Saturday, June 24, 2006

Diskusi Bilik Jumpa Sastra

Lokalitas Sastra=eksotisme Mengapresiasi sajak-sajak Udo Z Karzi yang memakai bahasa lampung, seharusnya bukan hanya sastra yang hadir dalam medium bahasa Lampung tok. Dus dicetak supaya dibaca oleh komunitas yang berkomunikasi dalam dan dengan bahasa Lampung. Namun begitulah adanya. Udo Z membatasi apresiasi kita di wilayah itu. Udo hanya menulis. Memberi makna pada teksnya dan meminjam idiom rasa bahasa Lampung untuk sajaknya. Hal ini terungkap dalam diskusi bilik sastra di Unila beberapa waktu lalu. Udo tidak sedang memberontak terhadap kemapanan bahasa nasional apalagi terhadap kemapanan struktur bahasa Imperial, seperti keingginan Ahmad Yunus, selaku pembahas malam itu.

***

Perdebatan mengenai lokalitas dalam sastra mungkin sedang berlangsung diantara kaum liberal dan kaum “populis”. Permasalahan tersebut bukanlah persoalan bagi pembaca. Dialektika materialis berdiri di atas ini, dari cara pandang proses historis yang obyektif, karya sastra merupakan pelayan sosial dan berdasarkan sejarah bersifat utilitarian. Udo mungkin dalam barisan ini; memberikan alunan kata yang dibutuhkan bagi suasana hati yang samar dan kelam, mendekatkan atau mengkontraskan pikiran dan perasaan, memperkaya pengalaman spiritual individu dan masyarakat, memurnikan perasaan, menjadikannya lebih fleksibel, lebih responsif, memperbesar volume pemikiran sebelumnya dan bukan melalui metode personal yang berdasar pada pengalaman yang terakumulasi, mendidik individu, kelompok sosial, kelas dan bangsa. Dan apa yang disumbangkannya tersebut tidak dipengaruhi oleh permasalahan apakah sastra tersebut muncul di bawah bendera daerah atau nasional, apalagi yang bertendensi pada sebuah kasus tertentu.

Usaha mendefinisikan sastra lokal, hanya mengandaikan satu kesusasteraan yang terkungkung dan dikungkung oleh satu lokalitas. Karna jika lingkungan dan relasi produksi telah mempengaruhi seni, lalu tidakkah tema-tema seni akan terikat pada tempat-tempat yang terhubung dalam relasi-relasi itu saja? Padahal tema tak terbatas wilayah bukan? Meski kita sudah terbiasa menerima kehadiran sastra lokal tanpa mempertimbangkan vitalnya aspek eksklusivitas sastra bersangkutan. Bahkan cenderung menerimanya sebagai sesuatu yang inklusif hingga terbuka pada pengaruh asing. Ketika kita membaca sajak-sajak Udo Z, meski memakai bahasa Lampung secara teramat personal, kita tetap bisa meraba dan melihat bayang-bayang pola ekspresi Ws Rendra. Maka kita tak bisa menyebut itu sebagai sastra lokal Lampung. Semua itu jelas merujuk kepada sebuah pola dan mode estetika dan ekspresi sajak modern Indonesia, meski telah diadaptasikan di dalam dan dengan bahasa Lampung yang bagus. Dan, ketika kita tak bisa menyebut itu sebagai sastra lokal Lampung, maka kita mengerti kalau lokalitas (sastra) itu tak boleh eksklusif dan harus selalu inklusif.

Terminologi lokalitas yang coba ditekankan secara eksklusif itu selalu dibarengi sikap permisif dan toleran mengandaikan sifat inksklusif sehingga estetika, ekspresi, idiomatik, kekayaan budaya, seting sosial, filsafat dan seterusnya dari satu komunitas (budaya) bisa beralih dan dipinjam oleh komunitas (budaya) lainnya. Ini agar teks sastra mutakhir satu komunitas (budaya) mendapat pengayaan verbal dan substansial. Karna lingkungan tidak mengekspresikan dirinya sendiri dalam sastra. Jika bias! maka muncullah argumen dari mana asal muasal ide cerita Simalin Kundang berasal? Apakah dongeng itu murni Sumatra Selatan, atau telah bersintesa dengan keragaman budaya lain. Untuk menyebutkan bahwa lingkungan seseorang, termasuk seorang sastrawan, yaitu kondisi dari pendidikan dan kehidupannya, menemukan ekspresi dalam seninya bukanlah berarti menyatakan bahwa ekspresi seperti itu memiliki karakter geografis, etnografis, dan karakter statistikal yang sama persis. Tidaklah mengejutkan bahwa adalah sulit untuk memutuskan apakah sebuah novel ditulis di Mesir, India atau Persia, karena kondisi sosial dari negara-negara tersebut memiliki banyak kesamaan. Tapi fakta utama bahwa ilmu pengetahuan Eropa “memecahkan kepalanya” mencoba untuk menjawab pertanyaan ini dari novel tersebut menunjukkan bahwa novel itu merefleksikan sebuah lingkungan, meskipun tak sama persis. Tak seorang pun bisa melompat diluar dirinya. Bahkan omelan dari seorang yang sakit jiwa berisi sesuatu yang orang itu terima dari dunia luar sebelum dia sakit. Tapi adalah gila untuk menganggap omelannya sebagai refleksi akurat dari dunia di luar dirinya. Hanya seorang psikiatris yang berpengalaman dan penuh perhitungan, yang mengetahui masa lalu dari sang pasien, yang akan mampu menemukan mana bagian realita yang terefleksi atau terdistorsi dalam isi omelannya

