Saturday, March 18, 2006

Saya Terbakar Amarah Sendirian

Resensi Buku Saya Terbakar Amarah Sendirian: Pramoedya Ananta Toer Dalam Perbincangan dengan Andre Vltchek & Rossie Indira

Penyusun : Andre Vltchek & Rossie Indira Editor : Candra Gautama & Linda Christanty Penerbit:Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta Cetakan :I Januari 2006 Tebal : xxix + 131 halaman

Pramisme versus Javanisme

Wawancara mendalam dengan 150 pertanyaan, mengungkap ide atas nasionalisme Pramoedya Ananta Toer. Pram mengugat sejarah yang direkayasa Orde Baru. Suharto dan Kloninya menjadi penjajah baru setelah Belanda dan Japang dengan menyebarkan idiologi “Jawanisme.” Pram menyebutnya sebagai faham yang berkembang sejak ratusan tahun hingga sekarang. "Jawanisme adalah taat dan setia membabi buta pada atasan, yang pada akhirnya menjurus kepada fasisme." Pram menyebutnya Fasisme Jawa. Pram juga berpendapat turunnya Sukarno adalah karna kudeta militer Suharto yang dibantu Amerika. Di jelaskan setelah kudeta tahun 1965, Suharto membuka pintu lebar-lebar untuk modal asing, dan dari situlah penjarahan besar-besaran terjadi pada bangsa ini. Amerika menancapkan PT freeport. Walau mulanya mereka berinvestasi untuk eksplorasi tambang tembaga, namun ternyata Doktor dari bandung yang berkerja disana menemukan fakta bahwa yang mereka tambang adalah emas. Naas bagi sang doktor selain dipecat, rumahnya di obrak-abrik dan dokumennya di curi. Sehingga dia harus mengungsi keluar negeri. Obsesi Suharto pada akhirnya hanya mencari kekayaan yang berlimpah ruah. Bahkan salah satu anaknya menjadi tuan tanah terbesar di Sumatra. Ini tentu saja bertolak belakang dengan apa yang sudah dibangun Sukarno yang anti-kolonialisme, anti-kapitalisme dan anti-imperialisme. Dunia barat hanya menjadikan dunia ini ladang dolar saja. Hal ini seharusnya sudah dapat membentenggi bangsa ini dengan amanat Sukarno: Nation and Character Building Karna Sukarno tau bangsa ini belum punya karakter dan identitas, karnanya jika tidak dibangun, maka negara ini tidak akan tumbuh. Fasisme Jawa ini subur. Orang Indonesia hanya berdiam diri saat dijajah dan dijarah sumber daya alamnya. Bahkan disaat orang aceh berperang melawan Belanda, Jawa ikut andil dalam membantai para pejuang Aceh dan lainnya yang melawan Belanda. Kolonialisme buatan Belanda, memang berdampak mempersatukan kepulauan dan mempunyai andil dalam terbentuknya Indonesia. Kedatangan jepang yang tahu betul tentang Jawanisme ini, kebali mencengkramkan kuku-kukunya dengan menggaku saudara tua. Bangsawan-bangsawan Jawa dan kepala desa membantu Jepang dalam merekrut 700 ribu petani dalam program romusha. Mereka jadi tenaga kerja paksa dan sekitar 300 ribu orang mati. Hal inilah yang mendasari Pram untuk menulis dan menelaah lebih dalam tentang wawasan kebangsaan dengan melihat ide Sukarno tentang Nation and Character Building. Hal inilah yang tidak dimiliki para penulis sekarang. Para penulis harusnya punya rasa tanggungjawab moral yang tinggi untuk bangsanya. Kata Pram. Dalam jawaban Pram tentang masa orde baru, dia selalu terkenang dengan kudeta militer di tanah Jawa pada 1965. Jakarta berubah menjadi sunyi. Jenderal Soeharto yang naik menjadi Presiden Indonesia dibayar nyawa dua juta penduduk Jawa, versi Laksamana Sudomo, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ketika itu. Lebih parah lagi hitungan komandan Para Komando Angkatan Darat Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, yang memimpin operasi, jumlahnya tiga juta jiwa. Pram sendiri ‘diamankan’ dua minggu setelah peristiwa pembunuhan enam jenderal. Dan langsung di giring ke kamp konsentrasi di pulau buru tanpa proses pengadilan dan delapan naskahnya dibakar.

