Thursday, October 21, 2004

Sstt…Ada MLM untuk Gaet Massa

Sejak tahun 1999, kampanye tidak lagi didominasi suatu partai. Persaingan antarpartai ini kemudian memunculkan badaya baru dalam berkampanye. Budaya arak-arakan dan menonton joged dangdut di lapangan terbuka perlahan mulai ditinggalkan. Anggap saja namanya Joni. Aktivitas pemilihan umum (Pemilu) 2004 kali ini cukup melelahkannya. Bayangkan setiap hari, dia harus keliling ke kampung-kampung sekedar untuk cek dan recek. Menanyakan kondisi perkembangan suara terakhir. Maklumlah Joni adalah ketua tim sukses kakaknya yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif (caleg). Pemilu beda sekarang, membuat Joni membuat beda strategi ‘pemasaran’ gambar kakak dan partainya. Sebab bukan saatnya lagi arak-arakan massa dan pawai dilakukan Joni. Dia lebih mengandalkan rumus ‘keluarga’ dengan sistem multi level marketing (MLM) untuk mendapat dukungan lebih banyak. Kenyataannya memang tak hanya Joni yang menerapkan cara seperti itu. Hampir setiap partai menerapkan sistem marketing (pemasaran) dalam berkampanye. Seperti dengan pola pengkaderan dan pengikutsertaan simpatisannya yang telah dikelola secara baik. Melihat hal ini, para elite politik belajar tentang bagaimana "menyuruh" orang membeli produknya secara sukarela secara persuasif. Kecenderungan yang fleksibel ini (floating mass dan last minute voter) membuka peluang terjadinya tawar-menawar antarkedua pihak. Transaksinya, jatuhnya pilihan pada partai itu. Yang jelas, usaha perebutan share of mind ini tak kalah seru dengan perebutan pangsa pasar consumer goods. Mengambil ilustrasi sederhana Masanori Okutomi, pemilih dianggap konsumen dan hak pilihnya adalah uang. Dengan demikian, konsumen membeli suatu produk diasosiasikan dengan pemilih memilih kandidat atau kebijakan partai politik tertentu. Dalam hal ini, partai politik dan kandidat yang menjadi penyedia layanan (service provider) yang menawarkan produk berupa platform partai dan citra kepemimpinannya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari perilaku pemilih dalam pemilu yang dapat dikategorikan dalam tiga plus satu kelompok. Tiga kelompok itu adalah pertama, pemilih yang membuat keputusan cenderung berdasar janji si pengkampanye. Kedua, pemilih yang agak loyal mengevaluasi seberapa jauh kebijakan itu dilaksanakan dan sebagai partisan partai itu untuk jangka panjang yang mempertimbangkan bagaimana partai politik memfasilitasinya untuk meraih tujuan. Adapun kelompok terakhir yang ketiga, golput tidak menemukan pilihan yang sesuai dan memuaskan aspirasinya. Dunia demokrasi adalah dunia persuasi. Keberhasilan persuasi partisipan pemilu kepada pemilih berarti menekan angka golput. Warisan politik masa lalu meninggalkan kuantitas floating mass yang besar. Political Marketing Rencana pemasaran dalam konteks pemilu ini adalah suatu alat yang digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Alasan untuk melibatkan suatu rencana pemasaran dalam politik pada Pemilu 2004 ini, merupakan strategi untuk menjaring pemilih, dengan membujuk pemilih untuk memahami partai politik dengan alat yang merupakan fungsi pemasaran (Marketing). Dengan memanfaatkan media komunikasi verbal dan non-verbal, menerapkan rencana pemasaran kedalam praktik politik berarti membuat ide pemasaran. Yang akan dilanjutkan dengan menentukan sasaran dan tujuan untuk partai politik yang bersangkutan. Untuk menjalankan hal tersebut, partai politik harus menentukan komponen, bentuk pemasaran, sifat pemasaran, metode, teknik, dan model, yang semuanya adalah ruang lingkup ilmu komunikasi. Penelitian mengenai voting, polling, atau efek-efek komunikasi politik berawal dari metode riset pemasaran. Dengan demikian, banyak kesamaan antarkeduanya, seperti segmentasi pasar, targetan, dan positioning. Strategi segmentasi sendiri lahir di akhir era 1950-an di bidang pemasaran. Sejak saat itu segmentasi menjadi konsep utama dalam pemasaran consumer goods. Konsep ini dilatarbelakangi ide, pasar yang terbentang di depan produk, tidak terdiri atas konsumen yang sama. Perbedaan ini berdampak pada permintaan (demand). Segmentasi ini