Tuesday, August 29, 2006

Teknokra Bukan "Teknokrat"

Tahun 2005, Pemimpin redaksi The Jakarta Post, Endy M Bayuni datang ke Lampung. Dia di undang menjadi pemateri pendidikan jurnalistik tingkat pengelola oleh Teknokra. Peserta didiknya pemimpin umum Pers Mahasiswa dari berbagai Universitas se-Indonesia. Sebelumnya Endy membaca setumpuk majalah dari setiap persma yang ikut pelatihan untuk menjadi bahan pelatihan. Dia bilang, kagum dengan wartawan mahasiswa. Berkerja tanpa dibayar namun tetap menghasilkan tulisan yang berbobot. “kalian kawah canradimuka wartawan Indonesia” kata Endy. Setelah pelatihan usai. Kepada panitai, Endy berjanji akan memuat salah satu Propil pers Mahasiswa di The Jakarta Post, koran harian nasional berbahasa Inggris, tempatnya memimpin. Tak disangka dua minggu selesai pelatihan Oyos Saroso HN, wartawan The Jakarta Post ditugaskan untuk meliput aktivitas sehari-hari Teknokra. Lebih membanggakan lagi ketika 19 Oktober 2005, setengah halaman rubrik National News, koran The Jakarta Post memuat berita yang di tulis Oyos Saroso HN, dengan judul Student newspapers told to change their strategies. Dalam rubrik yang sama, The Jakarta Post juga memberitakan tentang fotografer Teknokra yang meninggal di popor senapan ketika sedang meliput berjudul Atul: Forgotten martyrs of reform. Atul atau Saidatul Fitria adalah fotografer Teknokra, ketika demontrasi besar mahasiswa tahun 1999, demonstran cheous dengan aparat di depan kampus Universitas Bandar Lampung (UBL), Atul meminta dirinya dikirim meliput, pemimpin umum setuju asal ditemani Reno Setiaji anggota magang Teknokra saat itu. Atul dengan semangat merekam tujuh pristiwa kerusuhan dalam kamera nikon f 301. Sebelum dia dikejar aparat dan tiba hantaman benda tumpul yang meretakan tengkorang dahi kepalanya 8 cm. Reno sendiri tertembak perutnya. Atul meningal empat hari kemudian di Rumah Sakit Advent. Sedang Reno selamat, peluru diperutnya berhasil di keluarkan. Sekarang kami menyebut sekretariatan Teknokra dengan Graha Saidarul Fitria, dengan demikian perjuangan dan semangat Atul, akan selalu hadir dalam jiwa kami.Foto: Yudi, Mayna-kay, Ronkay, Endy Wife, Hen-kay, Endy M Banyuni, Riekay, Sabam Leo Batubara, Ghizlkay, Irmakay.
***
29 tahun lalu, dalam medio 1975-1977, Teknokra hanya sebuah ide. Asep Unik sebagai koordinator bidang Humas, Penerangan dan Publikasi dalam struktur DEMA (Dewan Mahasiswa) sekarang disebut BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). menyusun program kerja (progja). Asep bersama tim perumus progja yang terdiri dari: Muhajir Utomo (ketua umum DEMA) dan M. Thoha B Sampurna Jaya (Koordinator Bidang Kemahasiswaan), mencoba merumuskan progja bidangnya. Untuk bidang Humas, Penerangan dan Publikasi, Asep Unik membuat salah satu progja yakni menerbitkan majalah dan koran dengan nama Teknokra. Majalah dan koran Teknokra ini diterbitkan dengan tujuan untuk menciptakan iklim komunikasi dua arah antara mahasiswa, dosen dan masyarakat umum, ditambah tujuan-tujuan praktis yang bermanfaat bagi mahasiswa yang berkecimpung di dalamnya. Adapun tujuan praktis dari diterbitkannya majalah dan koran Teknokra adalah untuk melatih kematangan mahasiswa dalam penulisan dan meningkatkan intensitas kegairahan membaca serta mempersiapkan diri untuk menghadapi penulisan skripsi, melatih ketajaman mahasiswa dalam menganalisa, memperkaya kreatifitas dan menyebarluaskan penyampaian ilmu, teknologi, kebudayaan, sekaligus media promosi komponen mahasiswa Unila, serta untuk melengkapi dan memperluas penerbitan atau penulisan populer kemahasiswaan. Namun terkadang kenyataan tak selamanya sesuai rencana. Rencana untuk menerbitkan majalah atau koran hanya menjadi mimpi, Teknokra hanya terbit hanya berbentuk buletin 30 halaman. Isinya berbeda jauh dari isi Teknokra sekarang, buletin Teknokra dulu 80 persen berisi tulisan opini atau tulisan ilmiah dari dosen dan mahasiswa, 20 persen berisi artikel lepas seperti cerpen, puisi dan sedikit berita bersifat straight news seputar kampus. Prihal nama Teknokra yang merupakan akronim Teknologi, Inovasi, Kreativitas dan Aktivitas. Di kancah oleh Asep unik yang sebenarnya merujuk pada kata Teknokrat. Saat itu kata Teknokrat ini sedang ngetrend untuk menyebut golongan intelektual, orang-orang yang pintar, cerdas dan selalu berpikir. Dan memang harapannya, orang-orang yang terlibat di Teknokra ini akan seperti itu. Akan tetapi nama ini menurut Asep Unik, terlalu berat. Ada sebuah ketakutan yang merasuki jika tahun-tahun kedepan, Unila umumnya atau Teknokra pada khususnya tak mampu menyandang nama besar tersebut. Serta ada kecemasan dari Asep Unik Cs akan keterkungkungan mereka dalam euforia sesaat ketika menggunakan kata Teknokrat. Dengan pertimbangan itu, maka kata Teknokrat tak jadi dipakai, tetapi tetap mengambil bagian dari kata Teknokrat tersebut yaitu kata Teknokra tanpa huruf “t” dibelakangnya. Akhirnya kata tersebutlah yang dipakai sebagai nama media yang akan diterbitkan.
**
Sekarang Teknokra hadir dalam empat terbitan yaitu Teknokra Majalah, Teknokra News, Teknokra On-line dan secara tentatif menerbitkan Buku. Kami juga merasa bertangung jawab untuk ikut perduli dengan mutu jurnalisme, sehingga program kerja tahunan Teknokra, selalu mencantumkan pelatihan jurnalistik ber-level daerah dan nasional dan juga melakukan bimbingan kepada pelajar sekolah. Memang tidak gampang untuk mengerjakan itu semua, 30 kru Teknokra ditambah anggota magang, terkadang larut dan jenuh dengan rutinitas penerbitan dan kegiatan. Disamping tututan untuk cepat lulus tentunya. Namun keingginan berkarya membuat kru kreatif untuk tetap nyaman, semisal menciptakan nama pangilan macam: Padly jadi Padkay, Doni—Dongkay, Roni—Ronkay, Anastasia jadi Anastasiakay, maksa…! (mereka didaulat kru sebagai keluarga bohai-kay). Suasana kekeluargaan diusahakan terbagun di Teknokra, bahkan sejak magang para anggota dinamai aneh macam: Jaling, Ling-lung, Towo, lemot. Bahkan Erie Khafif pemimpin redaksi punya nama magang Gondes (gondrong desa), meski sekarang rambutnya cepak, sekali gondes tetap gondes. Hidup gondes. Seperti kata Asep Unik, kami bukan ‘Teknokrat,’ kaum yang cerdas dan pintar. Kami hanya ‘Teknokra,’ kaum yang belajar ber-Teknologi, ber-Inovasi, mencoba-Kreatif dan ber-Aktivitas sebagai Jurnalis. Karna cerdas dan pintar bukanlah prodak, melaikan roses. “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah… Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Pramoedya Ananta Toer dalam Khotbah dari Jalan Hidup. Tetap Berpikir Merdeka Salam

