Saturday, August 19, 2006

Akuntabilitas dan Kebenaran Fungsional

Saya pernah di kirimi Imel, oleh kawan Deni Andriana, dari Lembaga Penerbitan Mahasiswa 'Suara Mahasiswa,' Universitas Islam Bandung (UNISBA). Deni menanggapi bantahan saya terhadap tulisan kawan Febrie. Untuk lebih lengkapnya saya posting hasil diskusi kita bertiga tentang masalah elemen pertama dari 9 elemen jurnalisme 'kebenaran.'From:"febrie ha" untuk mas you die, yang pertama saya ingin menyampaikan kebenaran. bahwa saya sekali-kali, sama sekali, dan setiap kali bukan mbak, melainkan (masih) mas, he-he-he. kedua, saya sepakat kalau diskusi kita banyak mengeksplorasi 'ideologi' persma. termasuk juga 'isi' pemberitaan (atau yang lebih luas: tulisan). saya terharu juga, beberapa kali diskusi di milis ini menggunakan argumentasi-argumentasi teoritik. seperti 9 elemen jurnalisme-nya bill kovach, dan seterusnya. bagi saya, inilah cita ilmiah dan akademik kampus. kalo ngomong berbasis teori dan data. (tentu saja ini bukan menara gading. karena kalo kampus asal njemplak (maaf, ini idiom jawa. gak nasionalis ya, he-he-he) apa bedanya kampus dengan masyarakat-nonakademik. kadang-kadang entah karena malas, atau benar-benar tidak ingin dituduh menara gading, kita terlalu banyak 'meninggalkan kampus'. padahal metode 'belajar bersama masyarakat' pun, sebenarnya merupakan proses 'berteori' (baca: mengkonstruksi teori). oke lah, kita akhiri saja soal 'teori-teori' ini. karena 'bahasan' ini juga kan cuma 'dalam kurung'). soal 'ideologi' (saya pakai tanda petik karena masih ada pertanyaan: apakah persma punya 'ideologi), saya memahami sebagai landasan gerak-teoritik bagi persma. mau ngapain persma, dan mau mewujudkan cita seperti apa persma sekaligus bagaimana caranya, inilah 'ideologi' persma. selain 9 elemen jurnalistik, sebenernya kita punya kode etik jurnalistik (kej) yang dianggap sebagai kode etik jurnalistik indonesia. asosiasi wartawan biasanya punya kode etik jurnalistik sendiri, seperti kode etik wartawan indonesia (kewi) punyanya pwi. namun semuanya mengacu pada kode etik jurnalistik (kej). isinya sebenarnya 'standar' (artinya: yang baik-baik gitu deh....). seperti cover both-(all) sides, chek dan rechek, crosschek, tidak melakukan trial by press, tidak melakukan rekayasa, maupun manipulasi data. dan beberapa lain (kalo gak salah juga sembilan) yang saya tidak sempat 'menghapalnya'. nah, ideologi ini kan soal 'konstruksi berpikir'. untuk sampai pada 'konstruksi bertindak'--untuk menghasilkan content (isi)--maka kita mengenal sebagai 'politik redaksi'. atau katakanlah kebijakan redaksi (karena kok 'politik redaksi' identik dengan redaksi yang 'berpolitik'. padahal maksudnya ya 'pendapat redaksi'). kalau dulu soal kebijakan redaksi ini secara 'legal' (maksudnya: etis) dituangkan dalam editorial (pendapat redaksi atas suatu tema), maka sekarang nampaknya banyak tulisan (atau pemberitaan) yang isinya editorial semua. apalagi semenjak ada 'ideologi' baru, semisal jurnalisme sastrawi yang 'membolehkan' by line dari wartawan. sehingga kalau dulu penanggungjawab redaksi adalah pimred (seperti hb jassin--kasus ki panji kusmin, atau bambang harimurti--kasus hercules--yang dituntut ke pengadilan, bukan wartawan yang menulis, sekarang yang 'bertanggungjawab' ya wartawannya sendiri--untuk genre jurnalisme sastrawi). ideologi pers yang berkembang saat ini 'boleh' memasukkan opini dalam tulisan (kalau dulu hanya features--bentuk purba dari 'jurnalisme sastrawi'). ini yang merepotkan. kadang kita teriak pers harus independen, di satu sisi kita 