Pram termasuk 500 orang tahanan pertama di pulau buru. Dari keseluruhan tahanan yang berjumlah 14.000. Disana dia menjalani kerja paksa selama sepuluh tahun. Di sanalah lahir empat novel sekuel dengan judul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, yang dikenal dengan Tetralogi Pulau Buru.

Pram tepaksa harus mengetik naskahnya dalam beberapa salinan. Karna khawatir naskahnya akan bernasip sama dengan ke delapan naskahnya yang dibakar. Salinan disebarkan di antara para tahanan, yang lain dilayangkan ke gereja. Rupanya salinan naskah inilah yang kemudian diselundupkan ke luar Pulau Buru dan dikirim ke Eropa, Amerika dan Australia. Pram terbakar amarahnya bila mengingat peristiwa pembakaran perpustakaan pribadi dan delapan naskahnya oleh segerombolan tentara Indonesia. "Pembakaran buku sama dengan perbuatan setan!" ungkapnya, geram.

Berbicara tentang Indonesia, membuatnya kebakaran sendirian. Dia menyesali tidak lahirnya pemimpin di Indonesia sejak Soekarno. Saat ini tak ada calon presiden yang bisa dipilih karena tak ada seorang pun memiliki wawasan keindonesiaan dan prestasi individu. Begitupun masyarakatnya. Konsumtif dan cenderung acuh terhadap keadaan bangsanya. "Yang mereka lakukan dari hari ke hari hanyalah beternak konsumsi dan mengemis tanpa melakukan produksi!".

Tidak hanya itu, Pram juga prihatin soal bahasa Indonesia. Di mata Pram, belakangan bahasa ini sudah menjadi brengsek. Bahkan penggunaan bahasa oleh media di negeri ini sudah kacrut. Setali tiga uang atas dunia sastra. Pram menilai tak ada seorang penulis atau seniman Indonesia yang bisa jadi simbol oposisi.

Pertanyaan-pertanyaan Vltchek dan Indira mengorek banyak sekali perasaan atau isi pikiran Pram. Termasuk solusi yang mesti ditempuh anak negeri ini supaya tak ikut menjadi busuk. Jalan keluar satu-satunya dari gelombang pembusukan ini, kata Pram, cuma revolusi! Gerakan besar yang kembali membawa Indonesia pada titik nol.

***

Sebelum diterbitkan di Jakarta, buku ini muncul terlebih dahulu dalam versi Inggris dengan judul Exile: Conversations With Pramoedya Ananta Toer. Dan sebelum disunting dalam bahasa Indonesia oleh Candra Gautama dan Linda Christanty penerima Khatulistiwa Literary Award, oleh Linda telah di sunting dalam bahasa melayu.

Pram mengatakan dia tak dapat lagi mengungkapkan amarah maupun gagasan revolusioner dalam karya tulis. “Saya benar-benar tidak bisa menulis lagi” Kata Pram. Karnanya dia setuju menuangkan ‘amarah yang membakar dirinya’ dalam wawancara selama empat bulan dengan pasangan suami-isteri Andre Vltchek, jurnalis dan pembuat film asal Amerika, serta Rossie Indira, mantan seorang aktivis Partai Komunis Indonesia, yang bekerja sebagai arsitek dan kolumnis. Mereka merekam jawaban atas 150 pertanyaan yang diajukan Vltchek-Indira dari Desember 2003 hingga Maret 2004.[]