Sunday, August 27, 2006

Menggugat Pancasila Lewat Orasi dan Lagu

Nuansa perayaan 61 Indonesia merdeka, oleh masyarakat bangsa ini memang unik, bahkan ada yang bilang aneh. Di komplek perumahan saya, setiap rumah di mintai sumbangan untuk mengundang organ tungal plus biduan seksi. Memang tidak ada paksaan untuk menyumbang. Tapi siapa berani tidak, keputusan menyumbang adalah hasil rembuk tokoh masyarakat RT RW. Saya juga pernah melihat tujuh orang ibu-ibu, ikut lomba panjat pinang. Pohon pinang sebesar tiang listrik di lumuri oli, ketujuh ibu bahu—membahu, injak—menginjak, dan penontonpun histeris tertawa. Buset, “ibu-ibu yang lagi susahanpun rupanya bisa jadi bahan lelucon.” Pikir saya. Dikampus, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) menyumbang tangkai lomba. Dari makan kerupuk, balap karung, tarik tambang, fulsal, catur, paku tim, menjadi hiburan merayakan kemerdekaan.BEM KBM Unila, mengundang tokoh Lampung berorasi, merefleksi kemerdekaan Indonesia. Ada Arif Makhya (Budayawan), Bambang Eka Wijaya (Wartawan), Gino Vinolin (Guru), dan Isbedi Setiawan ZS (Penyair). Dengan seting Pangung Rakyat, Yuke AFI ikut meramaikan. Yuke adalah penyayi Lampung yang berjaya karna SMS, di pentas Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Yuke bernyayi di iringgi, gitar akustik dan alat perkusi yang dimainkan oleh UKM bidang Seni. Lagu yang di nyayikan juga, sesuai dengan orasi Arif Makhya yang mengugat sila kelima Pancasila: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Bagi ayah Arif, pagilan untuk tokoh lampung itu, belum bisa di rasakan oleh masyarakat Indonesia, sejak merdeka 61 tahun lalu sampai sekarang. “Belum ada presiaden Indonesia, yang mampu memberi keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.” Ucap Ayah marah. Setelah orasi Ayah selesai, Yuke bernyayi, dia mengubah lirik lagu “Indonesia Tanah Pusaka,” sehingga terdengar sinis. Indonesia tanah air siapa- Katanya tanah air beta. Indonesia sejak dulu kala, Rakyatnya tidak sejahtera. Disana aktivis disiksa- Petani dirampas hartanya. Upah buruh murah di-bayarnya- Sampai mati tak punya rumah. Peserta histeris, entah untuk Yuke atau lirik lagunya. Bambang Eka dan Gino Vinoli mengapresiasi lagu ini, dengan bertepuk tangan semeriah mungkin, Ayah Arif dan Isbedi menganguk-angguk setuju. Prihal lagu Indonesia Tanah Pusaka ini, penciptanya Ismail Marzuki, salah seorang komponis besar Indonesia yang lahir pada tahun 1914 di Kwitang, Jakarta Pusat. Beberapa lagunya macam: Aryani, Sepasang Mata Bola, Gugur Bunga, menjadi lagu pilihan upacara dan acara kenegaraan. Nama Ismail Marzuki sendiri didaulat sebagai suatu pusat seni di Jakarta yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM) di kawasan Salemba, Jakarta Pusat. Tahun 2004, ketika mendekati pemilihan Presiden langsung, Gus Dur, Amin Rais, Akbar Tanjung, Megawati, Eros Djarot, dan beberapa politikus lain. Pernah bersama-sama menyayikan “Indonesia Tanah Pusaka,”, di televisi. Namun SBY yang tidak ikut bernyayi terpilih sebagai Presiden. Lagu ini memang tidak asing diteliga, lagu renungan yang sering di dongengkan guru untuk memupuk nasionalisme. Setelah Indonesia tanah air siapa, Yuke. Giliran Gino Vinoli berorasi tentang pendidikan. Gino memulai dengan ‘Onani,’ maksudnya: orasinya ini sering dia teriakan, namun sepertinya para elit politik tidak pernah mau mendengar. Menurut Gino Indonesia adalah satu-satunya bangsa yang menelanjangi dirinya, karna tidak bisa melaksanakan amanat konstitusi. Pendidikan yang dalam Undang-undang dasar, seharusnya mendapat 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), ternyata hanya bisa mengangarkan 4,1 persen. “jadi jangan mau dibebankan pembiayaan pendidikan. Ketika tangungjawab pemerintah sebagai mana diamanatkan konstitusi belum terpenuhi.” Ucap Gino. Gino pernah membuat Riset tentang APBD propinsi yang 500 miliar, jika 20 persennya adalah 100 miliar, maka hitungan untuk buku gratis dari SD, SMP, SMA, yang hanya membutuhkan tujuh miliar (3,5 persen dari APBD). Pemikiran masyarakat yang di racuni bahwa pendidikan tidak bisa gratis itu keliru. Memang pendidikan harus mahal, namun beban pembiayaan sebenarnya bisa di ambil alih oleh pemerintah. Lagu yang ini saya inggat Almarhum Harry Roesli. Kang Harry pernah mengumpat ‘sialan’ dalam lirik lagu blusnya: Sialan, mau sekolah saja susah…/ Katanya wajib belajar, agar otak jadi pintar,/ Bagaimana bisa pintar kalau yang pintar ngak punya otak. Lagu ‘sialan’ ini pertama saya dengar waktu masih di Bandung. Kang Harry menyayikanya bersama pengamen jalanan (Anjal) di Jalan Jakarta, merayakan 55 tahun Indonesia merdeka. Kemudian Isbedi Setiwan ZS, membaca puisi di susul lagu Rumah Kita. Kata Yuke, biar hanya gubuk bambu, tanpa ayelir dan lukisan, masih lebih baik disini, rumah kita sendiri. Indonesia. Rupanya lagu pertama, hanya sekedar menghibur, sedangkan lagu kedua lagunya para birokrat, lagu buaian yang meninak bobo. Yang seperti lagu Kang Harry, Tidurlah Indonesia Raya…/ Indonesia Tanah Air Ku / Tanah Beli Air Juga Harus Beli / Indonesia Terbagi-bagi / Ada Indome / Ada indomart / Ada Indosemen / Ada Indomobil… / ‘nesia’nya kemana..? / Di buang kekal! / ”Nyangkutnya dimana?”/ nyangku di cendana…!

