Thursday, August 10, 2006

Opini Tanpa Opini

Seya bernah berdiskusi dengan Andreas Harsono, seorang instruktur pelatihan Junalisme yayasan Pantau, tentang bagaimana menulis opini yang baik. Atau lebih tepatnya bagai mana menulis seperti dia. Nah mungkin tulisan "Protes "Indopahit" Lewat Kaos Anarkis" yang mewakili opini Andreas, bisa berguna untuk memahami bagaimana menulis opini tanpa beropini. Protes "Indopahit" Lewat Kaos Anarkis Ketika masih dibandung beberapa tahun lalu, saya sering melihat sebuah kaos warna putih atau hitam dengan tulisan “Timor Merdeka” yang dipakai aktivis di sana. Alamak! Timor Barat juga ingin merdeka macam Timor Timur? Saya beruntung bisa menemui Danny Wetangterah dari Komunitas Akar Rumput, sebuah organisasi seniman plus aktivis, yang membuat kaos itu. Wetangterah seorang anak muda, biasa dipanggil DW, umur 28 tahun, papa asal Pulau Alor dan mama Pulau Sabu. Rambutnya pendek. DW juga pengelola situs web log http://www.timormerdeka.blogspot.com/. Isinya, kebanyakan berupa renungannya. DW menerangkan kaos macam begitu, sebut saja “kaos anarkis,” dibuat untuk menarik perhatian orang. Ia prihatin dengan berbagai kasus di Nusa Tenggara Timur mulai dari busung lapar, korupsi, gempa bumi di Alor hingga pengungsi milisi Timor Leste. Ada puluhan ribu pengungsi tinggal di daerah Bellu dan Kupang. “Kok pemerintah kurang respons. Kita ingin menyalurkan kita punya ketidakpuasan,” kata DW. Lalu muncul ide bikin kaos “Timor Merdeka” pada pertengahan 2004. “Kawan-kawan sangat takut. Maka kita bikin tambahan ‘Merdeka dari Penindas dan Ketidakadilan Penguasa’.” Saya tahu bahwa ide “Timor Merdeka,” walau bukan isu besar, memang bergaung di Kupang, Soe, Atambua dan sekitarnya. Intinya, bagaimana kalau Timor Barat merdeka dari Indonesia, sama dengan tetangga mereka di timur, yang lepas dari pendudukan Jakarta pada 2000? Kesulitannya memang luar biasa namun ide itu ada, ketidakpuasan terhadap Indonesia cukup besar. Roby Lay, rekan DW, cerita bagaimana seorang pemakai kaos ditanyai tentara. “Rupanya dia juga ingin punya,” Lay tertawa. Kaos Timor Merdeka Pakaian senantiasa punya makna politik, dari kebaya Solo hingga peci Acheh, dari sarung Ende Lio hingga batik Melayu, dari safari ala Jenderal Soeharto hingga jas necis ala Susilo Bambang Yudhoyono, semuanya punya makna politik. Marshall MacLuhan mengatakan “the medium is the message.” Medium itu sendiri adalah pesannya. Kaos anarkis juga pernah saya lihat di Jakarta. Suatu siang di daerah Pramuka, ada lelaki pakai kaos dengan font besar “PKI” --tapi jauh lebih kecil di bawahnya tertulis, "Pecinta Kaos Indonesia." He he he. Bukan "Partai Komunis Indonesia" yang selama 40 tahun lebih dijadikan hantu dan kambing hitam dalam politik nasional Jawa. Di London, sebuah kota yang pernah punya dua juta orang berdemonstrasi anti-Perang Irak, saya sering lihat kios menjual T shirt warna putih dengan dua gambar berdampingan. Gambar pertama, President George W. Bush dengan caption "Bad Bush." Gambar kedua, rambut-rambut kelamin muncul dari celana dalam perempuan dengan caption "Good Bush." Kata "bush" dalam bahasa Inggris artinya "semak-semak." Jadi, ada “semak-semak yang baik” dan “semak-semak yang buruk.” Presiden Bush adalah bush yang buruk. Tapi bush yang baik? Silahkan tafsir sendiri. Di Papua lain lagi. Saya kira kalau hari ini ada referendum di Papua, mayoritas orang Papua akan memilih lepas dari Indonesia. Mereka