Kreasi artistik tentu saja bukanlah omelan meskipun ini juga merupakan pembelokan, sebuah perubahan dan transformasi realita, sesuai dengan hukum-hukum kekhususan seni. Sejauh apapun seni fantasi melangkah, dia tak bisa menolak material lain kecuali apa yang diberikan dunia tiga dimensi dan masyarakat berkelas padanya. Bahkan saat sorang artis menciptakan sorga dan neraka, dia hanya mentransformasikan pengalaman dari hidupnya dalam phantasmagoria. Kita juga tahu kalau tidak ada lagi rasa, aroma, substansi dan hakikat Lampung di sana. Bahkan Lampung masa kini, yang secara sosial-politik terdesak oleh dominasi Indonesia (Jawa) dan dunia global.

Isu sastra lokal hanya ada dalam khazanah sastra Indonesia, dan diformulasikan sebagai sastra Indonesia yang terbuka pada realitas para pelakunya (para sastrawan itu) berjejak pada geografis Indonesia yang terkotak-kotak dalam kekayaan budaya suku. Ada Sunda - meski orang Cirebon tidak merasa Sunda dan orang Banten lama mempunyai kejayaan sejarah sendiri. Ada Jawa - yang terpecah dalam wilayah budaya pesisir, Madura, Ujung Timur, dan mungkin Samin dan Tengger. Sehingga, sastrawan Indonesia yang menulis sastra Indonesia dengan bahasa Indonesia berhak menampilkan manusia Sunda dengan seting Bandung atau Sumedang. Atau, seorang sastrawan Pariaman mengungkapkan karakter manusia dan filsafat hidup Minang dalam bahasa Indonesia bagi pembaca non-Minang. Dan, seterusnya.

Lokalitas adalah eksotisme. Sebuah bagian dari genre sastra romantik - sejak setengah abad lalu menggejala di dalam tradisi balada. Sebagai eksotisme, hal itu menjadi semacam kegenitan 'dandyisme' yang menyebabkan sebuah teks sastra tampil kemayu. Setengah tidak dipahami oleh apresiator yang berbeda latar, budaya dan bahasa (ibu) dari si sastrawan, karenanya terpaksa dibuatkan catatan kaki - atau pengantar oleh kritikus apresiatif yang banyak membualkan eksotisme bagi turis.

* * *

Ada kecenderungan teks sastra Indonesia tidak bisa gampang dicerna dalam apresiasi awam tanpa membawa bekal referensi budaya lokal. Ada faktor-faktor estetika, ekspresi seni, filsafat, karakter, kekayaan budaya dan seterusnya - yang teramat lokal. Dengan melihat lokalitas Bloomington dalam kumpulan cerpen Budi Darma, Orang-orang Bloomington, atau Orang-orang Pinggiran dan yang Terpinggirkan dalam cerpen Joni Ariadinata, maka kita melihat lokalitas sebagai potensi seting, karakter tokoh, serta kemungkinan konfliks - selain idiom rasa bahasa. Karenanya, lokalitas menjadi kemungkinan menjelajah Nusantara dengan bahasa sebagai pisau analisis dan menjadikan teks sastra sebagai altar per-sembahan eksotisme posmo. Tak lebih dan tak kurang.

Bila tak punya motif menjual eksotisme lokal bagi orang kebanyakan di pasar, kenapa mereka masih memilih bahasa Indonesia? Padahal hal lokal itu akan menggejolak penuh gairah kalau disampaikan dalam dan dengan bahasa daerah. Bukankah sastra lokal akan tampil sangat eksklusif ketika diungkapkan dengan estetika, ekspresi dan bahasa daerah? Seorang Godi Suwarna atau So-ni Farid Maulana lebih mendekati ideal sastra lokal ketika mengadaptasikan yang nasional ke lingkup komunitas suku. Meski secara finansial lebih bagus mengekspor eksotisme lokal ke dunia global dengan bahasa Inggris sehingga kita mendapat julukan maestro posmo.

Tapi apa benar lokalitas (sastra) berhubungan dengan pangsa pasar? Ekslusivitas karya sebenarnya berjiwa inklusif dan memiliki efek finansial? Jadi, selalu ada langit di luar dan langit di dalam diri setiap sastrawan?

Bilik Jumpa Sastra, Minggu, 24 Juni 2006

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home