Saturday, August 19, 2006

Akuntabilitas dan Kebenaran Fungsional

Saya pernah di kirimi Imel, oleh kawan Deni Andriana, dari Lembaga Penerbitan Mahasiswa 'Suara Mahasiswa,' Universitas Islam Bandung (UNISBA). Deni menanggapi bantahan saya terhadap tulisan kawan Febrie. Untuk lebih lengkapnya saya posting hasil diskusi kita bertiga tentang masalah elemen pertama dari 9 elemen jurnalisme 'kebenaran.'From:"febrie ha" untuk mas you die, yang pertama saya ingin menyampaikan kebenaran. bahwa saya sekali-kali, sama sekali, dan setiap kali bukan mbak, melainkan (masih) mas, he-he-he. kedua, saya sepakat kalau diskusi kita banyak mengeksplorasi 'ideologi' persma. termasuk juga 'isi' pemberitaan (atau yang lebih luas: tulisan). saya terharu juga, beberapa kali diskusi di milis ini menggunakan argumentasi-argumentasi teoritik. seperti 9 elemen jurnalisme-nya bill kovach, dan seterusnya. bagi saya, inilah cita ilmiah dan akademik kampus. kalo ngomong berbasis teori dan data. (tentu saja ini bukan menara gading. karena kalo kampus asal njemplak (maaf, ini idiom jawa. gak nasionalis ya, he-he-he) apa bedanya kampus dengan masyarakat-nonakademik. kadang-kadang entah karena malas, atau benar-benar tidak ingin dituduh menara gading, kita terlalu banyak 'meninggalkan kampus'. padahal metode 'belajar bersama masyarakat' pun, sebenarnya merupakan proses 'berteori' (baca: mengkonstruksi teori). oke lah, kita akhiri saja soal 'teori-teori' ini. karena 'bahasan' ini juga kan cuma 'dalam kurung'). soal 'ideologi' (saya pakai tanda petik karena masih ada pertanyaan: apakah persma punya 'ideologi), saya memahami sebagai landasan gerak-teoritik bagi persma. mau ngapain persma, dan mau mewujudkan cita seperti apa persma sekaligus bagaimana caranya, inilah 'ideologi' persma. selain 9 elemen jurnalistik, sebenernya kita punya kode etik jurnalistik (kej) yang dianggap sebagai kode etik jurnalistik indonesia. asosiasi wartawan biasanya punya kode etik jurnalistik sendiri, seperti kode etik wartawan indonesia (kewi) punyanya pwi. namun semuanya mengacu pada kode etik jurnalistik (kej). isinya sebenarnya 'standar' (artinya: yang baik-baik gitu deh....). seperti cover both-(all) sides, chek dan rechek, crosschek, tidak melakukan trial by press, tidak melakukan rekayasa, maupun manipulasi data. dan beberapa lain (kalo gak salah juga sembilan) yang saya tidak sempat 'menghapalnya'. nah, ideologi ini kan soal 'konstruksi berpikir'. untuk sampai pada 'konstruksi bertindak'--untuk menghasilkan content (isi)--maka kita mengenal sebagai 'politik redaksi'. atau katakanlah kebijakan redaksi (karena kok 'politik redaksi' identik dengan redaksi yang 'berpolitik'. padahal maksudnya ya 'pendapat redaksi'). kalau dulu soal kebijakan redaksi ini secara 'legal' (maksudnya: etis) dituangkan dalam editorial (pendapat redaksi atas suatu tema), maka sekarang nampaknya banyak tulisan (atau pemberitaan) yang isinya editorial semua. apalagi semenjak ada 'ideologi' baru, semisal jurnalisme sastrawi yang 'membolehkan' by line dari wartawan. sehingga kalau dulu penanggungjawab redaksi adalah pimred (seperti hb jassin--kasus ki panji kusmin, atau bambang harimurti--kasus hercules--yang dituntut ke pengadilan, bukan wartawan yang menulis, sekarang yang 'bertanggungjawab' ya wartawannya sendiri--untuk genre jurnalisme sastrawi). ideologi pers yang berkembang saat ini 'boleh' memasukkan opini dalam tulisan (kalau dulu hanya features--bentuk purba dari 'jurnalisme sastrawi'). ini yang merepotkan. kadang kita teriak pers harus independen, di satu sisi kita 'membentuk karakter masyarakat' (seorang kawan yang saat ini menjadi ketua organisasi mahasiswa ekstrakampus di solo menyebutnya sebagai: jurnalisme propaganda). makanya ini paradoks. katanya kita harus menyuarakan 'kebenaran' (bisa diartikan gak 'menambahi' atau 'mengurangi'), tapi kadang-kadang kita sekaligus harus 'membela' yang tertindas (dengan 'mengompori' baca: 'membentuk karakter masyarakat (pembacanya)). seorang kawan punya tesis titik potongnya: pers menyuarakan kebenaran-etis. netral (tidak berpihak) adalah kejahatan. dan berpihak yang 'dibenarkan' adalah berpihak pada kaum tertindas (teman saya lebih suka menyebutnya mustadafin). mengapa berpihak kepada yang ditindas 'dibolehkan'? pertama, karena mereka tertindas. kedua, karena mereka tidak punya 'sumberdaya' untuk 'berdaya'. (yang 'menindas' tidak perlu dibela. lha wong tanpa dibela saja dia sudah bisa menindas). tapi itu kata teman saya, yang kebetulan saya sepakat. jadi, bagi saya teori penting (tidak sekedar perlu). agar pers 'berideologi'. tentu saja harus diaktulaisasikan. (kita tampaknya 'alergi' dengan 'teori' karena biasanya teoritisi hanya menjadi ilmuan produsen teori. kondisi ini menjadi pembenaran bagi kita (tentu, saya juga) untuk malas membaca 'teori'. jadilah kita trial and error. masih untung kalau 'menemukan teori baru'). soal jurnalistik, jurnalisme, dan pers. saya dapat 'definisi' pers dari seorang anggota dprd solo yang mengisi suatu diskusi mengenai persma di awal perkuliahan dulu sebagai 'sistem syiar', 'sistem pemberitaan'. makanya ada 'pers islami', 'pers pergerakan', 'pers mahasiswa'. disebut sistem karenaia punya 'ideologi', juga punya medianya. kemudian jurnalistik, dan jurnalisme. sewaktu kuliah dulu, saya sering membedakan antara 'paham' atau 'isme' dan 'ideologi'. disebut paham kalau ia masih berbentuk teori. bentuknya seringkali pemikiran seseorang, atau banyak orang yang saling melengkapi dalam satu tema tertentu. sedang ideologi, adalah praksis (bahasanya habermas kalau gak salah). sebagai 'landasan gerak', atau sederhanya 'paham' yang dijadikan 'landasan gerak'. seperti pemikiran marx yang disebutnya sosialisme. ketika dia menulisnya dan kemudian menjadi 'landasan gerak' partai buruh ia baru menjadi ideologi. dia menyebutnya komunisme (dalam tulisan manifesto communist). oleh lenin, pemikiran marx dijadikan 'landasan gerak' revolusi bolisyevik rusia menjadi komunisme-leninisme--yang menjadi komunisme 'definitif' yang kita kenal. begitu juga saat pemikiran marx dijadikan beragam 'landasan gerak' berbagai gerakan menjadi ideologi, bisa bermacam-macam istilah. ada yang menyebutnya sosialisme, bahkan kalau boleh marhaenisme juga dipengaruhi pemikiran marx. jurnalistik sebagai 'paham', 'ilmu', 'isme'. dan jurnalisme sebagai 'ideologi'. kira2 begitu. salam, febrie Mohon maaf saya menyapa mas Febrie dengan memangil mbak. Kesalahan macam ini tampaknya sering terjadi berulang, dimana persepsi menjadi fakta. Sialnya dilakukan oleh seorang wartawan yang malas bertanya. Sekali lagi maaf. 9 Elemen Jurnalisme menurutku bukan teori, melainkan prosedur. Semua orang yang berkerja dalam dunia jurnalistik wajib tahu dan mengerti. Sehingga kesalahan memangil ‘mbak’ untuk seorang lelaki tidak terulang. Sama halnya dengan KEWI yang pada tgl 14 maret lalu digantikan KEJ. Dari segi jumlah pasal, KEJ lebih banyak dibandingkan KEWI, yakni 11 berbanding 7. Dalam hal substansi, KEJ juga kelihatan lebih lengkap karena mengatur sejumlah hal yang kurang tegas diatur oleh KEWI, atau bahkan tak tercantum sama sekali di KEWI. Satu hal yang kini tercantum di KEJ dan sama sekali tak ada di KEWI adalah pengaturan mengenai hal-hal yang sensitif, terutama yang berkaitan dengan masalah suku-agama-ras-golongan. Entah mengapa para penyusun KEWI luput memasukkan ini, padahal ketentuan ini sudah termuat di kode etik organisasi wartawan seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), juga Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). KEJ kini mengakomodasinya, di Pasal 8 yang berbunyi: “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa...” Pasal ini menjadi sangat penting dan relevan, di saat-saat ingatan kita masih hangat terhadap kerusuhan yang dipicu oleh penerbitan kartun Nabi Muhammad oleh koran Denmark, Jyllands-Posten, beberapa waktu lalu. Jurnalisme Sastrawi setahu saya bukan idiologi. JS adalah sebuah gaya dalam penulisan jurnalistik yang pada era tahun 60 berkembang di Amerika dengan nama literary journalism. JS pure karya jurnalistik, yang menyajiankan realitas-peristiwa-berita yang bukan lagi sekedar siap saji ala 5W1H. Bukan pula metode pelaporan news story yang telah terkumpul, tidak lagi relevan, bahkan menyesatkan dan meremehkan fakta-fakta yang terjadi di masyarakat. Tidak juga laporan yang dihalangi oleh sekat waktu deadline dan kolom headline, dari teknik penulisan matter of fact news atau straight news yang dianggap sakral. Sebab, akan banyak kemungkinan bias, cacat bahkan bodoh dalam memetakan view of the world. Juga saya kira mas Febri keliru tentang by line yang menurutku adalah sebuah akuntabilitas. Sejauh mana byline yang berasal dari dua kata by (oleh) dan line (garis ) bisa menjelaskan ukuran akuntabilitas sebuah laporan (berita)? Bukankah tanpa byline pun laporan itu juga dibuat dengan sebenar-benarnya? Celakanya! di