*Yudi HS

Thursday, March 16, 2006

KODE ETIK JURNALISTIK

KEJ pengganti KEWI

Berbagai organisasi pers yang bertemu di Jakarta, 14 Maret lalu, telah mengesahkan Kode Etik Jurnalistik sebagai pengganti Kode Etik Wartawan Indonesia. Pertemuan yang difasilitasi Dewan Pers tersebut dihadiri 29 dari 35 organisasi pers yang diundang. Organisasi pers yang hadir terdiri dari 27 organisasi wartawan dan 2 organisasi perusahaan pers. Selain mengesahkan Kode Etik Jurnalistik, para peserta juga telah menyepakati rumusan mengenai Penguatan Peran Dewan Pers dan Standar OrganisasiWartawan. Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Ichlasul Amal, yang mengikuti sampai akhir pertemuan menyambut gembira atas hasil-hasil yang dicapai.“Kita bersyukur telah berhasil menyepakati Kode Etik Jurnalistik, Standar Organisasi Wartawan, dan Penguatan Dewan Pers secara demokratis dan lancar. Ini akan menjadi contoh yang baik bagi regulasi pers, dan semoga dapat memperkokoh peran pers sebagai pilar keempat demokrasi di Indonesia”, kata Amal. (Kompas, 16 maret 2006) Rencananya Kode Etik Jurnalistik, Standar Organisasi Wartawan dan Penguatan Peran Dewan Pers yang telah ditandatangani oleh organisasi-organisasi pers akan disahkan Dewan Pers melalui Surat Keputusan(SK). Kode etik yang baru terdiri dari11 pasal, lebih banyak 4 pasal dari kode etik sebelumnya. Kode etik ini dianggap lebih baik dari kodeetik sebelumnya karena dapat menampung lebih lengkap persoalan-persoalan yang berkembang dalam media cetak dan elektronik. Sementara di kode etik yang lama persoalan media elektronik dianggap tidak cukup tertampung. Selain itu, kode etik yang baru ini memberi rambu-rambu kepada wartawan tentang penghormatan terhadap kehidupan pribadi narasumber. Mengenai pemberitaan tentang perbedaan suku, ras, warna kulit,agama, jenis kelamin, bahasa, serta oranglemah, cacat jiwa atau cacat jasmani, juga dimasukkan dalam kode etik. Persoalan-persoalan tersebut sebelumnya tidak terakomodasi dalam KEWI.