dilakukan dengan melihat faktor geografi, demografi, dan psikografi. Pada pemilihan sasaran (target) pemasar memilih kelompok yang dianggap paling potensial dan tepat sebagai sasaran mereka. Hal yang sama juga berlaku di dunia politik. Pemilih bukanlah massa yang mempunyai karakteristik sama, dan tidak dapat diperlakukan sama pula. Partai politik maupun calon legislatif harus memilih segmen khalayak yang akan dijadikan sasaran utama, memahami perilakunya, dan menyusun pendekatan paling tepat. Pemilihan posisi (positioning) didasari analisis dan estimasi atas kekuatan dan kelemahan suatu produk. Dalam political marketing, produknya adalah partai politik dan calon legislatif, beserta kebijakan, serta kompetensinya. Positioning-nya adalah menyelaraskan dengan konsumen pemilih dan seberapa kompetitif dengan partai politik lain yang menjadi pesaing. Keunggulan kompetitif ini biasanya lebih mudah dibaca dengan bantuan perceptual map. Keunggulan inilah yang sebaiknya digarisbawahi untuk dikemas menjadi pesan yang disampaikan kepada khalayak sasaran. Dalam kaitan dengan pemilu, tujuan political marketing adalah mengubah sikap (attitude) terhadap isu utama, yaitu mengubah pilihan khalayak yang menjadi sasaran. Dalam dunia pemasaran, jika para pemilih malas ke bilik suara memberikan arti yang berbeda dalam politik. Artinya para pemilih merasa bahwa mereka tidak memperoleh keuntungan yang dianggap signifikan. Yaitu keuntungan kenapa harus milih dan manfaat apa yang dirasakannya setelah mengeluarkan pengorbanan ke tempat pemungutan suarta. Jadi, yang harus dilakukan pengkampanye yaitu meningkatkan nilai/value pemilih agar mereka mau ke bilik suara tanpa paksa-memaksa. Sebenarnya pemilih sendiri juga mempunyai tiga tingkatan kepuasan tersendiri dalam memilih wakilnya. Jika kebijakan yang dijanjikan politikus cocok dengan harapan pemilih, maka akan terbentuklah kepuasan tingkat pertama yang disebut attribute-based satisfaction. Tentu saja pemilih tidak hanya berhenti pada sebatas janji saja. Mereka mengharapkan implementasi dari janji itu secara konsisten. Jika kondisi ini terpenuhi, maka lahirlah keputusan tingkat kedua yang disebut sebagai consequence-based satisfaction. Tingkat kepuasan tertinggi adalah goal-based satisfaction. Kepuasan ini tercipta jika maksud dan tujuan pemilih dapat terpenuhi oleh partai politik. Dapat dikatakan, pada awalnya pemilih fokus kepada ciri-cirinya belaka, lantas bagaimana konsekuensi jangka pendeknya bagi pemilih dan dalam jangka panjang sejauh mana memenuhi tujuan pemilih. Model mengenai value bagi para pemilih inilah sebenarnya inti dari demokrasi, jika disimak dari sudut pemilih rasional. Dengan model ini partai politik/kandidat presiden akan berusaha menangkap aspirasi pemilih, memberi program (janji) yang sesuai aspirasi ini, dan saat terpilih memenuhi janji itu. Namun di Indonesia seperti diungkap di awal, sebagian pemilihnya adalah pemilih irrasional, artinya faktor ketokohan dan kultur aliran yang sering juga disebut politik aliran, tumbuh subur disini. Hingga dari sosok kandidat presiden ganteng juga cucu pendiri organisasi keagaman terbesar di Indonesia dapat memperoleh dukungan yang sangat banyak. Marketing dan Pemilu ke Depan Sering kali dikatakan bahwa perbedaan antara marketing/pemasaran dan penjualan sebenarnya hanya terletak pada skala waktunya: penjualan berarti mendapatkan pesanan hari ini, sedangkan pemasaran mempertahankan pesanan untuk tahun depan. Dalam bukunya “Marketing For Succes” Tony Flecther dan Neil Russel, menganalogikan bahwa “kegiatan marketing bukan kegiatan dalam merencanakan acara Natal atau Ulang Tahun, setelah rencana ditulis dan kegiatan dimulai. Menurutnya setiap tahun, rencana baru harus mengikut sertakan rencana tiga sampai lima tahunan, dan melihat bagaimana selama ini segala sesuatu berjalan, ‘putar’ sebagian dari rencana itu menjadi rencana terperinci untuk tahun depan dengan tidak lupa menanambahkan rencana jangka panjang” (Marketing For Succes, 2002:110). Proses ini jelas sangat penting, mengigat hajat besar demokrasi di negara ini lima tahun sekali. Pun, halnya istilah marketing dalam