Indonesia, kebanyakan surat kabar tak memakai byline. Akuntabilitas wartawan disembunyikan di balik tanggung jawab institusi. Selain itu redaktur di Indonesia cenderung memberikan byline bila sebuah laporan dianggap punya kualitas lebih. Pemakaian itu diberikan sebagai penghargaan bukan akuntabilitas. Kalau laporan itu biasa-biasa saja, redaktur merasa cukup memberikan inisial di ekor karangan - yang sebenarnya, menurut sejarah, lebih untuk fungsi administrasi belaka . Ini yang menurutku bermasalah. Namun berbeda bila seorang wartawan diberi byline. Wartawan akan lebih bertanggung jawab terhadap isi laporannya. Publik akan tahu siapa wartawan yang bekerja secara relatif konsisten menghasilkan berita-berita yang baik dan benar. Sebaliknya, publik akan tahu wartawan mana yang pernah membuat kesalahan dalam laporan beritanya. Bayangkan bagaimana byline bisa mendongkrak mutu jurnalisme? Mungkin maksud mas Febrie adalah untuk persoalan risiko, para redaktur akan mengkhawatirkan wartawannya jadi sasaran kejahatan kalau namanya terpampang. Kekuatiran ini amat beralasan. Di Indonesia, pemberitaan tentang konflik Aceh dan kerusuhan Ambon memiliki risiko yang tidak kecil. Tak sedikit wartawan yang memberitakan konflik itu acapkali mendapat teror sampai risiko pembunuhan. Tak sedikit pula berita yang dibuat wartawan dengan risiko besar. Misalnya, berita tentang kejahatan. Pada kasus macam ini, tentu saja, tanggung jawab bisa langsung diletakkan pada institusi media. Byline ditiadakan. Namun argumentasi itu terpatahkan dengan pendapat bahwa kebanyakan berita tak punya risiko macam itu dan sebesar itu. Yang salah kaprah kalau semua berita dipukul rata dan dianggap berisiko. Perlakuan khusus jadi umum. Akibatnya bila semua berita yang diturunkan tanpa byline, maka semua wartawan akan berada di balik perlindungan institusi. Ujung-ujungnya berita yang diturunkan acap tak memiliki standard yang baik dan benar. Di alam demokrasi yang pesat seperti di Indonesia ini, pemakaian byline adalah sebuah keniscayaan. Publik membutuhkan jurnalisme yang bermutu sebagai sebuah kebutuhan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Salah satunya, didapatkan dari media yang menerapkan byline. Saya pernah ikut dalam sesi pelatihan 9 Elemen Jurnalisme yang Instrukturnya Andreas Harsono, dari yayasan Pantau. Masalah Akuntabilitas dibahas dalam sesi itu. Untuk rnenjawab pertanyaan itu Andreas Harsono punya cerita . Tanggal 15 Desember tahun lalu Bill Kovach, salah satu penulis buku "Sembilan Elemen Jurnalisme" dan seorang wartawan terhormat di Amerika, datang ke kantor harian Kompas. (kompas belum memakai Byline waktu itu) Setelah bertemu Jakob Oetama dan Suryopratomo, Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi, Kovach menemui 15 wartawan untuk berdiskusi di sebuah ruang rapat. Kovach bertanya kepada para wartawan, "Mengapa surat kabar Anda tak memakai byline? Mengapa di halaman satu tak terlihat byline?" Salah satu wartawan yang hadir, mengatakan kalau menggunakan byline bakal kelihatan tulisan wartawannya masih belum bagus. Tak semua wartawan bisa mendapatkan byline. Malu kalau pakai byline. Dengan tenang, Kovach balik mengatakan bukankah itu esensi pemakaian byline? Artinya, biarkan pembaca tahu nama wartawan yang bisa menulis dengan baik dan mana yang tidak baik. Bukankah itu bagian dari pertanggungjawaban? Cerita itu menjadikan saya sadar nilai lebih pemakaian byline. Bila tetap tak ditradisikan bisa menjadi. Sebuah kekurangan yang mengkhawatirkan. Kekurangannya, jelas pada pertanggungjawaban. Kita sadar lndonesia sedang berada pada proses perubahan. Media jadi lebih bebas menurunkan laporan, tentang siapa pun atau apa pun juga. Sementara itu publik butuh informasi yang lebih bisa dipertanggungjawabkan, kata Andreas yang pernah bekerja untuk harian The Nation (Bangkok) dan The Star (Kuala Lumpur) yang di sana byline biasa dipakai. Kenapa tak memakai byline juga bisa mengkhawatirkan? Bagaimanapun wartawan bertanggung jawab atas laporan yang dibuatnya. Wartawan juga bertanggung jawab memverifikasi laporan itu terlebih dahulu. Sebab esensi jurnalisme adalah verifikasi. Namun bila responsibilitas wartawan disembunyikan di balik tanggung jawab institusi, lambat dan pasti akan menuai banyak masalah. Gugatan peradilan akan terjadi seiring dengan memudarnya kepercayaan publik pada institusi media tersebut. Di lndonesia ini yang terjadi pada masa reformasi sekarang. Meski umur kata itu relatif muda, menurut Andreas yang merujuk perkataan Bill Kovach, byline dipakai kali pertama pada 1850 -an oleh Charles S. Taylor, seorang jenderal yang kemudian menjadi penerbit harian The Boston Globe, sesudah perang saudara Amerika. Taylor waktu itu jengkel karena selama perang ada saja wartawan yang menulis dengan judul, "Berita Penting Jika Terbukti Benar". Artinya, si wartawan tak mau bertanggung jawab mencari kebenaran beritanya sendiri. Repotnya, ketika itu, media Amerika tak memakai byline. Mereka hanya menaruh inisial si wartawan di ekor laporan. Banyak juga yang tanpa inisial. Taylor memutuskan menaruh nama para wartawannya pada berita-berita The Boston Globe. Pemakaian byline ini ternyata membuat wartawan-wartawan The Boston Globe lebih berhati-hati dengan laporan-laporan mereka. Inovasi Taylor pun perlahan-lahan ditiru oleh surat kabar lain di Amerika Serikat. Jika kita membaca The New York Times, The Washington Post, Wall Street Journal, atau surat kabar apa pun di Amerika Serikat, byline sudah menjadi keharusan. Di Inggris pun sama. Surat kabar semacam Financial Times, Granta dan lain sebagainya, semua laporan berita diberi nama wartawannya. So mas Febrie, tak usahlah kita repot mencari idiologi utuk persma, karna jika kita telah baik dan cakap melaksanakan aktivitas jurnalisme, maka itu sudah sangat-sangat berguna bagi kaum tertindas yang dikaksud. *Setengah tulisan ini saya unduh dari web log Andreas Harsono. Untuk You die.. Bukankah dalam 9 elemen Jurnalisme Bill Kovach dan Tom R. Juga salah satunya disebutkan bahwa ada poin "kebenaran" - Lantas kebenaran semacam apa? apakah "Pembentukan karakter masyarakat" juga bukan turunan dari prinsip kebenaran. Kebenaran yang kayak gimana? Bukankah kebenaran itu tidak mutlak.. Nah, Pers atau dalam hal ini Persma tentu saja mempunyai landasan "Kebenarannya" (bisa jadi kebenaran versi masing-masing berbeda) - Mengangkat fakta yang benar-benar fakta, yang kata Septiawan Santana (Penulis Buku Jurnalisme Investigasi dan Jurnalisme Kontemporer) merupakan fakta yang tidak fuck u" jadi masyarakat secara tidak langsung diajari tentang konstruksi berita yang faktual dan benar adanya dilapangan, tanpa manipulasi atau pun kepentingan lain yang menunggangi yang mengakibatkan terjadinya rekayasa data dan fakta.. Nah, bukankah itu merupakan salah satu pembentukan karakter atau secara bertahapnya dimulai dari pengenalan karakter lewat kinerja sebuah media. Yang akhirnya mengakibatkan munculnya kepercayaan masyarakat terhadap media (bukankah saat ini banyak masyarakat yang sudah tidak percama sama media?) lantas lahirlah karakter masyarakat gemar baca, percaya media dan tentu saja masyarakat yang mampu menganalisis isi pemberitaan dan informasi yang disuguhkan di media Nah, saya lebih jauh memandang kesana.. kalo saudara You die bicara soal 9 elemen.. Salam, Deni Andriana www.deniborin.multiply.com www.suaramahasiswa.multiply.com Untuk kawan Deni Andriana Sebelumnya terima kasih. Perihal ‘kebenaran’ dalam 9 elemen jurnalisme ini saya dikasih mengerti oleh Andreas Harsono. Tak ada salahnya saya mengutip apa kata mereka bukan! Dalam buku The Elements of Journalism, yang di Indonesia oleh Andreas Harsono menjadi 9 elemen jurnalisme atau oleh Stanly menjadi elemen-elemen jurnalisme. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun. Sembilan elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah ‘kebenaran,’ yang ironisnya, paling membingungkan. (Seperti kata anda!) Kebenaran yang mana? Bukankah kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi. Kebenaran menurut siapa? Bagaimana dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang berbeda-beda? Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional. Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi. Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya. Selain itu kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya. Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap. *tulisan lengkap oleh ANDREAS HARSONO dalam Resensi buku The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (April 2001) Saya kira ini juga menjawab keinginan Mas Febrie untuk membuat Idiologi persma. Saya juga tidak keberatan untuk bahas buku dosen UNISBA Septiawan Santana, yang menurut saya di kejar terbit: Jurnalisme Sastrawi (2002) dan Jurnalisme Investigasi (2003) dan Jurnalisme Kontemporer (2005). Salam Hangat dari Lampung Yudi Nopriansyah

