, 28 Juli 2006 Bengkel Jurnalisme: Hak Publik di Tengah Persaingan Media BANDAR LAMPUNG (Lampost): Tingkat persaingan media massa semakin ketat, termasuk di daerah. Namun, acap terjadi, persaingan tersebut berimbas pada tidak terpenuhinya hak publik. Sebab itu, para pemimpin media massa, koran daerah, harus didorong untuk meny

PendidikanSenin, 3 Juli 2006 Bengkel Jurnalisme: Mereproduksi Ide dalam Opini BANDAR LAMPUNG (Lampost): Opini sebagai salah satu karya jurnalistik berangkat dari reproduksi ide penulisnya. Artinya, tidak ada ide yang benar-benar orisinal dalam opini. Demikian kesimpulan dalam Sekolah Jurnalistik yang membahas menulis opini yang dig

PendidikanJum'at, 9 Juni 2006 Info Pendidikan Bengkel Jurnalisme Gelar Sekolah Jurnalistik BANDAR LAMPUNG--Bengkel Jurnalisme menggelar Sekolah Jurnalistik, Sabtu (10-6), di Sekretariat Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) Republica Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universita

PendidikanSabtu, 29 April 2006 Info Pendidikan Bengkel Jurnalisme Gelar Sekolah-Diskusi BANDAR LAMPUNG--Bengkel Jurnalisme menggelar Sekolah Jurnalistik, hari ini (29-4), di Gedung Aula Lama Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung (FKIP Unila), pukul 10.00. Sedangkan pada pukul 13.00

Bandar LampungSenin, 3 April 2006 Dinamika Bengkel Dialog Profesi Pers BANDAR LAMPUNG--Dialog dua mingguan Bengkel Jurnalisme, Minggu (2-4), memilih topik Pandangan Publik terhadap Profesi Jurnalis dan Aktivitas Pers untuk menilai kinerja media massa dan perilaku wartawan di Lampung kin