'membentuk karakter masyarakat' (seorang kawan yang saat ini menjadi ketua organisasi mahasiswa ekstrakampus di solo menyebutnya sebagai: jurnalisme propaganda). makanya ini paradoks. katanya kita harus menyuarakan 'kebenaran' (bisa diartikan gak 'menambahi' atau 'mengurangi'), tapi kadang-kadang kita sekaligus harus 'membela' yang tertindas (dengan 'mengompori' baca: 'membentuk karakter masyarakat (pembacanya)). seorang kawan punya tesis titik potongnya: pers menyuarakan kebenaran-etis. netral (tidak berpihak) adalah kejahatan. dan berpihak yang 'dibenarkan' adalah berpihak pada kaum tertindas (teman saya lebih suka menyebutnya mustadafin). mengapa berpihak kepada yang ditindas 'dibolehkan'? pertama, karena mereka tertindas. kedua, karena mereka tidak punya 'sumberdaya' untuk 'berdaya'. (yang 'menindas' tidak perlu dibela. lha wong tanpa dibela saja dia sudah bisa menindas). tapi itu kata teman saya, yang kebetulan saya sepakat. jadi, bagi saya teori penting (tidak sekedar perlu). agar pers 'berideologi'. tentu saja harus diaktulaisasikan. (kita tampaknya 'alergi' dengan 'teori' karena biasanya teoritisi hanya menjadi ilmuan produsen teori. kondisi ini menjadi pembenaran bagi kita (tentu, saya juga) untuk malas membaca 'teori'. jadilah kita trial and error. masih untung kalau 'menemukan teori baru'). soal jurnalistik, jurnalisme, dan pers. saya dapat 'definisi' pers dari seorang anggota dprd solo yang mengisi suatu diskusi mengenai persma di awal perkuliahan dulu sebagai 'sistem syiar', 'sistem pemberitaan'. makanya ada 'pers islami', 'pers pergerakan', 'pers mahasiswa'. disebut sistem karenaia punya 'ideologi', juga punya medianya. kemudian jurnalistik, dan jurnalisme. sewaktu kuliah dulu, saya sering membedakan antara 'paham' atau 'isme' dan 'ideologi'. disebut paham kalau ia masih berbentuk teori. bentuknya seringkali pemikiran seseorang, atau banyak orang yang saling melengkapi dalam satu tema tertentu. sedang ideologi, adalah praksis (bahasanya habermas kalau gak salah). sebagai 'landasan gerak', atau sederhanya 'paham' yang dijadikan 'landasan gerak'. seperti pemikiran marx yang disebutnya sosialisme. ketika dia menulisnya dan kemudian menjadi 'landasan gerak' partai buruh ia baru menjadi ideologi. dia menyebutnya komunisme (dalam tulisan manifesto communist). oleh lenin, pemikiran marx dijadikan 'landasan gerak' revolusi bolisyevik rusia menjadi komunisme-leninisme--yang menjadi komunisme 'definitif' yang kita kenal. begitu juga saat pemikiran marx dijadikan beragam 'landasan gerak' berbagai gerakan menjadi ideologi, bisa bermacam-macam istilah. ada yang menyebutnya sosialisme, bahkan kalau boleh marhaenisme juga dipengaruhi pemikiran marx. jurnalistik sebagai 'paham', 'ilmu', 'isme'. dan jurnalisme sebagai 'ideologi'. kira2 begitu. salam, febrie Mohon maaf saya menyapa mas Febrie dengan memangil mbak. Kesalahan macam ini tampaknya sering terjadi berulang, dimana persepsi menjadi fakta. Sialnya dilakukan oleh seorang wartawan yang malas bertanya. Sekali lagi maaf. 9 Elemen Jurnalisme menurutku bukan teori, melainkan prosedur. Semua orang yang berkerja dalam dunia jurnalistik wajib tahu dan mengerti. Sehingga kesalahan memangil ‘mbak’ untuk seorang lelaki tidak terulang. Sama halnya dengan KEWI yang pada tgl 14 maret lalu digantikan KEJ. Dari segi jumlah pasal, KEJ lebih banyak dibandingkan KEWI, yakni 11 berbanding 7. Dalam hal substansi, KEJ juga kelihatan lebih lengkap karena mengatur sejumlah hal yang kurang tegas diatur oleh KEWI, atau bahkan tak tercantum sama sekali di KEWI. Satu hal