Friday, August 18, 2006

Saya Terperangkap Estetika

Saya pernah ikut dikusi ‘Bilik Sastra,’ sebuah komunitas diskusi yang setiap bulan menampilkan sastrawan Lampung, untuk mempersentasikan karya didepan sastrawan lain kemudian membahasnya bersama. Saya terkagum sekaligus binggung. Kagum karna, melihat penyair ternyata berkerja keras memberdayakan kata-kata dan mengikatnya menjadi sebuah konstruksi makna yang hidup dan berkobar. Bingung, karan dipaksa untuk memahami deretan perdebatan yang berkembang sesama penyair. Di “Bilik Sastra’ para penyair berargumen dengan corak dan style masing-masing, misalnya, penyair berwarna surealisme, dadais, simbolis atau yang lain, mengunakan teori aliarannya, untuk mendebat penyair yang tidak sealiran. Dan itu membuat saya terus mengalir binggung. Begitu rumit tampaknya untuk menikmati sastra. Sehingga para tokoh aliran sastra itu, sangat perlu memperdebatkannya. Anehnya setelah perdebatan yang simpang siur dikepala itu, tidak mempengaruhi apresiasi saya terhadap karya yang dibahas, melaikan sebuah informasi tentang si pembahas dan yang dibahas. Lalu diakhir sesi, ada pertanyaan yang tersisa “memang apa sih definisi sastra itu?” jawabannya pasti tidak konkrit jika didebatkan, tidak seperti rumus matematika. Lantaran ini saya mencoba mencari definisi sastra, lalu saya membuka kamus besar bahasa Indonesia mencari arti sastra. Menurut KBBI arti sastra adalah: (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); (2) karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya. Lalu apa definisi sastra itu? karna saya tidak temukan definisinnya seperti yang di perdebatan. kemudian saya membuka kamus bahasa Inggris dan menemukan kata literature. Arti literature (menurut kamus online WorldNet) adalah: 1: creative writing of recognized artistic value 2: the humanistic study of a body of literature; “he took a course in French literature” 3: published writings in a particular style on a particular subject; “the technical literature”; “one aspect of Waterloo has not yet been treated in the literature” 4: the profession or art of a writer; “her place in literature is secure” So, apakah sastra mempunyai definisi yang sama dengan literature? *** Saya pernah mencoba membuat puisi, yang rencananya beraliran surealisme, macam puisi Goenawan Moehamad yang sering menginspirasi. Dorongan untuk mencipta puisi yang berangkat dari keinginan memunculkan estetika tertentu ini. Ternyata tidak dapat membebaskan diri saya. Saat mulai menuliskan baris-baris puisi, Saya sudah mulai berpikir untuk menjadikannya puisi harus bercorak pada warna surealisme. Saat itu eksploitasi bahasa dan kata menjadi sangat terbatas dan terbelenggu. Imaji yang dibangun tidak bisa hadir secara spontan, tidak bisa utuh, dipaksakan. Kawan saya mengkritik. Saya gagal membangun komunikasi dengan pembaca. Akhirnya dengan mengabaikan semua teori sastra, dan menyerahkannya kepada indrawi. Saya membaca puisi koleksi favorit, berbagai keriuhan, tumpang tindih, simpang-siur, bahkan remuk dengan berbagai bentuk frase, simbol, dan kata, ternyata dapat membangun susunan imaji yang utuh. Saya menikmatinya, masabodo, tentang teori dan style penulisannya. Lalu saya bandingkan dengan puisi yang saya dapat dari novel tenlit bertema ‘kisah cinta anak sekolah.’ jebakan tema itu membuat penyairnya harus bisa berkomunikasi dan berinteraksi sejelas-jelasnya pada pembaca, dan akhirnya puisi itu gagal mengeksploitasi bahasa sebagai sebuah seni ditelingga saya. Yang muncul pada puisi itu adalah sederetan kata-kata klise yang sudah usang, seperti mawar, merpati, laut, air mata, sepi, sunyi, bunga,kota, bulan, matahari, dan sebagainya, yang digunakan tanpa upaya rekonstruksi pemaknaan yang mampu melahirkan arti baru. Pada situasi demikian, estetika bukanlah sebuah kitab suci yang mutlak dihikmati. Juga tidak dengan komunikasi. Penyair tidak boleh mengabdi pada estetika an sich dan mendewakan komunikasi. Puisi sebagai sebuah dunia yang samar bagai sebuah ruang kosong yang setiap orang (pembaca) dapat menziarahinya dan setiap kali pula dapat menandainya, menafsirkannya, bahkan mempertanyakannya, seperti mereka memaknai, menandai, menafsirkan, dan menanyai masa silam dan harapan masa depannya. Saya setuju, kata adalah senjata dan amunisi bagi seorang penyair. Karenanya setiap saat penyair harus bergelut, mencari, dan menghisap kata-kata. Penyair tak boleh berhenti pada satu titik pencarian atau satu eksploitasi saja namun selalu dalam proses pencarian dan eksplotasi yang terus-menerus. Jika penyair mandeg karna menjadi nabi, paus, atau tabib sastra, maka dia sudah membatasi proses kreatifnya. Menjadi objek, bukan subjek, dan selalu tidak setuju dengan hal baru di luar dirinya. Ibarat sebuah jeda yang sekejap akan melangkah lagi ke titik yang lain, penyair harus hidup pada berbagai titik. Hingga, sebuah puisi akan menjelma berbagai keriuhan, simpang-siur, tumpah ruah bahkan remuk dengan berbagai bentuk frase, simbol, dan kata. Kata yang berkelebat ke berbagai titik itu, dengan segala keriuhannya itu, akan membangun susunan suatu bangunan imaji yang disebut puisi. Sesungguhnya puisi itu adalah bangunan imaji yang utuh. Keutuhan bangunan yang dibangun dengan kata-kata ini akan menjadi aspek penentu bagus tidaknya, mampu tidaknya menghadirkan sebuah imaji yang kuat, jernih, dan baru. Pada situasi demikianlah puisi merupakan sebuah tempat pertemuan. Arena yang siapa saja dapat mempergunakannya untuk berdiolog untuk hanya sekedar menatap, memberi harapan-harapan, menyumpah, membangun ingatan, atau meratapi sejarah. Hanya saja bila seorang penyair tidak mampu menghadirkan Imaji puisi, dengan memilih untaian kata, frase, klausa atau kalimat yang mampu menciptakan gambaran konkret di kepala pembaca. Kegagalan ini menyebabkan puisi tak dapat dinikmati, gelap, bahkan gagal menyampaikan sesuatu pada pembaca. Hanya alasan jika penyair mengeluh, karana eksploitasi bahasa dengan segenap eksperimentasinya sudah dikuasai dan dijelajahi para penyair pendahulunya. Karna seorang penyair harus bisa menciptakan lambang-lambangnya sendiri dalam ruang kreatitivitas dan orisinalitasnya. Barangkali benar kata Nirwan, bahwa tak seorang penyair pun mampu menciptakan lambang-lambangnya sendiri. Sebuah puisi adalah organisme yang melayang-layang dalam serumpun populasi yang berkelebat dalam habitat-habitat, melalang buana dalam ekosistem lambang-lambang, berevolusi terus-menerus. Maka setiap penyair tak pernah mampu menghitung dan melunasi hutang-hutangnya pada penyair lain. Namun seperti cahaya matahari yang tanpa di undang menerobos celah pintu dan jendela. Penyair dalam melunasi hutang-hutangnya itu, selalu dapat menampilkan dan menunjukkan titik-titik dan lobang yang berbeda.

