Diskusi Bilik Jumpa Sastra
Lokalitas Sastra=eksotisme Mengapresiasi sajak-sajak Udo Z Karzi yang memakai bahasa lampung, seharusnya bukan hanya sastra yang hadir dalam medium bahasa Lampung tok. Dus dicetak supaya dibaca oleh komunitas yang berkomunikasi dalam dan dengan bahasa Lampung. Namun begitulah adanya. Udo Z membatasi apresiasi kita di wilayah itu. Udo hanya menulis. Memberi makna pada teksnya dan meminjam idiom rasa bahasa Lampung untuk sajaknya. Hal ini terungkap dalam diskusi bilik sastra di Unila beberapa waktu lalu. Udo tidak sedang memberontak terhadap kemapanan bahasa nasional apalagi terhadap kemapanan struktur bahasa Imperial, seperti keingginan Ahmad Yunus, selaku pembahas malam itu.
***
Perdebatan mengenai lokalitas dalam sastra mungkin sedang berlangsung diantara kaum liberal dan kaum “populis”. Permasalahan tersebut bukanlah persoalan bagi pembaca. Dialektika materialis berdiri di atas ini, dari cara pandang proses historis yang obyektif, karya sastra merupakan pelayan sosial dan berdasarkan sejarah bersifat utilitarian. Udo mungkin dalam barisan ini; memberikan alunan kata yang dibutuhkan bagi suasana hati yang samar dan kelam, mendekatkan atau mengkontraskan pikiran dan perasaan, memperkaya pengalaman spiritual individu dan masyarakat, memurnikan perasaan, menjadikannya lebih fleksibel, lebih responsif, memperbesar volume pemikiran sebelumnya dan bukan melalui metode personal yang berdasar pada pengalaman yang terakumulasi, mendidik individu, kelompok sosial, kelas dan bangsa. Dan apa yang disumbangkannya tersebut tidak dipengaruhi oleh permasalahan apakah sastra tersebut muncul di bawah bendera daerah atau nasional, apalagi yang bertendensi pada sebuah kasus tertentu.
Usaha mendefinisikan sastra lokal, hanya mengandaikan satu kesusasteraan yang terkungkung dan dikungkung oleh satu lokalitas. Karna jika lingkungan dan relasi produksi telah mempengaruhi seni, lalu tidakkah tema-tema seni akan terikat pada tempat-tempat yang terhubung dalam relasi-relasi itu saja? Padahal tema tak terbatas wilayah bukan? Meski kita sudah terbiasa menerima kehadiran sastra lokal tanpa mempertimbangkan vitalnya aspek eksklusivitas sastra bersangkutan. Bahkan cenderung menerimanya sebagai sesuatu yang inklusif hingga terbuka pada pengaruh asing. Ketika kita membaca sajak-sajak Udo Z, meski memakai bahasa Lampung secara teramat personal, kita tetap bisa meraba dan melihat bayang-bayang pola ekspresi Ws Rendra. Maka kita tak bisa menyebut itu sebagai sastra lokal Lampung. Semua itu jelas merujuk kepada sebuah pola dan mode estetika dan ekspresi sajak modern
Terminologi lokalitas yang coba ditekankan secara eksklusif itu selalu dibarengi sikap permisif dan toleran mengandaikan sifat inksklusif sehingga estetika, ekspresi, idiomatik, kekayaan budaya, seting sosial, filsafat dan seterusnya dari satu komunitas (budaya) bisa beralih dan dipinjam oleh komunitas (budaya) lainnya. Ini agar teks sastra mutakhir satu komunitas (budaya) mendapat pengayaan verbal dan substansial. Karna lingkungan tidak mengekspresikan dirinya sendiri dalam sastra. Jika bias! maka muncullah argumen dari mana asal muasal ide cerita Simalin Kundang berasal? Apakah dongeng itu murni Sumatra Selatan, atau telah bersintesa dengan keragaman budaya lain. Untuk menyebutkan bahwa lingkungan seseorang, termasuk seorang sastrawan, yaitu kondisi dari pendidikan dan kehidupannya, menemukan ekspresi dalam seninya bukanlah berarti menyatakan bahwa ekspresi seperti itu memiliki karakter geografis, etnografis, dan karakter statistikal yang sama persis. Tidaklah mengejutkan bahwa adalah sulit untuk memutuskan apakah sebuah novel ditulis
Kreasi artistik tentu saja bukanlah omelan meskipun ini juga merupakan pembelokan, sebuah perubahan dan transformasi realita, sesuai dengan hukum-hukum kekhususan seni. Sejauh apapun seni fantasi melangkah, dia tak bisa menolak material lain kecuali apa yang diberikan dunia tiga dimensi dan masyarakat berkelas padanya. Bahkan saat sorang artis menciptakan sorga dan neraka, dia hanya mentransformasikan pengalaman dari hidupnya dalam phantasmagoria. Kita juga tahu kalau tidak ada lagi rasa, aroma, substansi dan hakikat Lampung di
Isu sastra lokal hanya ada dalam khazanah sastra
Lokalitas adalah eksotisme. Sebuah bagian dari genre sastra romantik - sejak setengah abad lalu menggejala di dalam tradisi balada. Sebagai eksotisme, hal itu menjadi semacam kegenitan 'dandyisme' yang menyebabkan sebuah teks sastra tampil kemayu. Setengah tidak dipahami oleh apresiator yang berbeda latar, budaya dan bahasa (ibu) dari si sastrawan, karenanya terpaksa dibuatkan catatan kaki - atau pengantar oleh kritikus apresiatif yang banyak membualkan eksotisme bagi turis.
* * *
Bila tak punya motif menjual eksotisme lokal bagi orang kebanyakan di pasar, kenapa mereka masih memilih bahasa
Tapi apa benar lokalitas (sastra) berhubungan dengan pangsa pasar? Ekslusivitas karya sebenarnya berjiwa inklusif dan memiliki efek finansial? Jadi, selalu ada langit di luar dan langit di dalam diri setiap sastrawan?
Bilik Jumpa Sastra, Minggu, 24 Juni 2006
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home