Monday, July 24, 2006

Pelatihan Di PPSDP Cibubur

Tanggal 17—23 juli, saya oleh Rektor di suruh mewakili Universitas Lampung untuk menjadi peserta latihan keterampilan kepemimpinan pemuda, yang menjadi program tahunan Kementrian Negara Pemuda dan Olahraga. Kami masuk dalam angkatan kedua Program ini. Karna sebelumnya bulan Maret pelatihan serup pernah dilaksanakan. Program ini di gelar di Pusat Pengembangan Sumber Daya Pemuda (PPSDP) Cibubur, Jakarta Timur, yang tepat di depannya ada Hyper Market, Cibubur Jungsen. PPSDP berdiri di areal 10 ha, ada pos polisi di pintu masuknya. Didalamnya ada lapangan sepak bola, basket, volly dan tenis. Di areal itu juga ada tempat kursus bahasa Korea, dua gedung serba guba berlantai dua, Masjid, kantin dan dua gedung 4 lantai sebagai asrama tempat menginap yang beberapa kamarnya dihuni oleh cewek-cewek calon suster di Akademi keperawatan. Kampusnya di sebelah PPSDP. Saya datang senin siang, angkot 121 yang membawa saya dari Pasar Rebo menurunkan di Bumi Perkemahan Jambore Cibubur, dari situ saya berjalan satu kilo melewati jembatan layang ke PPSDP. Di dekat pintu masuk PPSDP, saya ngobrol dengan tukang es dan sempat menyeruput es doger Jakarta, tak lama dua orang Ahwat datang mereka membeli koran dan memesan es doger yang sama. Saya menegur mereka, bertanya apakah mereka peserta LKKT, ternyata dugaan saya benar. Mereka ramah, yang satu bernama Dian Widianti dari Universitas Diponegoro, Semarang. Sedang yang satunya Utusan Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur bernama Nastarita. Kami ngobrol sambil minum es doger. Lalu saya di antar untuk registrasi. Saya bertemu dengan Kartini Susilowati staf di KEMENEGPORA, yang melayani registrasi. Kartini wanita ramah dengan suara yang pelan. Dia mengerjakan hampir semua kebutuhan peserta hari itu. Dia mengecek kunci kamar, mempersiapkan makan siang dan melayani registrasi peserta. Kartini kaget karna saya bukan dari Badan Ekskutif Mahasiswa (BEM). Entah melalui kriteria atau apa, saya di pilih Rektor ke Cibubur. Karna disana saya bertemu banyak Presiden Mahasiswa dan menteri Luar Negeri, Badan Ekskitif Mahasiswa (BEM) dari banyak Universitas. Mereka bilang bahwa undangan mengharuskan utusan berasal dari pengurus BEM atau organisasi Kepemudaan (OKP). Saya tidak tahu karna undangan tidak pada saya. Tapi saya bersukur bisa bertemu 38 pemuda dari bermacam suku, dari banyak propinsi. Acara pelatihan dimulai malam hari di ruang AC Latpim lantai dua. DR.H.M. Budi Setiawan. M.Eng, Deputi Bidang Pengembangan Kepemimpinan Pemuda, Kemenegpora. Membuka acara tersebut setelah menjelaskan panjang lebar prihal satu tahun kembalinya Kemenegpora. Setelah acara pembukaan Iwan, pangilan pejabat Eselon I termuda itu mengisi sesi pertama pelatihan. “kebijakan Kementrian Negara Pemuda dan Olahraga”, dibilangnya populasi pemuda merupakan bagian terbesar dari total populasi penduduk Indonesia yaitu sebesar 79,8 juta orang, sekitar 37,22 % penduduk Indonesia. Jumlah ini merupakan aset nasional yang potensial sebagai kader pemimpin, pelopor dan pengerak pembangunan yang produktif. Tapi memang di negeri ini generasi muda belum memiliki kualitas yang tinggi untuk melaksanakan berbagai upaya pembangunan. Indikator