Thursday, August 17, 2006

Galeri 61 tahun Kemerdekaan

Forkom 17 Agustus dan Mempererat Silaturahmi

Saya pernah ngantuk berat mendengar kampanye Partai Politik yang mengusung tema “Menciptakan Kebersaman Dalam Membangun Jiwa Gotong Royong.” Sang juru kampanye, mengomel tentang kondisi masyarakat Indonesia yang tidak lagi berjiwa gotong royong. Katanya masyarakat sekarang Individualis, matrealis dan tidak peka terhadap lingkungan. Lalu pada tanggal 10 Agustus, dalam sebuah diskusi selepas pengajian rutin dua mingguan Forum Komunikasi Pusat Kegiatan Mahasiswa (Forkom PKM), tercetus ide untukmembuat format acara yang bisa menjadi wadah silaturahmi antar Lembaga Kemahasiswaan (LK). Konsepnya sederhana, setiap LK yang hadir di pengajian membuat acara untuk merayakan ulang tahun Republik Indonesia yang ke 61. Besoknya, format acarapun terbentuk. Korp Sukarela Mahasiswa (KSR), menawarkan diri mengadakan acara futsal yang pemainnya memakai sarung. Koprasi Mahasiswa (KOPMA) menyisihkan kerupuk kantinnya untuk lomba makan kerupuk, Mahasiswa Pencinta Alam (MAPALA) siap dengan lomba tarik tambang, UKM Filateli menyiapkan karung untuk lomba balab, Resimen Mahasiswa (MENWA) menghibur peserta dengan lomba karoke, sedangkan UKPM TEKNOKRA dan Radio Kampus, RAKANILA membuat pusing peserta dengan lomba Catur. Rangkaian acara itu dimulai tanggal 15 dan puncaknya tanggal 17 Agustus. Di sepakati semua pesertanya harus berasal dari semua UKM dan LK. Sunguh saya tidak melihat bahwa kebersamaan dan gotong royong PKM ini adalah komoditas politik. Kita membahasnya dengan penuh canda, bahkan ada yang tertawa sambil memegang perut. Marshall MacLuhan mengatakan “the medium is the message.” Medium itu sendiri adalah pesannya. Ini bukan kali pertama, saya melihat kebersamaan dan gotong royong antar LK, ketika gempa tektonik yang mengoyang Yogya dan Jawa Tengah dengan 6,3 skala richter. Rekan-rekan UKM berinisiatif, untuk ngamen keliling kampus dan menjual buku, wal hasil, dana bantuan terkumpul satu juta delapan ratus lima puluh ribu rupiah. Jumlah yang sangat sedikit dibandingkan dengan semangat kepedulian untuk membantu. Uang hasil pengalangan langsung di bawa UKM KSR, yang pada waktu itu, ikut dalam rombongan PMI cabang Lampung, untuk menyerahkan langsung kepada korban gempa. Memang tidak semua UKM di Unila yang jumlahnya 37 UKM ikut berpartisipasi, kendalanya dari dulu sama, keterbatasan akses dan informasi. Di Unila penempatan sekretariat UKM tersebar di beberapa tempat dan gedung. Ada di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), gedung Students Computer Service Center (SCSC), Padepokan Judo dan beberapa UKM yang sekretnya tersendiri seperti UKM Birohmah di Masjid Al-Wasi’I dan UKM Catur, UKM Bridge, UKM Anggar. Perihal tiga UKM yang disebut belakangan, panitia forkom kebingungan mencari sekretariatnya. Saya pernah berkhayal, jika setiap UKM menyumbangkan satu tangkai perlombaan, sekedar sebut nama, macam UKM Catur, UKM Bridge, UKM Anggar, semuanya bertangung jawab mengadakan kegiatan sesuai bidangnya. Saya kira tidak akan beres dalam satu bulan? Forkom sepakat itu, karna melihat sedikitnya waktu dan kepanitiaan, maka lomba dalam menyambut hari kemerdekaan ini, hanya berasal dari peserta pengajian yang hadir. Namun lombanya bisa di ikuti oleh semua LK Universitas. Lomba pertama adalah main Catur tanggal 15 Agustus jam 13 siang, Panitianya Rakanila dan Teknokra. Tercatat ada 9 UKM dan 2 LK ikut. Acaranya di gelar di Café KOPMA, yang sontak menjadi ramai. Pengunjung café ikut menonton. Ekspresi pusing pemain rupanya bisa menjadi tontonan siang itu. Saya sendiri mewakili Teknokra ikut dan berhasil lolos masuk final setelah mengalahkan UKM Bidang Seni di penyisihan dan Filateli si semifinal. Pertandingan Catur selesai jam 16.00, dilanjutkan dengan permainan futsal ide KSR. Satu Tim lima orang pemain memakai sarung. Pertandingan dibatasi dua kali 10 menit, tanpa istirahat. Karan memakai sarung, para pemain terlihat tidak leluasa menendang bola. Tapi yang memaksa menendang lebar, membuat suara ‘berekkk…’ suara kain robek. Lucu melihat tingkah orang dewasa yang seperti anak kecil. Sebelum di mulai para pemain berpose untuk di foto.Ada empat pertandingan sore itu, yang dimulai oleh BEM U yang berhasil mengoyak kehormatan gawang MENWA dengan tiga gol. Sedangkan RAKANILA, gantung sarung setelah permainan cantik FILATELI membuahkan empat gol. KSR sendiri terpaksa kalah satu kosong setelah pemainnya melakukan gol bunuh diri ketika berhadapan dengan TEKNOKRA. Gol bunuh diri juga terjadi pada MAPALA, ketika serangan ganasnya tak berhasil menembus pertahanan PRAMUKA. Acara tanding futsal rupanya banyak menarik perhatian penonton, dari penonton fanatik, karismatik, simpatik sampai penonton yang prustasi macam kawan RAKANILA yang menabuh Senar Drum entah mendukung siapa. Semua orang berkumpul menjadi komentator pinggir lapangan, menjadi analis humor, mengenal satu dengan yang lain antar anggota UKM dan LK. Malamnya di markas Menwa, lomba Karoke di gelar, penyayi dadakan bernyayi sekedarnya, tapi lain hal di UKM Bidang Seni, mereka di pilih juri sebagai juara karna wakilnya dasyat bernyayi. Hari kedua gebyar HUT RI, masih seperti hari pertama. Permainan catur, dilanjutkan dengan mencari finalis. Rakanila berhasil mesuk final setelah mengalahkan UKM MAPALA. Robiansayah dari Rakanila berhadapan dengan saya wakil Teknokra. Saya lebih beruntung dan jadi juara Catur. Sementara itu, KSR sibuk menyiapkan pertandingan lanjutan. Pada hari puncak perayaan kemerdekaan tanggal 17 agustus, lapangan rektorat luar biasa ramai, para pengurus UKM dan LK peserta lomba berkumpul. UKM Kopma, Filateli, Pramuka, Mapala, Teknokra, UKM BS, Menwa, Mapala, BEM U dan DPM U, berkumpul memberi dukungan untuk wakilnya yang mengikuti lomba. Acara di mulai siang hari, dengan lomba makan kerupuk, panitianya Kopma. Heboh sekali suasananya. Peserta makan kerupuk yang digantung dengan tangan di belakang. Acara itu lucu sekali. Setelah lomba makan kerupuk yang mengelikan. Giliran persembahan UKM Pramuka di gelar. Tak kalah heboh, Pramuka membuat acara bernama Paku Tim, pesertanya enam orang. Aturannya lima orang ditutup matanya, menarik simpul tali yang ujungnya di banduli paku, sedangkan satu orang mengarahkan agar mereka bisa secara bersamaan memasukan paku itu kedalam botol. Lucu sekali, si pemandu berteriak “kiri, kiri, kanan, kanan, kiri sedikit, kanan sedikit” pemandu yang tak sabar berteriak kesal. Permainan paku tim, adalah permainan yang butuh kekompakan dan pemandu yang sabar. Dan UKM BS, kembali menjuarai permainan ini. Lomba tarik tambang dari Mapala menjadi hiburan yang tak kalah seru. Tarik menarik antar UKM dan LK di perjuangkan disini. Hayo tarik mang, siapa yang paling kuat menarik jadi juara. Hari itu, saya mendengar banyak teriakan dan tawa, silaturahmi terbangun tanpa disadari. Sangking asiknya, persembahan UKM Filateli hampir terlewat. Filateli yang merencanakan untuk lomba balap karung putra-putri, karna keterbatasan waktu, terpaksa hanya melombakan balap karung untuk putri. Ella (Pramuka) yang juga koordinator umum kegiatan ini berhasil menjadi juara balap itu. Rangkaiyan lomba Forkom di akhiri oleh final futsal antara Teknokra dan BEM U. Teknokra berhasil menjadi juara. Dengan menyarangkan tiga gol dalam adu finalti. Sore itu juga pemberian hadiah di lakukan. Setelah akumulasi nilai, Teknokra yang mendapat tiga emas, terpilih sebagai juara umum, dan berhak menerima tropi bergilir.