yang kini tercantum di KEJ dan sama sekali tak ada di KEWI adalah pengaturan mengenai hal-hal yang sensitif, terutama yang berkaitan dengan masalah suku-agama-ras-golongan. Entah mengapa para penyusun KEWI luput memasukkan ini, padahal ketentuan ini sudah termuat di kode etik organisasi wartawan seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), juga Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). KEJ kini mengakomodasinya, di Pasal 8 yang berbunyi: “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa...” Pasal ini menjadi sangat penting dan relevan, di saat-saat ingatan kita masih hangat terhadap kerusuhan yang dipicu oleh penerbitan kartun Nabi Muhammad oleh koran Denmark, Jyllands-Posten, beberapa waktu lalu. Jurnalisme Sastrawi setahu saya bukan idiologi. JS adalah sebuah gaya dalam penulisan jurnalistik yang pada era tahun 60 berkembang di Amerika dengan nama literary journalism. JS pure karya jurnalistik, yang menyajiankan realitas-peristiwa-berita yang bukan lagi sekedar siap saji ala 5W1H. Bukan pula metode pelaporan news story yang telah terkumpul, tidak lagi relevan, bahkan menyesatkan dan meremehkan fakta-fakta yang terjadi di masyarakat. Tidak juga laporan yang dihalangi oleh sekat waktu deadline dan kolom headline, dari teknik penulisan matter of fact news atau straight news yang dianggap sakral. Sebab, akan banyak kemungkinan bias, cacat bahkan bodoh dalam memetakan view of the world. Juga saya kira mas Febri keliru tentang by line yang menurutku adalah sebuah akuntabilitas. Sejauh mana byline yang berasal dari dua kata by (oleh) dan line (garis ) bisa menjelaskan ukuran akuntabilitas sebuah laporan (berita)? Bukankah tanpa byline pun laporan itu juga dibuat dengan sebenar-benarnya? Celakanya! di Indonesia, kebanyakan surat kabar tak memakai byline. Akuntabilitas wartawan disembunyikan di balik tanggung jawab institusi. Selain itu redaktur di Indonesia cenderung memberikan byline bila sebuah laporan dianggap punya kualitas lebih. Pemakaian itu diberikan sebagai penghargaan bukan akuntabilitas. Kalau laporan itu biasa-biasa saja, redaktur merasa cukup memberikan inisial di ekor karangan - yang sebenarnya, menurut sejarah, lebih untuk fungsi administrasi belaka . Ini yang menurutku bermasalah. Namun berbeda bila seorang wartawan diberi byline. Wartawan akan lebih bertanggung jawab terhadap isi laporannya. Publik akan tahu siapa wartawan yang bekerja secara relatif konsisten menghasilkan berita-berita yang baik dan benar. Sebaliknya, publik akan tahu wartawan mana yang pernah membuat kesalahan dalam laporan beritanya. Bayangkan bagaimana byline bisa mendongkrak mutu jurnalisme? Mungkin maksud mas Febrie adalah untuk persoalan risiko, para redaktur akan mengkhawatirkan wartawannya jadi sasaran kejahatan kalau namanya terpampang. Kekuatiran ini amat beralasan. Di Indonesia, pemberitaan tentang konflik Aceh dan kerusuhan Ambon memiliki risiko yang tidak kecil. Tak sedikit wartawan yang memberitakan konflik itu acapkali mendapat teror sampai risiko pembunuhan. Tak sedikit pula berita yang dibuat wartawan dengan risiko besar. Misalnya, berita tentang kejahatan. Pada kasus macam ini, tentu saja, tanggung jawab bisa langsung diletakkan pada institusi media. Byline ditiadakan. Namun argumentasi itu terpatahkan dengan pendapat bahwa kebanyakan berita tak punya risiko macam itu dan sebesar itu. Yang salah kaprah kalau semua berita dipukul rata dan dianggap berisiko. Perlakuan khusus jadi umum. Akibatnya bila semua berita yang diturunkan tanpa byline, maka semua wartawan akan