pemilu, baru terdengar oleh masyarakat Indonesia. Karena marketing adalah mengenai menetapkan tujuan strategi untuk partai politik dan individu yang berkepentingan. Disadari atau tidak prinsip marketing model ini dipakai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Lihatlah pada Pemilu 1999 ketika PDIP pertama kali menjadi peserta pemilu, PDIP mencoba membangun komunikasi intra personal terhadap rakyat dengan menjual sosok karismatik Presiden pertama Indonesia Ir Sukarno. Bung Karno, dianggap sangat laku dijual. Dengan melakukan analisa pasar yang tentunya dengan mempelajari kasus berkomunikasi dimasyarakat bawah, PDIP menusung isu “Membela kepentingan wong cilik”. Hingga dapat mendongkrak suara PDIP menjadi pemenang dalam pemilu yang diikuti 48 partai politik. Dalam hal ini strategi berkomunikasi untuk ‘menjual’ slogan politik dan sosok Bung Karno sukses besar. Namun sebaliknya kesuksesan pemasaran tidak hanya dilihat sampai disini. Fungsionaris partai harus tetap menjaga kepercayaan masyarakat terhadap PDIP. Lewat analisis pasar tentunya strategi pada Pemilu 1999, harus ditinjau ulang dalam menyambut Pemilu 2004. Dan secara inflisit sistem proporsional terbuka sekarang ini, menguntungkan PDIP yang sangat sulit jika menjual isu seperti pada Pemilu 1999. Hal ini dikarenakan pemerintahan yang dipimpin Megawati, tidak bisa menarik bangsa ini dari keterpurukan. Sosok Bung Karno, tidak lagi dominan mewarnai komunikasi politik untuk masyarakat, dengan slogan “coblos moncong putih” dan menjual isu “tidak menjual kucing dalam karung” PDIP merekrut tokoh-tokoh masyarakat yang mempunyai basis massa, untuk dijadikan simpul di daerah, kota, hingga kabupaten. Tentunya hal ini melalui analisis pasar guna mensesuaikan dan memenuhi keingginan masyarakat pemilih. Karena pemasaran adalah tentang bagaimana memahami pelanggan, yang intinya, mengenai memahami apa yang dibutuhkan orang-orang dan apa yang mereka ininginkan. Memang terkesan pelanggan/pemilih dimanjakan, namun dalam pelaksanaannya komunikasi yang dibangun jangan sampai tertukar antara siapa konsumen dan siapa produsen. Artinya jika partai politik dalam posisi produsen/penjual harus mempunyai patokan harga dari konsumen yang mempunyai Bargining positioning/posisi tawar. Dalam hal semacam ini mungkin Partai Golongan Karya (Golkar), yang dahulu adalah kendaraan politik orde baru, mampu merubah image dengan selogan “Golkar baru, bersama untuk maju”, sekilas slogan baru ini, adalah ingin merubah total Golkar. Namun dengan penelitian pasar dan analisa, Golkar membaca pemilihnya yang kurang mendapatkan pendidikan politik, akan menginterprestasikan sebuah perubahan yang baik. Dari uraian diatas jelas, komunikasi politik, merupakan juru kunci untuk menciptakan sebuah trobosan dalam memenangkan pemilu. Contoh kasus lainnya yang itu sewaktu Presiden George Bush ditantang Clinton dalam pemilu tahun 1992, tak seorang pun menyangka Clinton akan menang. Clinton adalah Gubernur Arkansas, sebuah provinsi miskin dan kecil di Amerika Serikat, sedangkan Bush adalah presiden yang berpengalaman dan di masa pemerintahannya Amerika baru saja menang besar dalam Perang Teluk. Bush pintar sekali memanfaatkan kemenangan tersebut untuk memenuhi ambisinya menjadi presiden kedua kalinya dengan mengadakan penyambutan besar-besaran terhadap Jenderal Scwharzskopf, si panglima perang. Namun, apa yang kemudian terjadi sungguh di luar dugaan, rupanya Clinton adalah pemasaran sejati. Clinton mampu memposisikan diri berbeda dari Bush, walaupun dia kecil. Dengan cerdik ia mengatakan, "It's the economic stupid," sebagai positioning statement-nya. Dengan kalimat itu, Clinton ingin mengatakan, omong kosong dengan kemenangan perang kalau dalam ekonomi hanya menjadi pecundang. Kebetulan kinerja ekonomi pemerintahan Bush waktu itu amburadul karena perhatian tersedot ke Perang Teluk. Kasus Clinton-Bush menunjukkan kepada kita bahwa marketing dan pembentukan image amatlah penting tak hanya untuk perusahaan atau produk. Ia juga penting di arena politik, terutama di masa-masa pemilu, saat para calon pemimpin perlu menggalang "target market" untuk memilihnya.