kebanyakan menganggap Free Act Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 dilakukan dengan manipulasi pihak Indonesia. Mereka juga kurang puas dengan paket Otonomi Khusus dan pemecahan Papua jadi dua provinsi. Ini mengingatkan mereka pada politik devide et impera zaman Hindia Belanda. Tujuan Pepera, sesuai mandat dari United Nations, adalah melakukan referendum untuk sekitar sejuta warga Papua: ikut Indonesia atau berdiri sendiri. Namun Indonesia memakai sistem perwakilan dengan 1,025 pemilih saja. United Nations, Amerika Serikat dan masyarakat Barat lain, menutup mata terhadap manipulasi ini. Maka wajar bila muncul kaos anarkis. Pada Mei 2005, di Jayapura ada demonstrasi. Acara diisi dengan pidato-pidato. Saya senang mendengarkan bahasa Papua. Mereka pakai kata "sa" untuk "saya" atau "kitorang" untuk "kita orang." Lalu banyak kalimat Melayu diakhiri dengan akhiran "kah." Di Papua sendiri ada lebih dari 250 bahasa --sekaligus etnik-- sehingga bahasa nasional mereka tak lain ya Melayu Papua. Teriakan-teriakan, "Uuuuu uuuuu uuuu ..." terkadang terdengar dalam demonstrasi itu. Teriakan khas orang Papuakah? Juga sorak-sorai, “Merdeka … Papua merdeka.” Mereka pawai dari Abepura menuju Jayapura. Jarak lumayan. Hampir semua peserta demonstrasi orang rambut keriting alias “penduduk asli.” Seorang perempuan muda Desy, cucu Seth Rumkoren, seorang tokoh nasionalis Papua, membacakan pernyataan di depan anggota-anggota Parlemen Papua. Demonstrasi serupa, menurut beberapa wartawan, diadakan di Jakarta dan Belanda. Semua menuntut koreksi terhadap sejarah resmi bahwa rakyat Papua memilih masuk Indonesia. Ada peserta memakai kaos warna putih dengan kalimat di punggung, "Jangan bunuh anak-anak Tuhan di negri ini karena itu Tuhan punya hak. Jangan sembunyikan sejarah leluhur kami, karena itu kitorang punya." Ini mengingatkan orang-orang yang membacanya bahwa terjadi banyak pembunuhan orang Papua oleh aparat Indonesia. Amnesty International memperkirakan 100 ribu orang Papua mati akibat pendudukan Indonesia sejak 1969. Kaos Jangan Bunuh Papua Menariknya, saya sempat bertanya siapa orang yang membuat kaos "Jangan Bunuh" ini? Tidak ada jawaban pasti namun seseorang menyebut nama seorang dosen Universitas Cenderawasih. Menariknya, nama itu adalah nama Jawa! Saya percaya banyak “pendatang” –sebagai antonim dari “penduduk asli”-- ikut memperjuangkan hak asasi orang Papua. Ini mengingatkan saya pada pendekar-pendekar hak asasi macam Bambang Widjojanto dan George Junus Aditjondro, yang berdarah Jawa, yang pada 1970-an and 1980-an bekerja untuk hak orang Papua di Jayapura. Ada juga peserta memakai kaos Black Brothers. Ini kelompok band Papua yang melarikan diri ke Papua New Guinea pada 1979. Dari sana mereka pindah ke Belanda dan mendapatkan kewarganegaraan Belanda. Pada 1983 dan 1984, mereka ke Vanuatu untuk membantu Organisasi Papua Merdeka. Belakangan mereka ke Canberra. Menurut tabloid mingguan Green Left Weekly dari Sidney, Black Brothers menggunakan musik dan lirik mereka untuk memperjuangkan hak-hak orang Papua melawan penindasan Indonesia. Band ini dikatakan sebagai kelompok musik paling penting di kawasan kepulauan Pasifik. Kaos dan rekaman lagu-lagu Black Brothers tersebar cukup luas di Papua. Saya memotret Joe Maita, satu pemuda Papua dengan kaos Black Brothers. Maita peternak babi di Abepura. Pesan kaos, "Spirit of the Best: Black Brothers." Maka ia pun