Thursday, August 10, 2006

Opini Tanpa Opini

Seya bernah berdiskusi dengan Andreas Harsono, seorang instruktur pelatihan Junalisme yayasan Pantau, tentang bagaimana menulis opini yang baik. Atau lebih tepatnya bagai mana menulis seperti dia. Nah mungkin tulisan "Protes "Indopahit" Lewat Kaos Anarkis" yang mewakili opini Andreas, bisa berguna untuk memahami bagaimana menulis opini tanpa beropini. Protes "Indopahit" Lewat Kaos Anarkis Ketika masih dibandung beberapa tahun lalu, saya sering melihat sebuah kaos warna putih atau hitam dengan tulisan “Timor Merdeka” yang dipakai aktivis di sana. Alamak! Timor Barat juga ingin merdeka macam Timor Timur? Saya beruntung bisa menemui Danny Wetangterah dari Komunitas Akar Rumput, sebuah organisasi seniman plus aktivis, yang membuat kaos itu. Wetangterah seorang anak muda, biasa dipanggil DW, umur 28 tahun, papa asal Pulau Alor dan mama Pulau Sabu. Rambutnya pendek. DW juga pengelola situs web log http://www.timormerdeka.blogspot.com/. Isinya, kebanyakan berupa renungannya. DW menerangkan kaos macam begitu, sebut saja “kaos anarkis,” dibuat untuk menarik perhatian orang. Ia prihatin dengan berbagai kasus di Nusa Tenggara Timur mulai dari busung lapar, korupsi, gempa bumi di Alor hingga pengungsi milisi Timor Leste. Ada puluhan ribu pengungsi tinggal di daerah Bellu dan Kupang. “Kok pemerintah kurang respons. Kita ingin menyalurkan kita punya ketidakpuasan,” kata DW. Lalu muncul ide bikin kaos “Timor Merdeka” pada pertengahan 2004. “Kawan-kawan sangat takut. Maka kita bikin tambahan ‘Merdeka dari Penindas dan Ketidakadilan Penguasa’.” Saya tahu bahwa ide “Timor Merdeka,” walau bukan isu besar, memang bergaung di Kupang, Soe, Atambua dan sekitarnya. Intinya, bagaimana kalau Timor Barat merdeka dari Indonesia, sama dengan tetangga mereka di timur, yang lepas dari pendudukan Jakarta pada 2000? Kesulitannya memang luar biasa namun ide itu ada, ketidakpuasan terhadap Indonesia cukup besar. Roby Lay, rekan DW, cerita bagaimana seorang pemakai kaos ditanyai tentara. “Rupanya dia juga ingin punya,” Lay tertawa. Kaos Timor Merdeka Pakaian senantiasa punya makna politik, dari kebaya Solo hingga peci Acheh, dari sarung Ende Lio hingga batik Melayu, dari safari ala Jenderal Soeharto hingga jas necis ala Susilo Bambang Yudhoyono, semuanya punya makna politik. Marshall MacLuhan mengatakan “the medium is the message.” Medium itu sendiri adalah pesannya. Kaos anarkis juga pernah saya lihat di Jakarta. Suatu siang di daerah Pramuka, ada lelaki pakai kaos dengan font besar “PKI” --tapi jauh lebih kecil di bawahnya tertulis, "Pecinta Kaos Indonesia." He he he. Bukan "Partai Komunis Indonesia" yang selama 40 tahun lebih dijadikan hantu dan kambing hitam dalam politik nasional Jawa. Di London, sebuah kota yang pernah punya dua juta orang berdemonstrasi anti-Perang Irak, saya sering lihat kios menjual T shirt warna putih dengan dua gambar berdampingan. Gambar pertama, President George W. Bush dengan caption "Bad Bush." Gambar kedua, rambut-rambut kelamin muncul dari celana dalam perempuan dengan caption "Good Bush." Kata "bush" dalam bahasa Inggris artinya "semak-semak." Jadi, ada “semak-semak yang baik” dan “semak-semak yang buruk.” Presiden Bush adalah bush yang buruk. Tapi bush yang baik? Silahkan tafsir sendiri. Di Papua lain lagi. Saya kira kalau hari ini ada referendum di Papua, mayoritas orang Papua akan memilih lepas dari Indonesia. Mereka kebanyakan menganggap Free Act Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 dilakukan dengan manipulasi pihak Indonesia. Mereka juga kurang puas dengan paket Otonomi Khusus dan pemecahan Papua jadi dua provinsi. Ini mengingatkan mereka pada politik devide et impera zaman Hindia Belanda. Tujuan Pepera, sesuai mandat dari United Nations, adalah melakukan referendum untuk sekitar sejuta warga Papua: ikut Indonesia atau berdiri sendiri. Namun Indonesia memakai sistem perwakilan dengan 1,025 pemilih saja. United Nations, Amerika Serikat dan masyarakat Barat lain, menutup mata terhadap manipulasi ini. Maka wajar bila muncul kaos anarkis. Pada Mei 2005, di Jayapura ada demonstrasi. Acara diisi dengan pidato-pidato. Saya senang mendengarkan bahasa Papua. Mereka pakai kata "sa" untuk "saya" atau "kitorang" untuk "kita orang." Lalu banyak kalimat Melayu diakhiri dengan akhiran "kah." Di Papua sendiri ada lebih dari 250 bahasa --sekaligus etnik-- sehingga bahasa nasional mereka tak lain ya Melayu Papua. Teriakan-teriakan, "Uuuuu uuuuu uuuu ..." terkadang terdengar dalam demonstrasi itu. Teriakan khas orang Papuakah? Juga sorak-sorai, “Merdeka … Papua merdeka.” Mereka pawai dari Abepura menuju Jayapura. Jarak lumayan. Hampir semua peserta demonstrasi orang rambut keriting alias “penduduk asli.” Seorang perempuan muda Desy, cucu Seth Rumkoren, seorang tokoh nasionalis Papua, membacakan pernyataan di depan anggota-anggota Parlemen Papua. Demonstrasi serupa, menurut beberapa wartawan, diadakan di Jakarta dan Belanda. Semua menuntut koreksi terhadap sejarah resmi bahwa rakyat Papua memilih masuk Indonesia. Ada peserta memakai kaos warna putih dengan kalimat di punggung, "Jangan bunuh anak-anak Tuhan di negri ini karena itu Tuhan punya hak. Jangan sembunyikan sejarah leluhur kami, karena itu kitorang punya." Ini mengingatkan orang-orang yang membacanya bahwa terjadi banyak pembunuhan orang Papua oleh aparat Indonesia. Amnesty International memperkirakan 100 ribu orang Papua mati akibat pendudukan Indonesia sejak 1969. Kaos Jangan Bunuh Papua Menariknya, saya sempat bertanya siapa orang yang membuat kaos "Jangan Bunuh" ini? Tidak ada jawaban pasti namun seseorang menyebut nama seorang dosen Universitas Cenderawasih. Menariknya, nama