berada di balik perlindungan institusi. Ujung-ujungnya berita yang diturunkan acap tak memiliki standard yang baik dan benar. Di alam demokrasi yang pesat seperti di Indonesia ini, pemakaian byline adalah sebuah keniscayaan. Publik membutuhkan jurnalisme yang bermutu sebagai sebuah kebutuhan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Salah satunya, didapatkan dari media yang menerapkan byline. Saya pernah ikut dalam sesi pelatihan 9 Elemen Jurnalisme yang Instrukturnya Andreas Harsono, dari yayasan Pantau. Masalah Akuntabilitas dibahas dalam sesi itu. Untuk rnenjawab pertanyaan itu Andreas Harsono punya cerita . Tanggal 15 Desember tahun lalu Bill Kovach, salah satu penulis buku "Sembilan Elemen Jurnalisme" dan seorang wartawan terhormat di Amerika, datang ke kantor harian Kompas. (kompas belum memakai Byline waktu itu) Setelah bertemu Jakob Oetama dan Suryopratomo, Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi, Kovach menemui 15 wartawan untuk berdiskusi di sebuah ruang rapat. Kovach bertanya kepada para wartawan, "Mengapa surat kabar Anda tak memakai byline? Mengapa di halaman satu tak terlihat byline?" Salah satu wartawan yang hadir, mengatakan kalau menggunakan byline bakal kelihatan tulisan wartawannya masih belum bagus. Tak semua wartawan bisa mendapatkan byline. Malu kalau pakai byline. Dengan tenang, Kovach balik mengatakan bukankah itu esensi pemakaian byline? Artinya, biarkan pembaca tahu nama wartawan yang bisa menulis dengan baik dan mana yang tidak baik. Bukankah itu bagian dari pertanggungjawaban? Cerita itu menjadikan saya sadar nilai lebih pemakaian byline. Bila tetap tak ditradisikan bisa menjadi. Sebuah kekurangan yang mengkhawatirkan. Kekurangannya, jelas pada pertanggungjawaban. Kita sadar lndonesia sedang berada pada proses perubahan. Media jadi lebih bebas menurunkan laporan, tentang siapa pun atau apa pun juga. Sementara itu publik butuh informasi yang lebih bisa dipertanggungjawabkan, kata Andreas yang pernah bekerja untuk harian The Nation (Bangkok) dan The Star (Kuala Lumpur) yang di sana byline biasa dipakai. Kenapa tak memakai byline juga bisa mengkhawatirkan? Bagaimanapun wartawan bertanggung jawab atas laporan yang dibuatnya. Wartawan juga bertanggung jawab memverifikasi laporan itu terlebih dahulu. Sebab esensi jurnalisme adalah verifikasi. Namun bila responsibilitas wartawan disembunyikan di balik tanggung jawab institusi, lambat dan pasti akan menuai banyak masalah. Gugatan peradilan akan terjadi seiring dengan memudarnya kepercayaan publik pada institusi media tersebut. Di lndonesia ini yang terjadi pada masa reformasi sekarang. Meski umur kata itu relatif muda, menurut Andreas yang merujuk perkataan Bill Kovach, byline dipakai kali pertama pada 1850 -an oleh Charles S. Taylor, seorang jenderal yang kemudian menjadi penerbit harian The Boston Globe, sesudah perang saudara Amerika. Taylor waktu itu jengkel karena selama perang ada saja wartawan yang menulis dengan judul, "Berita Penting Jika Terbukti Benar". Artinya, si wartawan tak mau bertanggung jawab mencari kebenaran beritanya sendiri. Repotnya, ketika itu, media Amerika tak memakai byline. Mereka hanya menaruh inisial si wartawan di ekor laporan. Banyak juga yang tanpa inisial. Taylor memutuskan menaruh nama para wartawannya pada berita-berita The Boston Globe. Pemakaian byline ini ternyata membuat wartawan-wartawan The Boston Globe lebih berhati-hati dengan laporan-laporan mereka. Inovasi Taylor pun perlahan-lahan ditiru oleh surat kabar lain di Amerika Serikat. Jika kita membaca The New York