Resensi Buku
Saya Terbakar Amarah Sendirian:
Pramoedya Ananta Toer Dalam Perbincangan dengan Andre Vltchek & Rossie Indira
Penyusun : Andre Vltchek & Rossie Indira
Editor : Candra Gautama & Linda Christanty
Penerbit:Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Cetakan :I Januari 2006
Tebal : xxix + 131 halaman
Pramisme versus Javanisme
Wawancara mendalam dengan 150 pertanyaan, mengungkap ide atas nasionalisme Pramoedya Ananta Toer. Pram mengugat sejarah yang direkayasa Orde Baru. Suharto dan Kloninya menjadi penjajah baru setelah Belanda dan Japang dengan menyebarkan idiologi “Jawanisme.” Pram menyebutnya sebagai faham yang berkembang sejak ratusan tahun hingga sekarang. "Jawanisme adalah taat dan setia membabi buta pada atasan, yang pada akhirnya menjurus kepada fasisme." Pram menyebutnya Fasisme Jawa.
Pram juga berpendapat turunnya Sukarno adalah karna kudeta militer Suharto yang dibantu Amerika. Di jelaskan setelah kudeta tahun 1965, Suharto membuka pintu lebar-lebar untuk modal asing, dan dari situlah penjarahan besar-besaran terjadi pada bangsa ini. Amerika menancapkan PT freeport. Walau mulanya mereka berinvestasi untuk eksplorasi tambang tembaga, namun ternyata Doktor dari bandung yang berkerja disana menemukan fakta bahwa yang mereka tambang adalah emas. Naas bagi sang doktor selain dipecat, rumahnya di obrak-abrik dan dokumennya di curi. Sehingga dia harus mengungsi keluar negeri. Obsesi Suharto pada akhirnya hanya mencari kekayaan yang berlimpah ruah. Bahkan salah satu anaknya menjadi tuan tanah terbesar di Sumatra. Ini tentu saja bertolak belakang dengan apa yang sudah dibangun Sukarno yang anti-kolonialisme, anti-kapitalisme dan anti-imperialisme. Dunia barat hanya menjadikan dunia ini ladang dolar saja. Hal ini seharusnya sudah dapat membentenggi bangsa ini dengan amanat Sukarno: Nation and Character Building Karna Sukarno tau bangsa ini belum punya karakter dan identitas, karnanya jika tidak dibangun, maka negara ini tidak akan tumbuh. Fasisme Jawa ini subur. Orang Indonesia hanya berdiam diri saat dijajah dan dijarah sumber daya alamnya. Bahkan disaat orang aceh berperang melawan Belanda, Jawa ikut andil dalam membantai para pejuang Aceh dan lainnya yang melawan Belanda. Kolonialisme buatan Belanda, memang berdampak mempersatukan kepulauan dan mempunyai andil dalam terbentuknya Indonesia. Kedatangan jepang yang tahu betul tentang Jawanisme ini, kebali mencengkramkan kuku-kukunya dengan menggaku saudara tua. Bangsawan-bangsawan Jawa dan kepala desa membantu Jepang dalam merekrut 700 ribu petani dalam program romusha. Mereka jadi tenaga kerja paksa dan sekitar 300 ribu orang mati. Hal inilah yang mendasari Pram untuk menulis dan menelaah lebih dalam tentang wawasan kebangsaan dengan melihat ide Sukarno tentang Nation and Character Building. Hal inilah yang tidak dimiliki para penulis sekarang. Para penulis harusnya punya rasa tanggungjawab moral yang tinggi untuk bangsanya. Kata Pram.
Dalam jawaban Pram tentang masa orde baru, dia selalu terkenang dengan kudeta militer di tanah Jawa pada 1965. Jakarta berubah menjadi sunyi. Jenderal Soeharto yang naik menjadi Presiden Indonesia dibayar nyawa dua juta penduduk Jawa, versi Laksamana Sudomo, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ketika itu. Lebih parah lagi hitungan komandan Para Komando Angkatan Darat Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, yang memimpin operasi, jumlahnya tiga juta jiwa. Pram sendiri ‘diamankan’ dua minggu setelah peristiwa pembunuhan enam jenderal. Dan langsung di giring ke kamp konsentrasi di pulau buru tanpa proses pengadilan dan delapan naskahnya dibakar.
Pram termasuk 500 orang tahanan pertama di pulau buru. Dari keseluruhan tahanan yang berjumlah 14.000. Disana dia menjalani kerja paksa selama sepuluh tahun. Di sanalah lahir empat novel sekuel dengan judul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, yang dikenal dengan Tetralogi Pulau Buru.
Pram tepaksa harus mengetik naskahnya dalam beberapa salinan. Karna khawatir naskahnya akan bernasip sama dengan ke delapan naskahnya yang dibakar. Salinan disebarkan di antara para tahanan, yang lain dilayangkan ke gereja. Rupanya salinan naskah inilah yang kemudian diselundupkan ke luar Pulau Buru dan dikirim ke Eropa, Amerika dan Australia. Pram terbakar amarahnya bila mengingat peristiwa pembakaran perpustakaan pribadi dan delapan naskahnya oleh segerombolan tentara Indonesia. "Pembakaran buku sama dengan perbuatan setan!" ungkapnya, geram.
Berbicara tentang Indonesia, membuatnya kebakaran sendirian. Dia menyesali tidak lahirnya pemimpin di Indonesia sejak Soekarno. Saat ini tak ada calon presiden yang bisa dipilih karena tak ada seorang pun memiliki wawasan keindonesiaan dan prestasi individu. Begitupun masyarakatnya. Konsumtif dan cenderung acuh terhadap keadaan bangsanya. "Yang mereka lakukan dari hari ke hari hanyalah beternak konsumsi dan mengemis tanpa melakukan produksi!".
Tidak hanya itu, Pram juga prihatin soal bahasa Indonesia. Di mata Pram, belakangan bahasa ini sudah menjadi brengsek. Bahkan penggunaan bahasa oleh media di negeri ini sudah kacrut. Setali tiga uang atas dunia sastra. Pram menilai tak ada seorang penulis atau seniman Indonesia yang bisa jadi simbol oposisi.
Pertanyaan-pertanyaan Vltchek dan Indira mengorek banyak sekali perasaan atau isi pikiran Pram. Termasuk solusi yang mesti ditempuh anak negeri ini supaya tak ikut menjadi busuk. Jalan keluar satu-satunya dari gelombang pembusukan ini, kata Pram, cuma revolusi! Gerakan besar yang kembali membawa Indonesia pada titik nol.
***
Sebelum diterbitkan di Jakarta, buku ini muncul terlebih dahulu dalam versi Inggris dengan judul Exile: Conversations With Pramoedya Ananta Toer. Dan sebelum disunting dalam bahasa Indonesia oleh Candra Gautama dan Linda Christanty penerima Khatulistiwa Literary Award, oleh Linda telah di sunting dalam bahasa melayu.
Pram mengatakan dia tak dapat lagi mengungkapkan amarah maupun gagasan revolusioner dalam karya tulis. “Saya benar-benar tidak bisa menulis lagi” Kata Pram. Karnanya dia setuju menuangkan ‘amarah yang membakar dirinya’ dalam wawancara selama empat bulan dengan pasangan suami-isteri Andre Vltchek, jurnalis dan pembuat film asal Amerika, serta Rossie Indira, mantan seorang aktivis Partai Komunis Indonesia, yang bekerja sebagai arsitek dan kolumnis. Mereka merekam jawaban atas 150 pertanyaan yang diajukan Vltchek-Indira dari Desember 2003 hingga Maret 2004.[]
*Yudi HS
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home