itu adalah nama Jawa! Saya percaya banyak “pendatang” –sebagai antonim dari “penduduk asli”-- ikut memperjuangkan hak asasi orang Papua. Ini mengingatkan saya pada pendekar-pendekar hak asasi macam Bambang Widjojanto dan George Junus Aditjondro, yang berdarah Jawa, yang pada 1970-an and 1980-an bekerja untuk hak orang Papua di Jayapura. Ada juga peserta memakai kaos Black Brothers. Ini kelompok band Papua yang melarikan diri ke Papua New Guinea pada 1979. Dari sana mereka pindah ke Belanda dan mendapatkan kewarganegaraan Belanda. Pada 1983 dan 1984, mereka ke Vanuatu untuk membantu Organisasi Papua Merdeka. Belakangan mereka ke Canberra. Menurut tabloid mingguan Green Left Weekly dari Sidney, Black Brothers menggunakan musik dan lirik mereka untuk memperjuangkan hak-hak orang Papua melawan penindasan Indonesia. Band ini dikatakan sebagai kelompok musik paling penting di kawasan kepulauan Pasifik. Kaos dan rekaman lagu-lagu Black Brothers tersebar cukup luas di Papua. Saya memotret Joe Maita, satu pemuda Papua dengan kaos Black Brothers. Maita peternak babi di Abepura. Pesan kaos, "Spirit of the Best: Black Brothers." Maka ia pun cerita dengan bangga soal Black Brothers! Di Aceh urusan kaos mungkin tidak begitu menonjol. Di Aceh, orang melawan Jakarta dengan pasang saja gambar bendera Gerakan Acheh Merdeka. Saya pernah lihat anak kecil menggambar bendera Indonesia berdampingan dengan bendera GAM. Saya pernah bergurau dengan beberapa wartawan di Banda Aceh, kalau bikin kaos macam Danny Wetangterah, mungkin pesannya begini: “Aceh Merdeka” tapi ditambahi … “Merdeka dari Tsunami.” Di Pontianak juga ada pula kaos anarkis. Sapariah, seorang pemudi Madura-Pontianak, menciptakan kaos “Indopahit” --singkatan dari “Indonesia keturunan Majapahit.” Istilah ini pada mulanya gurauan saya saat mempelajari ketidakberesan ide-ide soal kebangsaan Indonesia. Lebih dari itu, bukankah buku pelajaran sekolah tentang "sejarah nasional" sering melakukan klaim bahwa dulu ribuan pulau ini (incorrectly) pernah dipersatukan oleh kerajaan Majapahit dari Trowulan? “Indopahit, menurutku, itu pilihan kata yang sangat tepat. Indopahit, negara Indonesia yang penuh kepahitan. Itu fakta bukan? Negara penuh ketidakgenahan,” kata Sapariah. Sapariah punya latar belakang yang klop dengan istilah itu. Banyak orang Madura jadi korban pembunuhan di Kalimantan sejak 1997. Lebih dari 6,500 orang dibantai tanpa negara Indonesia ini melakukan suatu tindakan mencegah serta mengadili para pembunuh. Menurut Jamie Davidson dalam tesis Ph.D. Violence and Politics in West Kalimantan, Indonesia (Washington University, Seattle: 2002), bungkus tragedi itu adalah kerusuhan anti-Madura. Media mainstream di Pontianak, Palangka Raya, Banjarmasin, Balikpapan dan Samarinda diisi dengan komentar-komentar rasialis tentang orang Madura, seakan-akan untuk memberikan legitimasi bahwa orang Madura ... boleh dipotong kepalanya! Orang Dayak dan orang Melayu pun berlomba-lomba menjadikan orang Madura sebagai kambing hitam dalam rangka memperkuat posisi etnik masing-masing. Persaingan terbesar di Kalimantan Barat sebenarnya terjadi antara orang Dayak dengan orang Melayu. Pembunuhan terbesar orang Madura terjadi di Sambas pada 1999 (oleh orang Melayu) dan Sampit pada 2001 (oleh orang Dayak). Negara Indonesia tak banyak menolong. Davidson menjelaskan dengan teliti bagaimana birokrasi Kalimantan Barat, yang didominasi orang Melayu, berpangku tangan ketika orang-orang Madura diburu. Militer kalah jumlah dengan para milisi Melayu dan Dayak. Namun militer pula yang menanamkan akar kekerasan ketika mendorong orang Dayak membunuh lebih dari 3,000 orang Tionghoa pada 1967 dengan alasan mereka terlibat komunisme. Mirip dengan Pancasila, dasar negara Indopahit, menurut Sapariah, ada lima buah: 1. Hidup KKN 2. Kekerasan is senjata ampuh 3. Anti perbedaan 4. Pelihara kesengsaraan rakyat 5. Pupuk terus diskriminasi, rasialisme cs. “Lima dasar negara itu terasa mewakili apa yang terjadi sekarang,” kata Sapariah. Kaos Indopahit di Pontianak posted by Andreas Harsono at 6:36 AM Sebuah karya jurnalistik yang memikat. Pendapat saya, mas Andreas sedang beropini. Tapi dengan gaya bertutur menunakan sudut pandang orang ketiga. Kaos hanya menjadi alat hipotesa, untuk pendapatnya mas Andreas tentang nasionalisme. Wah...saya kok jadi berprasangka. he.. Mungkin mas Andreas juga berkenan menjelaskan tentang "opini tanpa beropini" yang dimaksud oleh Farid Gaban. Bukannya pemulisan opini juga adalah karya jurnalistik. Lalu kenapa kita harus mengunakan mulut orang lain untuk opini kita. Saya pikir tidak baik, jika itu menjadi motivasi dalam meliput. Maaf atas ke-sok-tahu -an saya yang tidak pandai menulis. Semoga Mas Andreas tidak keberatan ??? June 01, 2006 Andreas Harsono said... Dengan hormat, Terima kasih komentarnya soal opini atau bukan opini. Esai ini dimuat oleh beberapa media, antara lain, majalah Gatra di Jakarta dan harian Flores Pos di Ende, dalam rubrik opini. Saya memang beropini. Apakah menggunakan mulut orang lain? Disinilah masalahnya. Di Indopahit ini, kebanyakan penulis opini, hanya menulis tanpa bikin reportase. Istilah rekan Agus Sopian dari Pantau, mereka ini "reporter dari lamunan." Coba Anda baca Thomas Friedman atau Maureeen Dowd. Ratusan bila tidak ribuan kolumnis di Eropa dan Amerika, bila menulis kolom ya bikin reportase, wawancara dan riset. Saya senantiasa bikin reportase bila menulis kolom. Dulu selama hampir delapan tahun, saya mengisi kolom harian The Nation di Bangkok, dan belakangan The Star di Kuala Lumpur. Kolom-kolom itu dikerjakan dengan reportase. Inilah salah satu kolom saya. Terima kasih. June 01, 2006 Post a Comment