cerita dengan bangga soal Black Brothers! Di Aceh urusan kaos mungkin tidak begitu menonjol. Di Aceh, orang melawan Jakarta dengan pasang saja gambar bendera Gerakan Acheh Merdeka. Saya pernah lihat anak kecil menggambar bendera Indonesia berdampingan dengan bendera GAM. Saya pernah bergurau dengan beberapa wartawan di Banda Aceh, kalau bikin kaos macam Danny Wetangterah, mungkin pesannya begini: “Aceh Merdeka” tapi ditambahi … “Merdeka dari Tsunami.” Di Pontianak juga ada pula kaos anarkis. Sapariah, seorang pemudi Madura-Pontianak, menciptakan kaos “Indopahit” --singkatan dari “Indonesia keturunan Majapahit.” Istilah ini pada mulanya gurauan saya saat mempelajari ketidakberesan ide-ide soal kebangsaan Indonesia. Lebih dari itu, bukankah buku pelajaran sekolah tentang "sejarah nasional" sering melakukan klaim bahwa dulu ribuan pulau ini (incorrectly) pernah dipersatukan oleh kerajaan Majapahit dari Trowulan? “Indopahit, menurutku, itu pilihan kata yang sangat tepat. Indopahit, negara Indonesia yang penuh kepahitan. Itu fakta bukan? Negara penuh ketidakgenahan,” kata Sapariah. Sapariah punya latar belakang yang klop dengan istilah itu. Banyak orang Madura jadi korban pembunuhan di Kalimantan sejak 1997. Lebih dari 6,500 orang dibantai tanpa negara Indonesia ini melakukan suatu tindakan mencegah serta mengadili para pembunuh. Menurut Jamie Davidson dalam tesis Ph.D. Violence and Politics in West Kalimantan, Indonesia (Washington University, Seattle: 2002), bungkus tragedi itu adalah kerusuhan anti-Madura. Media mainstream di Pontianak, Palangka Raya, Banjarmasin, Balikpapan dan Samarinda diisi dengan komentar-komentar rasialis tentang orang Madura, seakan-akan untuk memberikan legitimasi bahwa orang Madura ... boleh dipotong kepalanya! Orang Dayak dan orang Melayu pun berlomba-lomba menjadikan orang Madura sebagai kambing hitam dalam rangka memperkuat posisi etnik masing-masing. Persaingan terbesar di Kalimantan Barat sebenarnya terjadi antara orang Dayak dengan orang Melayu. Pembunuhan terbesar orang Madura terjadi di Sambas pada 1999 (oleh orang Melayu) dan Sampit pada 2001 (oleh orang Dayak). Negara Indonesia tak banyak menolong. Davidson menjelaskan dengan teliti bagaimana birokrasi Kalimantan Barat, yang didominasi orang Melayu, berpangku tangan ketika orang-orang Madura diburu. Militer kalah jumlah dengan para milisi Melayu dan Dayak. Namun militer pula yang menanamkan akar kekerasan ketika mendorong orang Dayak membunuh lebih dari 3,000 orang Tionghoa pada 1967 dengan alasan mereka terlibat komunisme. Mirip dengan Pancasila, dasar negara Indopahit, menurut Sapariah, ada lima buah: 1. Hidup KKN 2. Kekerasan is senjata ampuh 3. Anti perbedaan 4. Pelihara kesengsaraan rakyat 5. Pupuk terus diskriminasi, rasialisme cs. “Lima dasar negara itu terasa mewakili apa yang terjadi sekarang,” kata Sapariah. Kaos Indopahit di Pontianak posted by Andreas Harsono at 6:36 AM Sebuah karya jurnalistik yang memikat. Pendapat saya, mas Andreas sedang beropini. Tapi dengan gaya bertutur menunakan sudut pandang orang ketiga. Kaos hanya menjadi alat hipotesa, untuk pendapatnya mas Andreas tentang nasionalisme. Wah...saya kok jadi berprasangka. he.. Mungkin mas Andreas juga berkenan menjelaskan tentang "opini tanpa beropini" yang dimaksud oleh Farid Gaban. Bukannya pemulisan opini juga adalah karya jurnalistik. Lalu kenapa kita harus mengunakan mulut orang lain untuk opini