***

Beruntung bagi saya kenal dengan Sabam Leo Batubara, sekretaris dewan pers. Beliau yang memberi tahu saya tentang pergantian kode etik ini. Pak Leo sudah dua kali menjadi fasilitator pelatihan di Teknokra. Umurnya sudah 66 tahun, dia pria setengah baya yang penuh semangat, suaranya lantang ketika berbicara. Di Lampung, Erik Khafif (Pemred Teknokra) pernah kewalahan di ajak lari pagi dari tugu Raden Intan—Universitas Lampung (Unila)— balai pelatihan kesehatan Rajabasa. Pak Leo tidak merokok dan minum kopi. Harinya dimulai dengan satu cangkir tea dan koran pagi. Foto: Sabam Leo Batubara (Tengah), Selesai Lari Pagi 24 september 2005, bersama Roni Sepriono (Pemred Teknokra 04-05) dan Rieke Pernamasari (Redaktur Pelaksana). Bagi pak Leo Lampung bukan daerah asing, ketika masih kuliah di IKIP Jakarta tahun 1970, dia bertemu istrinya, muli Lampung yang tinggal di daerah Kampung Sawah Bandarlampung. “Saya suka makan duren, jadi waktu pacaran istri saya selalu ajak saya makan duren, padahal itu strateginya agar saya mau antar dia ke Lampung” ucapnya tertawa. Selain menjadi sekretaris dewan Pers, beliau adalah pemimpin perusahaan harian Suara Karya, juga menjabat ketua harian Serikat Penerbit surat kabar Pusat. Pak Leo adalah salah satu anggota tim perumus Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), di era Menteri Penerangan Muhamad Yunus, KEWI ditanda-tangani 26 asosiasi wartawan. Namun beliau juga yang terlibat dalam tim perumus KEJ penganti KEWI. Salam -Yudi- Berikut Imel dari Sabam Leo Batubara: Yudi Teknokra, ini kode etik jurnalistik yang baru. Namanya KODE ETIK JURNALISTIK, bukan lagi KEWI. KEJ ini ditandatangani 29 organisasi wartawan, 14 Maret kemarin. Salam untuk teman-teman di Lampung -Sabam Leo Batubara- KODE ETIK JURNALISTIK Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik: Pasal 1 Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Penafsiran a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain. Pasal 2 Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Penafsiran Cara-cara yang profesional adalah: a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber; b. menghormati hak privasi; c. tidak menyuap; d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang; f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara; g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri; h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik. Pasal 3 Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Penafsiran a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang. Pasal 4 Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Penafsiran a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan. d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara. Pasal 5 Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Penafsiran a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah. Pasal 6 Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Penafsiran a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. Pasal 7 Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan. Penafsiran a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber. c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya. d. Off the record; adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan. Pasal 8 Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Penafsiran a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan. Pasal 9 Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Penafsiran a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik. Pasal 10 Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Penafsiran a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar. b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok. Pasal 11 Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Penafsiran a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki. Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers. Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006 Kami atas nama organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia: 1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan 2. Aliansi Wartawan Independen (AWI) Alex Sutejo 3. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Uni Z Lubis 4. Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI) OK. Syahyan Budiwahyu 5. Asosiasi Wartawan Kota (AWK) Dasmir Ali Malayoe 6. Federasi Serikat Pewarta Masfendi 7. Gabungan Wartawan Indonesia (GWI) Fowa;a Hia 8. Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI) RE Hermawan S 9. Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI) Syahril 10. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bekti Nugroho 11. Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB HAMBA) Boyke M. Nainggolan 12. Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI) Kasmarios SmHk 13. Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI) M. Suprapto 14. Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI) Sakata Barus 15. Komite Wartawan Indonesia (KWI) Herman Sanggam 16. Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI) A.M. Syarifuddin 17. Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI) Hans Max Kawengian 18. Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI) Hasnul Amar 19. Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Ismed hasan Potro 20. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Wina Armada Sukardi 21. Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI) Andi A. Mallarangan 22. Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK) Jaja Suparja Ramli 23. Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI) Ramses Ramona S. 24. Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI) Ev. Robinson Togap Siagian 25. Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI) Rusli 26. Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat Mahtum Mastoem 27. Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS) Laode Hazirun 28. Serikat Wartawan Indonesia (SWI) Daniel Chandra 29. Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII) Gunarso Kusumodiningrat

Friday, March 03, 2006

Soal NKK/BKK

Soal NKK/BKK Yudi Nopriansyah

Paska peristiwa malapetaka lima belas Januari (Malari) tahun 1974, Dewan Mahasiswa (DEMA) memotori kampus bergejolak, puncaknya tahun 1978, mahasiswa berdemonstrasi besar-besaran mengkeritisi kebijakan Orde Baru. Pada medio itu, di Unila ketua DEMA di pimpin oleh Muhajir Utomo (1977) dan M Thoha B Sampurna Jaya, sebagai koordinator bidang Umum kemahasiswaan. Menyadari akan bangkitnya ‘ruh’ gerakan mahasiswa, pemerintah Orba melakukan intervensi dalam kehidupan kampus, dengan dalih stabilitas politik dan pembangunan. Intervensi dilakukan lewat jalur birokrasi maupun pembenahan politik yang melibatkan unsur-unsur kehidupan kampus. Hingga keluarlah SK menteri pendidikan dan kebudayaan (P dan K), Daoed Josoef, No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Disusul dengan SK No. 0230/U/J/1980 tentang pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Aksi mahsiswa saat itu, dianggap rezim penguasa mengancam bagi stabilitas pembangunan dan kekuasaan negara.

