Tuesday, November 29, 2005

Kemerdekaan Pers dan Komitmen Elit Politik

Saat membicarakan kemerdekaan pers, ucapan salah seorang pemikir dan bapak bangsa Amerika Serikat, Thomas Jefferson seringkali muncul: "…jika saya harus memilih antara pemerintahan tanpa suratkabar, atau suratkabar tanpa pemerintahan, maka saya tidak akan berpikir panjang untuk memilih yang terakhir." Pernyataan dari Presiden ke-3 AS ini (1801-1809) dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pers adalah salah satu pilar penting dalam sebuah negara yang berlandaskan demokrasi. Jefferson sebetulnya meneruskan tradisi yang sudah dipercaya dan dijalankan oleh para pemikir Amerika yang sezaman dengannya, ataupun yang mendahuluinya, yang tertuang dengan tegas dalam apa yang dikenal sebagai Amandemen Pertama (First Amendment) dari Konstitusi AS.

Tentu saja memberikan tempat bagi pers yang merdeka membuka peluang bagi munculnya gesekan, terutama antara pers di satu pihak dengan penguasa di pihak lainnya. Adalah tabiat dasar pers yang merdeka untuk senantiasa memasang mata dan telinga dalam perannya sebagai watchdog, yang selalu kritis terhadap penguasa. Di AS sendiri, dalam seabad terakhir, sangat banyak problem yang muncul berkaitan dengan hubungan antara pers yang merdeka dan penguasa ini, termasuk sejumlah kejadian pasca serangan bom 11 September 2001, serta peristiwa Perang Irak, dimana pers AS diminta oleh penguasa untuk lebih bersikap patriotik.

Jauh sebelum itu, bahkan Jefferson sendiri beberapa kali harus berhadapan langsung dengan sepak terjang pers yang membuatnya tidak nyaman. Seperti yang disebutkan oleh ahli sejarah terkemuka, Dumas Malone dari Universitas Virginia, AS, dalam karya monumentalnya "Jefferson and His Time", salah satu penyerang Jefferson adalah James Thomson Callender, seorang wartawan yang sebetulnya berteman dengan sang presiden. Callender menyerang Jefferson, sampai ke urusan karakternya. Serangan-serangan ini, menurut Malone, sempat agak menggoyahkan pendirian Jefferson mengenai pentingnya pers yang merdeka. Namun dia memilih untuk tidak menyerang balik, apalagi sampai harus memberangus pers.

Ilustrasi pengantar ini dimaksudkan sebagai pembanding terhadap pemberitaan media massa pekan lalu mengenai hilangnya teks tentang kemerdekaan pers dari naskah rancangan penyempurnaan pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, saat rancangan yang disiapkan oleh Komisi Konstitusi ini diuji shahih di hadapan DPR. Semula rancangan yang sudah disiapkan itu berbunyi: "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan serta kemerdekaan pers, dijamin dan diatur dalam undang-undang." Saat pertama kali rumusan ini dimunculkan, Wakil Ketua Komisi Konstitusi, Albert Hasibuan mengatakan bahwa rumusan tersebut sudah disepakati tim perumus dan hampir pasti diterima pleno.

Apabila rumusan tersebut benar-benar masuk ke dalam Konstitusi, tentulah itu merupakan perkembangan yang sangat menggembirakan. Namun perkembangan terakhir yang ternyata berbeda itu, merupakan sinyal memprihatinkan di saat-saat seluruh dunia tengah memperingati Hari Kemerdekaan Pers Sedunia, yang jatuh tanggal 3 Mei setiap tahun. Pada tanggal itulah lahir Deklarasi Windhoek, dari forum pertemuan para wartawan Afrika di kota Windoek, Namibia, tahun 1991. Deklarasi itu menekankan perlu dan pentingnya pers yang merdeka dan beragam, sebagai prasyarat tegaknya demokrasi. Atas usul UNESCO, pada tahun 1993 Perserikatan Bangsa-Bangsa sepakat untuk menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Kemerdekaan Pers Sedunia.

Kembali ke ihwal penghapusan rumusan kemerdekaan pers yang dibuang dari rancangan hasil kerja Komisi Konstitusi tadi. Menurut laporan media berkaitan dengan peristiwa ini, kuat dugaan bahwa penghapusan itu terjadi karena dominannya tokoh militer dan kelompok pro-Orde Baru dalam Komisi, walaupun beberapa anggota yang diduga berperan dalam penghapusan tersebut membantah dugaan tadi. Bantahan ini tetap tidak menjawab persoalan, karena pada kenyataannya rumusan yang sangat penting dan berimplikasi jauh dalam proses demokratisasi itu telah dihilangkan, paling tidak untuk sementara ini.