yang dapat dilihat adalah dari pemuda yang berpendidikan formal, yaitu dari 79,8 juta pemuda, 10,36 % tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD, Sedang yang bersekolah dilihat dari jenjang pendidikan tamatan SD 34,7%, SLTP 26,9 % , SMU 24,4 %, sedang yang mengenyam perguruan tinggi 3,73 %. Keterbatasan kesempatan pemuda untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan inilah yang mengakibatkan angka penganguran terbuka pemuda relatif meningkat. Strategi kebijakan Kemenegpora untuk mengatasi masalah-masalah kepemudaan tersebut dilaksanakan melalui lima strategi utama: 1. Pengembangan organisasi kepemudaan 2. Pengembangan minat dan semangat kewirausahaan pemuda 3. Perlindungan terhadap segenap generasi muda dari bahaya destruktif 4. Pengembangan wawasan kebangsaan di kalangan pemuda 5. Penyiapan pemuda dalam menghadapi persaingan global Acara pertama senin 17 juli itu berakhir pukul 22.00 wib. Kami kembali kepenginapan yang jaraknya satu kilo melewati lapangan bola. Saya satu kamar dengan Presiden Mahasiswa Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung, Tubagus Ridwan Ahmad dan Rasyid Menteri Luar Negeri BEM UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta. Tubagus lelaki tegap kelahiran 82, suaranya beriton, mantap terdengar, orang tuanya tinggal di Ciomas Banten. Sedang Rasyid adalah pemuda kelahiran Sulawesi Utara, sekilas dia terlihat galak hanya saja dia selalu menyebutkan namanya terlebih dahulu jika inggin berkomentar (kalau Rosyid tidak jelas dengan sesi barusan, Katanya. Seperti itu). Hari kedua pelatihan peserta yang bagun pagi, sebagian berinisiatif main bola. Dipelopori Lifein Nazareth Seli, orang Alor Papua, yang menjadi pengurus pusat GMKI. Sesi molor setengah jam dari agenda pukul 08.00. DR. Sihadi Darmo Wihardjo mengisi sesi konstelasi/penjelasan Latihan Keterampilan Kepemimpinan Pemuda, DR, Sihadi banyak bercerita tentang program kewirausahaan pemuda yang telah di laksanakan KEMENEGPORA dan menawarkan peserta untuk membuat program kewirausahaan, yang di contohkannya seperti di Universitas Negeri Jakarta, mahasiswa disana membuat Frick chiken Kampus. DR. Sihadi juga berkali-kali meyakinkan peserta, bahwa tidak ada maksud politik dalam pelatihan ini untuk kepentingan Departemennya, “ini murni pembekalan keterampilan kepemimpinan pemuda, yang kelak memimpin dan akan di pimpin. ”Di akhir sesinya, panitia membagikan sebuah Rancangan Undang-Undang , yang dikancah KEMENEGPORA tentang Pembangunan Kepemudaan. Sesi selesai tepat pukul 10.00. *** Selasa, 18 Juli. Sesi kedua pelatihan ini agak kacau, Drs. H. Nur Eddy Budiono, MM. yang mengisi materi Permasalahan dan Tantangan Kepemimpinan pemuda di Indonesia, Nur Eddy, di awal sesinya, membicarakan gerakan mahasiswa sangat rentan dengan pengaruh kuat pemilik modal. Dia menganalogikan pemilik modal saat ini di Indonesia adalah orang-orang yang “bermata lima watt.” Dengan menganalogikan, Tommy Winata yang sangat mudah membayar orang untuk berdemo, di tambahkannya lagi “mata lima Watt,” biasanya menginfestasikan modalnya untuk membawa kerabatnya di daratan tempat asal mereka. Sepontan Novita, memotong pembicaraan, “Intrupsi pak, saya coba buka wacana! Jangan-jangan, si mata lima