Si Tukang Palu
Ada sebuah cerita tentang seorang tukang palu. Di kehidupannya dia hanya bisa mengunakan palu memperbaiki semua benda yang rusak. Pagar, mobil, rumah, bahkan kaca yang rusak pun di palu. Si tukang pun berakhir dengan kutuk pelanggannya, naasnya pelangan pun berakhir dengan palu dikepalanya. Lalu Si tukang palu berjaya, memberi pemahaman kepada murid-muridnya untuk melupakan alat lain selai palu.Ada yang bilang cerita si tukang palu, adalah kisah manusia egois. Ada juga pendapat, Si Tukang Palu kurang pengetahuannya. Yang kedua ini, bisa menjadi akibat kebodohan si tukang, namuan di negeri jargon ada pepatah “guru kencing berdiri—murid kencing berlari.” Atau “buah jatuh—tidak jauh dari pohonnya.” Ini yang membuat pelanggan kemudian berbicara tentang perlunya memahami alat menukang selain palu. Dia mulai mengomel tentang pendidikan yang menghasilkan peserta didik serupa dengan pendidiknya. Tapi yang terjadi kemudian kepalanya si pelanggan di bilang rusak dan harus di perbaiki. Tentu Si Tukang Palu, telah belajar memahami apa yang harus dan apa yang tidak bisa dipalu, namun tampaknya keputus asaan dalam proses menukang, meyakini bahwa: kerusakan menjadi tambah parah jika diperbaiki dengan alat lain selain palu.
Saat ini, Indonesia belum seperti Rwanda. Indonesia belum seperti Yugoslavia. Tentu kita harus cemas bila suatu hari nanti tukang palu mengambil alih pentas. Apalagi kini terasa bertambah buruknya hubungan yang sehat antara orang yang berbeda
agama dan berbeda ras. Sementara di ruang-ruang tertutup orang melakukan semacam diskriminasi rasial: jika si anu bukan berdarah X, maka ia tidak akan dapat kesempatan untuk masuk kerja, naik pangkat, atau berada di jabatan yang penting. Dan bukan hanya karena orang ramai kembali ke ikatan-ikatan seagama dan sekaum sebuah komunitas nasional terancam oleh proses disintegrasi. Kalau orang hari-hari ini ramai bertanya lagi, ada apa gerangan dengan nasionalisme, jawabannya tidak bisa diberikan dengan asumsi-asumsi lama, dan tidak bisa seperti si tukang yang hanya bisa mengunakan palu.
Tetapi bukan hanya karena si Tukang Palu saja sebuah bangsa retak. Sebab, selama sekitar seperempat abad terakhir ini Indonesia telah berubah sedemikian rupa, bahkan acuan-acuan kita tentang identitas diri kita sendiri pun berubah pula. Kilauan cahaya ekonomi yang tumbuh dengan cepat telah hadir, dan itu punya akibat serta nemesisnya sendiri. Sebuah masyarakat yang dulu tidak kita kenal betul tumbuh dan berkembang di antara kita: sebuah masyarakat yang secara diam-diam ataupun secara hiruk-pikuk berpacu dengan kebutuhan-kebutuhan yang terus-menerus bertambah. Masyarakat "baru" ini juga pada umumnya menampakkan ciri sebuah masyarakat yang secara intensif menganyam hubungan antar anggotanya dalam proses jual-beli. Keadaan itu membuat orang seakan-akan diperlakukan sama: sebagai penjual atau sebagai pembeli. Kaum ningrat, bapak dan ibu pejabat, akhirnya mendapatkan perlakuan yang "disamakan" seperti itu—karena mereka pun boleh dikatakan produsen—konsumen pula. Tapi di lain pihak, ketidaksetaraan meruak, ada yang lebih mampu berproduksi dan berkonsumsi, ada yang kurang mampu membeli atau menjual. Ada yang bergerak maju, ada yang diam atau tenggelam. Akhirnya, banyak kepastian guncang: bentuk-bentuk martabat dan
penghormatan lama jadi rancu, hubungan- hubungan yang pernah ada menjadi tak bisa stabil lagi. Lalu korupsi menyelinap dalam sela-sela itu.
Di bangsa ini, korupsi bukanlah kejahatan biasa. Ia mengakar dan berkarat, Negara yang seharusnya menjadi penjaga kepentingan bersama itu pun rapuh, retak, dan rusak. Hingga meruntuhkan hampir seluruh konstruksi res publica. Karna seorang gubernur bisa disogok oleh pengusaha real estate untuk meniadakan sebuah lapangan yang diperlukan khalayak ramai, seorang hakim bisa disuap agar memenangkan perkara untuk kepentingan si penyuap. Solidaritas para koruptor terlembaga. Seperti seorang pemimpin proyek pembangunan bisa mengajak petugas di pelbagai instansi lain untuk menyulap biaya agar bisa masuk ke kantong mereka semua. Di situlah letaknya sebuah pola disintegrasi bangsa: mereka yang seharusnya menjadi perekat kepentingan orang banyak ternyata hanya melayani kepentingan pribadi.
Tantangannya, bisakah kita memperbaiki itu? Dalam hal seperti ini generasi kita sekarang lebih "beruntung". Kita lebih banyak bahan. Generasi sekarang lebih banyak bisa mempelajari hasil penelitian tentang masyarakatnya sendiri, yang di zaman dulu belum pernah dilakukan. Generasi kini, generasi kita yang dapat melihat apa yang dulu tak terlihat. Dulu siapa bicara soal polusi, kehidupan Yang konsumtif, kemungkinan habisnya minyak bumi dan bahaya ledakan penduduk? Dulu siapa yang menyimak Revolusi Kebudayaan, melihat kegagalan Pakistan dan pesatnya perkembangan Pendidikan di negara Malaysia? Dan dulu siapa yang melihat meluasnya korupsi di Indonesia? Kita semua kini terdiri dari sejarah yang lebih lanjut. Kita semua terdiri dari bermacam aliran pikiran, latar belakang sosial-kultural, dan berbagai kepentingan, yang jika didengarkan semua secara seksama dan bebas—akan memperkaya batin kita.
karna kalau kita putus asa, maka terciptalah Si Tukang Palu. Dimana semua kebocoran-kebocoran di perbaiki dengan mengunakan palu, sehingga menciptakan kebocoran-kebocoran lain. Sering orang bilang bahwa Si Tukang Palu telah terorganisir, kepercayaan terhadap palu yang mampu menyelesaikan semua masalah menjadi keyakinan mereka, dan meraka tidak mau dibilang terbatas ilmu pengetahuannya. Mereka seperti putus asa. Seperti keputus asaan Gus Dur yang bilang “Tuhan tidak perlu dibela.” Lalu penggal pemikiran kyai nyentrik itupun, di klaim para tukang palu, sebagai penyakit yang harus di palu untuk mengobatinya. Inilah mengapa pelanggan tidak lagi, setia kepada para tukang palu. Pelanggan sadar bahwa hakekat menjadi tukang harus bisa mengunakan alat lain seperti sugu, amplas, cet, kuas bahkan sapu tanggan untuk mengelap noda di benda yang terkuak akibat sugu amplas dan warna cet.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home