Friday, March 03, 2006

Soal NKK/BKK

Soal NKK/BKK Yudi Nopriansyah

Paska peristiwa malapetaka lima belas Januari (Malari) tahun 1974, Dewan Mahasiswa (DEMA) memotori kampus bergejolak, puncaknya tahun 1978, mahasiswa berdemonstrasi besar-besaran mengkeritisi kebijakan Orde Baru. Pada medio itu, di Unila ketua DEMA di pimpin oleh Muhajir Utomo (1977) dan M Thoha B Sampurna Jaya, sebagai koordinator bidang Umum kemahasiswaan. Menyadari akan bangkitnya ‘ruh’ gerakan mahasiswa, pemerintah Orba melakukan intervensi dalam kehidupan kampus, dengan dalih stabilitas politik dan pembangunan. Intervensi dilakukan lewat jalur birokrasi maupun pembenahan politik yang melibatkan unsur-unsur kehidupan kampus. Hingga keluarlah SK menteri pendidikan dan kebudayaan (P dan K), Daoed Josoef, No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Disusul dengan SK No. 0230/U/J/1980 tentang pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Aksi mahsiswa saat itu, dianggap rezim penguasa mengancam bagi stabilitas pembangunan dan kekuasaan negara.

Implikasi konsep NKK/BKK adalah pembubaran DEMA, yang merupakan simbol demokrasi kampus. Di Unila sendiri sejak berlakunya NKK/BKK hampir semua organisasi kemahasiswaan ‘mati.’ Segala kegiatan kemahasiswaan tidak lagi dibawah asuhan DEMA tapi langsung di bawah kontrol BKK. Alhasil semua kegiatan pun langsung dibawah kontrol pejabat teras Universitas, Rektor dan para dosen. Ditambah lagi salah satu peraturan dalam NKK/BKK, jabatan Pemimpin Umum Pers Mahasiswa harus dipegang oleh dosen yang ditunjuk langsung oleh rektorat. Maka sejak itulah, koran yang sekarang anda pegang matisuri selama dua tahun.

Setelah DEMA dibubarkan, yang tersisa hanyalah unit kegiatan mahasiswa dan senat fakultas, serta himpunan mahasiswa jurusan. Kampus dinyatakan harus steril dari politik dan hanya sebagi tempat belajar mengajar, mengembangkan nalar. Konsep NKK/BKK, diarahkan pada pengembangan diri mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat ilmiah. Dus, aktivitas mahasiswa berupa demonstrasi dikatakan sebagai kegiatan politik praktis yang tidak sesuai dengan iklim masyarakat ilmiah. Kegiatan kemahasiswaan terbatas pada wilayah minat dan bakat, kerohanian, dan penalaran. Selain itu, dalam Tri Darma Perguruan Tinggi dinyatakan bahwa fungsi perguruan tinggi adalah menjalankan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Depolitisasi yang diterapkan saat itu sungguh efektif, mahasiswa menjadi study oriented sehingga selama puluhan tahun kegiatan mahasiswa jauh dari aktivitas mengkritisi kebijakan penguasa dan demonstrasi.

Rupanya penguasa otoriter salah jika menyangka gerakan mahasiswa telah mati. Tahun 1998 menjadi bukti sejarah bangkitnya kekuatan besar idialisme kampus. Gerakan mahasiswa berhasil menjatuhkan rezim otoriter orba, yang selama 32 tahun mengerogoti bangsa dengan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Reformasi berkumandang di moncong megaphon di kerumunan puluhan ribu mahasiswa yang berdemo. Keringat, airmata hingga darah pahlawan Reformasi tumpah dalam kepulan asap gas air mata dan peluru serdadu. Bahkan Syaidatul Fitria fotografer koran ini meninggal dunia menyusul Muhamad Rijal mahasiswa fisip ketika merekam aksi burutal aparat pemerintah. Menggingat besarnya pengorbanan mereka dalam memperjuangkan kebenaran yang dibayar dengan kematian. Maka sangat hina jika ada dari kita mahsiswa, melupakan jasa mereka. Reformasi memang belum secara menyeluruh menuntaskan masalah bangsa ini. Tapi poin penting dalam kontek tulisan ini adalah, alfanya mahasiswa selama puluhan tahun dalam mengkritisi kebijakan pemerintah, menjadikan mangsa ini sangat terpuruk. Sehingga reformasi terkesan belum cukup memperbaikinya.

Sejarah singkat diatas saya sampaikan pada malam ulang tahun Teknokra, yang kebetulan berdiri pada 1 Maret 1977. Media ini lahir dari idialisme orang-orang yang berada dalam kepengurusan DEMA saat itu. Idialisme telah melahirkan kami, maka biarkan kami hidup untuk memperjuangkannya. “Jangan lupakan jas merah,” ucap Bung Karno. Oleh karnanya media ini pernah mati saat NKK/BKK di berlakukan. Sama halnya harapan saya dalam konteks iklim pergerakan mahasiswa di kampus tercinta ini. Lembaga mahasiswa yang menjadi pos pergerakan dengan perangkat politiknya harus bisa berefleksi dan jangan terjebak dalam fragmatisme. Sehingga setiap kebijakan harus mempunyai landasan berpikir yang kuat. Perangkat politik dalam membangun demokrasi dan partisipasi kampus haruslah steril dari kelompok kepentingan di luar kampus. Ingat lagu Slenk, “Jangan sampai kita ditunggangi.” Salam, tetap berpikir MERDEKA.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home