watt yang bapak bilang lebih terang cahayanya dari mata seratus watt sekalipun.” Ucap Novita, dia tersedak ketika hendak melanjutkan ucapannya. Nur Eddy mengangkat tangan, tanda tidak mau ada Intrupsi. Novita berdiri, berjalan keluar ruangan, dia membanting pintu. Di susul empat orang peserta, yang ikut juga keluar. Saya mencoba menahan diri mengukuti sesi itu, tapi rasa penasaran untuk melihat ada apa di luar ruangan lebih besar ketimbang mendengar Pak Nur Eddy, yang malah semakin genjar menyudutkan orang yang disebutnya bermata lima watt. Di luar saya melihat Novita menagis, ada ibu Kartini yang mencoba menenagkanya dan empat peserta yang ikut keluar Marulin Hasbi, utusan Satuan Mahasiswa Pemuda Pancasila, Jeki Kornelis Patola, Menlu BEM Universitas Nusa Cendana, Yusliadi Y, Presiden Universitas Bengkulu dan Adnan Hamsin, S.Pd. Pengurus DPD KNPI Banten. Mereka semua kecewa dengan ucapan Pak Nur Barusan. Ada juga Dian dan Nastarita yang masuk keruangan lagi setelah tidak berhasil membujuk Novita masuk. Novita adalah wanita keturunan Cina, dia utusan Universitas Atma Jaya. Sama seperti saya, Novi bukan utusan BEM, tapi ditujuk langsung oleh Rektornya. Waktu registrasi saya benyak berdiskusi, kami makan siang bersama sambil melihat Andrew White artis sinetron, yang sedang sutting di lokasi asrama PPSDP yang mirip rumah sakit. Novita tanya apa di lampung Gajah masih sering kelihatan berkeliaran. Saya tertawa, mungkin seperti itu pandangan orang Pusat terhadap daerah. Informasi pembangunan terpusat pada Jakarta, Informasi tentang Lampung hanya Gajah dan hutan gundul karna pengusaha Jakarta. Novita orang yang asik diajak ngobrol, dia pendengar yang baik dan penaya ulung. Kami tidak masuk ruangan pelatihan selama sisa sesi Pak Nur. Ada yang masih meneruskan membahas ucapan Pak Nur, ada yang mempertanyakan tentang esensi materi dalam pelatihan. Saya sendiri pergi ke Masjid dengan Yusliadi, karna suara Azan Duhur. Ketika makan siang, pergunjingan masalah di ruang pelatihan, mampir hampir disetiap meja makan peserta, saya memilih meja yang diisi oleh tiga Presiden, untuk memperoleh Informasi sesi yang tadi ditinggal. Ada Tubagus, Jenal Abidin Presiden BEM IPB, Agung Nugraha Presiden BEM UGM. Mereka sepakat bahwa ucapan Pak Nur hanya memancing peserta agar dapat lebih termotivasi menjadi pemimpin yang kuat, militan dan berintegritas dengan memanfaatkan sumber dana yang ada. Sehingga tidak mudah ditunggangi oleh penjahat pemilik modal. Hanya saja analogi yang dipakai sangat mendiskriditkan ras tertentu. Andai Novi dan beberapa teman yang keluar tadi tetap berada didalam kemungkinannya seperti apa? Mereka bilang, posisi Novi dan Tommy Winata dalam sesi itu memang tidak diuntungkan, analogi yang dipakai seolah mereka orang Cina oportunis yang dagang di Indonesia. Sinisme Pak Nur terhadap Cina, mungkin ada benarnya bilang Tubagus. Namun Tubagaus sepakat dengan Jeki yang bilang, bahwa keturunan Cina, Arab, India bahkan Eropa yang tinggal di Indonesia akan merasa tidak memiliki Indonesia dengan sinisme itu. Karna jika dilihat di Televisi, keturunan bangsa-bangsa itulah yang sering tampil di pentas dan memiliki peran yang strategis dalam percepatan pembanguan bangsa ini. Bersambung...