Peristiwa ini merupakan cermin nyata betapa tipisnya komitmen elit politik negeri ini untuk mendukung gagasan kemerdekaan pers. Sejumlah kalangan yang mendukung kemerdekaan pers bahkan sudah sejak beberapa tahun terakhir ini mulai pesimis melihat massa depan kemerdekaan pers di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan peranan elit politik. Kemerdekaan pers yang notabene dihadirkan oleh elit politik tak lama setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri di tahun 1998, dalam dua tahun belakangan mulai dipertanyakan kembali, juga oleh elit politik. Kita tentu ingat sejumlah pernyataan dari para tokoh politik Indonesia, baik yang duduk di pemerintahan maupun di parlemen, yang terkesan tidak begitu senang menyaksikan pers yang merdeka di Indonesia. Keluhan dan keberatan yang dari sejumlah kalangan masyarakat mengenai sepak terjang pers, seringkali pula dimanfaatkan oleh sebagian elit politik tadi untuk mengabsahkan tudingan mereka terhadap kemerdekaan pers. Termasuk juga lahirnya istilah "pers kebablasan" (melampaui batas).

Komitmen yang rendah terhadap kemerdekaan pers ini juga tampak dari sejumlah pristiwa yang menimpa beberapa media di Indonesia, mulai dari tindakan anarkis dari sekelompok masyarakat, sampai kepada tindakan hukum yang menimpa sejumlah lembaga pers dan wartawan. Dalam hampir semua kejadian itu, amat jarang kita mendengar ada pernyataan elit politik yang mengecam, atau setidaknya memprihatinkan, situasi kemerdekaan pers yang jelas-jelas terancam. Tentu saja ada segelintir elit politik yang masih peduli. Menurut catatan penulis, dalam kasus hukum yang menimpa koran Tempo beberapa bulan lalu, misalnya, Ketua MPR Amien Rais sempat berkunjung langsung ke kantor Tempo dan bertemu dengan pemimpin redaksi media yang bersangkutan (fotonya kemudian dimuat di koran ini). Andaikata cara seperti ini lebih sering dilakukan oleh para elit politik, tentulah sedikit banyak akan berdampak positif, dan bukan mustahil pula membuat pihak-pihak yang ingin membungkam kemerdekaan pers berpikir lebih serius sebelum bertindak.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa pers adalah makhluk yang can do no wrong alias tak bisa berbuat kesalahan. Tentu saja pers berpotensi untuk melakukan kesalahan. Namun kesalahan-kesalahan itu hendaknya juga ditempatkan pada konteksnya, dengan mempertimbangkan hal-hal berikut: pertama, kemerdekaan pers di Indonesia belumlah panjang usianya, baru lewat masa "balita", sehingga ibarat seorang bocah ia masih berjalan dengan tersandung-sandung di sana-sini. Tugas semua pihaklah – lembaga pers, para wartawan, masyarakat secara luas, dan elit politik -- untuk ikut mendewasakannya. Pers harus terus menerus sadar diri bahwa kinerjanya masih jauh dari sempurna sehingga harus melakukan pembenahan yang menyeluruh, terutama dalam segi standar profesionalisme dan etika, dilengkapi pula dengan pembenahan manajerial. Jika pers bersalah, "tegurlah" dengan proporsional (termasuk menggunakan perangkat hukum yang mengatur pers, dalam hal ini Undang-Undang Pers), dengan niat konstruktif, dan bukan dengan keinginan tersembunyi untuk membatasi ruang gerak pers lewat berbagai cara.

Kedua, haruslah pula dipahami bahwa sisi lemah yang dibawa oleh kemerdekaan pers seyogianyalah masih dapat ditoleransi dibandingkan manfaat yang dihadirkannya. Berbagai literatur telah menguraikan manfaat ini dengan panjang lebar, yang apabila dirinci menunjukkan bahwa pers yang merdeka akan memainkan peran sebagai forum dialog yang demokratis, termasuk memberikan kesempatan bagi suara yang selama ini mungkin terabaikan, sebagai sumber informasi yang berharga, sebagai pelengkap atau bahkan bisa pula menjadi alat utama bagi proses pendidikan, serta sebagai alat kontrol yang efektif terhadap kinerja penguasa dan proses pembangunan. Atau dalam rumusan Presiden Bank Dunia James D. Wolfensohn yang khusus menyiapkan artikel untuk dalam kaitan dengan Hari Kebebasan Pers Sedunia tahun ini, "Tiada lagi keraguan bahwa sumbangsih media sangatlah tak ternilai untuk mencapai kemajuan ekonomi, memerangi korupsi, membuat keseimbangan antara si kaya dan si miskin, dan lebih dari itu, mengurangi kemelaratan di muka bumi." Namun, tanpa komitmen dari semua pihak, terutama sekali para elit politik, semua manfaat tadi hanya ilusi.

  • pandangan pribadi