Times, The Washington Post, Wall Street Journal, atau surat kabar apa pun di Amerika Serikat, byline sudah menjadi keharusan. Di Inggris pun sama. Surat kabar semacam Financial Times, Granta dan lain sebagainya, semua laporan berita diberi nama wartawannya. So mas Febrie, tak usahlah kita repot mencari idiologi utuk persma, karna jika kita telah baik dan cakap melaksanakan aktivitas jurnalisme, maka itu sudah sangat-sangat berguna bagi kaum tertindas yang dikaksud. *Setengah tulisan ini saya unduh dari web log Andreas Harsono. Untuk You die.. Bukankah dalam 9 elemen Jurnalisme Bill Kovach dan Tom R. Juga salah satunya disebutkan bahwa ada poin "kebenaran" - Lantas kebenaran semacam apa? apakah "Pembentukan karakter masyarakat" juga bukan turunan dari prinsip kebenaran. Kebenaran yang kayak gimana? Bukankah kebenaran itu tidak mutlak.. Nah, Pers atau dalam hal ini Persma tentu saja mempunyai landasan "Kebenarannya" (bisa jadi kebenaran versi masing-masing berbeda) - Mengangkat fakta yang benar-benar fakta, yang kata Septiawan Santana (Penulis Buku Jurnalisme Investigasi dan Jurnalisme Kontemporer) merupakan fakta yang tidak fuck u" jadi masyarakat secara tidak langsung diajari tentang konstruksi berita yang faktual dan benar adanya dilapangan, tanpa manipulasi atau pun kepentingan lain yang menunggangi yang mengakibatkan terjadinya rekayasa data dan fakta.. Nah, bukankah itu merupakan salah satu pembentukan karakter atau secara bertahapnya dimulai dari pengenalan karakter lewat kinerja sebuah media. Yang akhirnya mengakibatkan munculnya kepercayaan masyarakat terhadap media (bukankah saat ini banyak masyarakat yang sudah tidak percama sama media?) lantas lahirlah karakter masyarakat gemar baca, percaya media dan tentu saja masyarakat yang mampu menganalisis isi pemberitaan dan informasi yang disuguhkan di media Nah, saya lebih jauh memandang kesana.. kalo saudara You die bicara soal 9 elemen.. Salam, Deni Andriana www.deniborin.multiply.com www.suaramahasiswa.multiply.com Untuk kawan Deni Andriana Sebelumnya terima kasih. Perihal ‘kebenaran’ dalam 9 elemen jurnalisme ini saya dikasih mengerti oleh Andreas Harsono. Tak ada salahnya saya mengutip apa kata mereka bukan! Dalam buku The Elements of Journalism, yang di Indonesia oleh Andreas Harsono menjadi 9 elemen jurnalisme atau oleh Stanly menjadi elemen-elemen jurnalisme. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun. Sembilan elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah ‘kebenaran,’ yang ironisnya, paling membingungkan. (Seperti kata anda!) Kebenaran yang mana? Bukankah kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi. Kebenaran menurut siapa? Bagaimana dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang berbeda-beda? Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional. Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi. Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya. Selain itu kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya. Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap. *tulisan lengkap oleh ANDREAS HARSONO dalam Resensi buku The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (April 2001) Saya kira ini juga menjawab keinginan Mas Febrie untuk membuat Idiologi persma. Saya juga tidak keberatan untuk bahas buku dosen UNISBA Septiawan Santana, yang menurut saya di kejar terbit: Jurnalisme Sastrawi (2002) dan Jurnalisme Investigasi (2003) dan Jurnalisme Kontemporer (2005). Salam Hangat dari Lampung Yudi Nopriansyah

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home