Saturday, July 08, 2006

Ujian Nasional (UN)

Banyak sudah cerita dan berita mengenai kejanggalan sistem ujian nasional (UN) kali ini. Dan nampaknya Ujian Nasional perlu mendapat perhatian kita semua. Keputusan lulus atau tidak ternyata hanya disandarkan kepada ujian sesaat dengan hanya tiga mata pelajaran. Lalu pertanyaannya untuk apa mata pelajaran lain yang selama tiga tahun dipelajari, karna hasil pinal hanya Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika yang menjadi standar kelulusan. Kalau memang demikian kenapa tidak tiga mata pelajaran itu saja yang diajarkan oleh para guru kepada peserta didik?Masalah ini menjadi serius, takala seorang siswa di Bali yang kerap mendapat pringkat pertama mogok makan karna tidak lulus UN. Bahkan di Jakarta gerombolan siswa tidak lulus UN berduyun mengadukan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Yang langsung direspon LBH Jakarta dengan mengadukan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). "Kami bersama korban ujian nasional akan mendatangi Komnas HAM," kata pengacara LBH, Gatot. Mereka akan meminta Komnas HAM menyelidiki masalah ujian nasional seperti evaluasi penilaian, sarana sekolah yang tidak merata dan kualitas guru. LBH Jakarta juga akan menggugat penyelenggara ujian nasional yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan dan pemerintah yaitu Menteri Pendidikan Nasional. Gugatan akan diajukan secara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. LBH Jakarta menerima sekitar 30 laporan pengaduan dari siswa dan orang tua murid peserta ujian nasional. "Sebagian besar yang datang adalah anak yang berpretasi," kata Gatot. Bahkan, guru siswa tidak rela siswanya mereka yang berprestasi itu dinyatakan tidak lulus. Kasus yang paling menonjol adalah Melati, siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) 6 Jakarta yang sudah mendapatkan beasiswa untuk belajar di Australia dan Bayu Taruna, siswa SMA 71 Jakarta yang diterima di Universitas Brawijaya, Malang melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). "Masalahnya sama, hanya karena satu mata pelajaran yang dianggap tidak memenuhi standar, maka hasil belajar selama tiga tahun tidak berguna. (Koran Tempo 21/06) Di Lampung lain lagi, tidak hanya masalah banyaknya siswa yang tidak lulus, namun lebih kepada masalah-masalah mental dan moral yang terkoyak dengan diselenggarakannya UN. Bagaimana tidak, tiga keponakan saya yang duduk di bangku SMA yang berbeda mengaku mendapat kunci jawaban soal. Guru berkolusi dengan siswa agar almamaternya tidak cemar kalau siswa tidak bisa mengerjakan soal. Guru maklum untuk memberi kunci jawaban kepada siswa, bahkan di SMU N 12 Bandar Lampung, 57 siswa gagal lulus ujian. Salah satunya keponakan saya Tia. Dia menelan mentah-mentah kunci jawaban dari gurunya. Padahal Tia yakin benar akan lulus, karna selama ini dia selalu masuk dalam lima besar. Namun pagi itu Tia kurang yakin akan kemampuannya mengerjakan soal, dia percaya ketika gurunya memberi kunci jawaban ke seluruh siswa di ruangan itu. Hasilnya malah dia masuk dalam deret 57 siswa yang gagal. Hal ini sempat memancing Departemen pendidikan Nasional menurunkan tiga Inspektorat Jendaral (Irjen Depdiknas) untuk memeriksa kepala sekolah dan wakil serta beberapa guru yang terkait pada 30/06 lalu. Namun tampaknya ketiganya hanya boneka untuk menghapus jejak penyelewengan. Mereka menjadi pupuk kolusi antara guru dan murid. Depdiknas umumkan tidak menemukan kecurangan di SMA N 12. Menutup mata atas budaya KKN di dunia pendidikan. Menjadi agen KKN. Terus terang saya sangat, sangat dan sangat kecewa dengan tim itu, hasil investigasi menuduh Tia keponakan saya dan 8 orang temannya yang saya tanya berbohong. Mendiknas dengan sistimnya menjadi wadah kaderisasi penerus Orba. Saya tak sanggup mencegahnya, karna apalah saya ini, yang hanya bisa ngomel, mereka punya podium dan pengeras suara. Mereka sindikat yang dibayar oleh rakyat Indonesia. Mungkin dunia pendidikan bangsa ini, memang menciptakan peserta didik yang bermental seperti pejabat Orba, dan juga berperan dalam menyuburkan KKN, sebagai bekal dimasa depan untuk generasi penerus. Yah...gimana dong, geah...mas, pak, yg gemar mencari founding anti korupsi, mbak yang suka ngomongin HAM... Ibu dan Ayah yang mengajarkan ke salehan. And para ustazd yang sering kampanye moral. Ini kepiye adik, anak, cucu, sampean dirusak moralnya kok cicing waeeeeee? Opo sampean wesss maklum karo KKN, tapi kok awak belum pernah dengar ada fatwa halal buat KKN. Yowwesss lah podium blog yang saya konsumsi pribadi ini mungkin menjadi bisik mesra saya dengan nurani. Atau mungkin opini saya ini keliru, atau gimana gitu. Kalau ya saya cuma mohon bimbingannya.