Implikasi konsep NKK/BKK adalah pembubaran DEMA, yang merupakan simbol demokrasi kampus. Di Unila sendiri sejak berlakunya NKK/BKK hampir semua organisasi kemahasiswaan ‘mati.’ Segala kegiatan kemahasiswaan tidak lagi dibawah asuhan DEMA tapi langsung di bawah kontrol BKK. Alhasil semua kegiatan pun langsung dibawah kontrol pejabat teras Universitas, Rektor dan para dosen. Ditambah lagi salah satu peraturan dalam NKK/BKK, jabatan Pemimpin Umum Pers Mahasiswa harus dipegang oleh dosen yang ditunjuk langsung oleh rektorat. Maka sejak itulah, koran yang sekarang anda pegang matisuri selama dua tahun.

Setelah DEMA dibubarkan, yang tersisa hanyalah unit kegiatan mahasiswa dan senat fakultas, serta himpunan mahasiswa jurusan. Kampus dinyatakan harus steril dari politik dan hanya sebagi tempat belajar mengajar, mengembangkan nalar. Konsep NKK/BKK, diarahkan pada pengembangan diri mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat ilmiah. Dus, aktivitas mahasiswa berupa demonstrasi dikatakan sebagai kegiatan politik praktis yang tidak sesuai dengan iklim masyarakat ilmiah. Kegiatan kemahasiswaan terbatas pada wilayah minat dan bakat, kerohanian, dan penalaran. Selain itu, dalam Tri Darma Perguruan Tinggi dinyatakan bahwa fungsi perguruan tinggi adalah menjalankan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Depolitisasi yang diterapkan saat itu sungguh efektif, mahasiswa menjadi study oriented sehingga selama puluhan tahun kegiatan mahasiswa jauh dari aktivitas mengkritisi kebijakan penguasa dan demonstrasi.

Rupanya penguasa otoriter salah jika menyangka gerakan mahasiswa telah mati. Tahun 1998 menjadi bukti sejarah bangkitnya kekuatan besar idialisme kampus. Gerakan mahasiswa berhasil menjatuhkan rezim otoriter orba, yang selama 32 tahun mengerogoti bangsa dengan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Reformasi berkumandang di moncong megaphon di kerumunan puluhan ribu mahasiswa yang berdemo. Keringat, airmata hingga darah pahlawan Reformasi tumpah dalam kepulan asap gas air mata dan peluru serdadu. Bahkan Syaidatul Fitria fotografer koran ini meninggal dunia menyusul Muhamad Rijal mahasiswa fisip ketika merekam aksi burutal aparat pemerintah. Menggingat besarnya pengorbanan mereka dalam memperjuangkan kebenaran yang dibayar dengan kematian. Maka sangat hina jika ada dari kita mahsiswa, melupakan jasa mereka. Reformasi memang belum secara menyeluruh menuntaskan masalah bangsa ini. Tapi poin penting dalam kontek tulisan ini adalah, alfanya mahasiswa selama puluhan tahun dalam mengkritisi kebijakan pemerintah, menjadikan mangsa ini sangat terpuruk. Sehingga reformasi terkesan belum cukup memperbaikinya.

Sejarah singkat diatas saya sampaikan pada malam ulang tahun Teknokra, yang kebetulan berdiri pada 1 Maret 1977. Media ini lahir dari idialisme orang-orang yang berada dalam kepengurusan DEMA saat itu. Idialisme telah melahirkan kami, maka biarkan kami hidup untuk memperjuangkannya. “Jangan lupakan jas merah,” ucap Bung Karno. Oleh karnanya media ini pernah mati saat NKK/BKK di berlakukan. Sama halnya harapan saya dalam konteks iklim pergerakan mahasiswa di kampus tercinta ini. Lembaga mahasiswa yang menjadi pos pergerakan dengan perangkat politiknya harus bisa berefleksi dan jangan terjebak dalam fragmatisme. Sehingga setiap kebijakan harus mempunyai landasan berpikir yang kuat. Perangkat politik dalam membangun demokrasi dan partisipasi kampus haruslah steril dari kelompok kepentingan di luar kampus. Ingat lagu Slenk, “Jangan sampai kita ditunggangi.” Salam, tetap berpikir MERDEKA.