kita. Saya pikir tidak baik, jika itu menjadi motivasi dalam meliput. Maaf atas ke-sok-tahu -an saya yang tidak pandai menulis. Semoga Mas Andreas tidak keberatan ??? June 01, 2006 Andreas Harsono said... Dengan hormat, Terima kasih komentarnya soal opini atau bukan opini. Esai ini dimuat oleh beberapa media, antara lain, majalah Gatra di Jakarta dan harian Flores Pos di Ende, dalam rubrik opini. Saya memang beropini. Apakah menggunakan mulut orang lain? Disinilah masalahnya. Di Indopahit ini, kebanyakan penulis opini, hanya menulis tanpa bikin reportase. Istilah rekan Agus Sopian dari Pantau, mereka ini "reporter dari lamunan." Coba Anda baca Thomas Friedman atau Maureeen Dowd. Ratusan bila tidak ribuan kolumnis di Eropa dan Amerika, bila menulis kolom ya bikin reportase, wawancara dan riset. Saya senantiasa bikin reportase bila menulis kolom. Dulu selama hampir delapan tahun, saya mengisi kolom harian The Nation di Bangkok, dan belakangan The Star di Kuala Lumpur. Kolom-kolom itu dikerjakan dengan reportase. Inilah salah satu kolom saya. Terima kasih. June 01, 2006 Post a Comment

1 Comments:

Blogger Unknown said...

selama ini orang selalu bicara tentang dayak makan orang dan membunuhi madura, bagaimana dengan teror dan ketakutan yang telah ditimbulkan oleh karakter kasar orang madura, kami orang dayak berpuluh-puluh tahun sangat takut dengan madura karena persoalan kecil saja mereka bisa membunuh. belum lagi masalah tanah yg direbut secara paksa. mungkin anda pernah dengar istilah mereka kl ditegur " ini kan tanah Tohan" awal kerusuhan kemarin mungkin tidak akan terlalu meluas seandainya mereka bisa menahan diri dengan tidak menghentikan bis-bis dan membunuh orang dayak didalamnya (di paniraman) banyak lagi hal-hal lain yang telah membuat suku lain makan hati dan ketika semua terjadi itu adalah gerakan spontan berbeda dengan kerusuhan ditempat2 lainnya yang memiliki muatan politis, saya sendiri tidak setuju kekerasan tapi bisakah kita memandang secara bijak persoalan ini.kami tidak suka membunuh kl tidak terpaksa, sejak beragama ritual itu sudah ditinggalkan, tapi kedatangan madura dibumi kalbar mereka membawa adat istiadat yang sama sekali tidak menghormati eksistensi orang dayak dan suku2 lainnya, namun saya yakin orang2 madura yang pintar2 tidak lagi mengadopsi karakter nenek koyang mereka itu, saya pernah bertamu kerumah seorang tokoh madura, serang dosen di STAIN, dan saya respek dengan pemikiran beliau, istrinya sangat lemah lembut, saya bahkan dipinjami sebuah buku yang beliau dapat sebagai hadiah dari sebuah penerbit atas kontribusi beliau..namun sayangnya tidak semua orang madura seperti beliau. madura menimbulkan ketakutan begitu lama, sampai sekarang kami masih takut karena itu jangan heran jika di sambas sangat tertutup untuk mereka, kami tidak yakin kalau mereka tidak akan mengulang kembali prilaku mereka. s, orang dayak terlalu lugu saat itu sehingga dimanfaatkan oleh kepentingan2 tertentu. untuk orang tionghoa, kami tidak ada masalah kl dulu ada, itu karena unsur politis pada kenyataannya anda lihat sendiri gubernur dan wakil gubernur kalbar, dimana ada tempat yang memberikan ruang untuk terjadi hal semacam ini dibumi indonesia ini tanpa pergolakan.
anda sebagai orang luar mungkin tidak terlalu memahami, dan hanya memandang dari persfektif anda sendiri.

Wednesday, August 27, 2008  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home