Thursday, July 06, 2006

Teman Angkatan 24 Teknokra

Mutun, 05/07/06... Tak ada rencana sebelumnya untuk agenda rekreasi ke pantai, apa lagi rabu siang itu alumni Teknokra, Eka Tiara Chandra menikah, sehingga kami harus datang keresepsinya. Ide rekreasi muncul dari empat cewek, teman satu angakatan masuk Teknokra pada 2002. Mayna Satri, Rieke Pernamasari, Diova Alviria Alvirazi dan Heni Fuji Astuti. Nama terakhir ini tidak lagi menjadi pengurus Teknokra. Heni sudah menyelesaikan studinya di pendidikan Matematika FKIP Unila bulan maret lalu dan sekarang meneruskan studi S2 di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Kedatangannya khusus untuk berpamitan sekaligus membawa barang-barang kos ke rumahnya di Serang. Pertama-tama Mayna kebinggungan mencari lokasi rekreasi, namun setelah berhasil mengajak Erie Khafif Mukti. Diaji Andi dan Dwi Pelita Safari. Pantai mutun pun spontan dituju. Dwi dan Diaji juga sudah tidak di Teknokra, Dwi menjadi Guru di sekolah menengah Kota Bumi Lampung Tengah, sedang Diaji sedang sibuk mengerjakan skripsi Ilmu komunikasinya di Fisip Unila. Kami sampai di mutun sore hari pukul 16.50 wib, mengunakan sepeda motor, satu motor berpasangan, saya dengan Heni, Eriek- Diova, Mayna-Diaji dan Dwi dengan Rieke. Satu motor harus membayar tiket masuk pantai mutun Rp. 5.000,-. Dalam peta, pantai Mutun masuk dalam wilayah Padang Cermin Lampung Selatan, Kurang lebih 20 kilometer dari kota Bandar Lampung. Ada juga disana pangkalan TNI angkatan Laut. Luas lokasi pantai mutun sendiri lebih dari tiga lapangan bola yang dibelah perkampungan kecil. kami memilih lokasi yang melewati perkampungan tersebut. Tak banyak yang kami kerjakan sebelum gelap, kami hanya mengobrol dan bercanda sembari berfoto. Kamera canon A-60 yang di bawa Rieke di pasang timer 10 detik ditaruh di atas batu karang, mengarah kami yang mengangkat satu kaki. Pegal juga sebelah kaki kami menahan berat badan, apa lagi kami tertawa sambil berpose manis, 1,2,3 cepretttt, bliz kamera menyambar kami yang terpinpingkal. Hasilnya: (Dari kiri: Diaji, me, Heni, Mayna, Rieke, Diova, Dwi dan Eriek) Seru banget senja itu di pantai mutun. Kami bergantian mencoba melucu namun tampaknya hanya saya yang dianggap paling lucu he.he.. Acara berfoto berhenti dipotong suara Azan dari perkampungan, kami sempat sholat di musala kecil kampung itu. Tak banyak rumah di sana, hanya 27 kepala keluarga, yang di koordinir ketua RT. Pak Bondang. Setelah sholat kami kembali ke tempat awal kami berkumpul. Kali ini kami duduk di salah satu bungalo bambu yang sore tadi takut kami duduki karna diatasnya ada papan bertulis 'disewakan 15.000'. Malam itu kami bermain 'truth or daed' permainan yang namanya membuat Mayna takut. Peraturannya mudah, sebelunya kami bermain kacang pendek-kacang panjang mencari korban. Secara berirama Rieke memandu permainan: "kacang panjang, kacang pendek, yang panjang ngak jadi." hanya Diova yang tidak menjulurkan tangan kedepan, dia malah memendekan tangan kebawah ketiak. walhasil Diova menjadi korban pertama, Diova harus menjawab jujur setiap satu pertanyaan dari kami atau Diova dilempar kelaut. Wah akhirnya 7 pertanyaan serius dilontarkan, saya jadi banyak tau tentang privasi Diova, tentang kisah asmaranya dan yah gitu deh.... Namun salah satu peraturan permainan itu juga melarang menceritakan kembali keorang lain apa yang sudah ditanya dan dijawab para peserta yang ikut (hem, sayang ya tidak bisa bongkar ceritanya Diova)... Secara bergantian kami kena giliran. Seru kadang membuat kami terpingkal sampai mengeluarkan air mata. Permainan itu juga direkam di HP comunicator saya. Di akhir permainan, setiap kami buat 'make a wish' yang direkam, salah satu permohonannya kita akan berkumpul lagi ditempat yang sama 4 tahun yang akan datang. Amin.Ide rekreasi muncul dari empat cewek, teman satu angakatan masuk Teknokra pada 2002. Mayna Satri, Rieke Pernamasari, Diova Alviria Alvirazi dan Heni Fuji Astuti

Monday, July 03, 2006

Masalah di blog diselsaikan di blog?

Menarik sekali perdebatan yang di bina di blog Kantor Berita ITB Seorang kontributornya bernama Ireng, menulis Kuis Edisi Spesial yang mengidentifikasi PNS berinisial Mr. J. melakukan korupsi. Apa yang terjadi kemudian Mr. J, membuka jati dirinya sebagai Djadji S Satira /Kepala Biro Kemahasiswaan. Djadji mengirim surat klarifikasi kepada pengasuh dan kontributor kantor berita ITB. Pengasuh dan Kontributor bilang 'masalah yang muncul di blog diselsaikan di blog juga' mereka memuat klarifikasi dengan judul Re: PNS=Koruptor Sejati. Lalu Ireng yang menuduh Mr. J korupsi segera meminta maaf, dengan memuat KLARIFIKASI karna tulisannya yang berjudul Kuis Edisi Spesial itu hanya opininya belaka. Mungkin saatnya kita mengenal Web Blog dan mendiskusikan tentang masa depannya untuk kebutuhan kita. Salam