Tuesday, September 28, 2004

Belajar Wawancara

Kalau Anda bertanya dengan Andreas Harsono, salah satu instruktur pelatihan dari Pantau tentang wawancara, beliau pasti mengenalkan anda dengan David Candow, seorang pelatih wartawan dari Canadian Broadcasting Corporation, Anda akan tahu bahwa seorang wartawan dalam wawancara adalah bekerja mewakili rasa ingin tahu audiens. Untuk itu wartawan yang baik, harus sopan. Ia harus siap dengan pemahaman bahan. Ia harus menggali informasi sebanyak mungkin. Ia tak bernada menghakimi. Ia tak menunjukkan kesan sudah tahu. Bukan sok pamer. Bukan sok pintar. Ini penting karena wawancara adalah bagian penting dari reportase. Dan reportase adalah bagian penting dari jurnalisme. “Wawancara yang baik akan menghasilkan banyak informasi. Wawancara yang buruk akan menghasilkan banyak bantahan,” Ucap Andreas Harsono dalam sebuah obrolan dengan Kru Teknokra di Auditorium Perpustakaan Universitas Lampung.

Sumber yang menerima pertanyaan-pertanyaan yang buruk akan memakai waktu wawancara untuk memahami pikiran si wartawan, dan tak jarang, membantah asumsi-asumsi si wartawan. Atau lebih jelek lagi, meninggalkan si wartawan, tak menanggapi isi wawancara. Anda boleh bertanya pada Candow, "Berapa jumlah kata ideal untuk sebuah pertanyaan?" Candow biasanya menjawab, "Satu kata saja. Dan kata itu adalah mengapa?" Namun, tentu saja, tak setiap pertanyaan bisa disarikan jadi satu kata. Prinsipnya, makin panjang suatu kalimat tanya, makin menurun kemampuan si sumber mencerna pertanyaan itu. Sebaliknya, makin pendek pertanyaan, makin mudah si sumber memahami si wartawan. Candow memberikan pedoman 16 kata. Lebih banyak dari 16 kata, lebih menurun juga daya tangkap si sumber. Dan kalimat harus dibuat dengan pertanyaan terbuka dengan kata tanya "5W 1H" yang artinya what, when, who, where, when, how. Pertanyaan tertutup menghasilkan jawaban yang kurang memuaskan. Maksudnya, pertanyaan tertutup teoritis bisa dijawab dengan jawaban "ya" atau "tidak." Kami sering menyaksikan wartawan-wartawan Jakarta, baik televisi, radio, maupun cetak, belum menyadari teori dasar wawancara ini.

Mungkin menarik untuk kita melihat hasil penelitian Mas Andreas ketika beliau menyimak bagaimana kesalahan-kesalahan itu dibuat ketika pertunjukan seleksi wartawan SCTV dalam acara Menuju Layar Liputan 6. Acara ini diadakan sejak 1997 di kampus-kampus. Namun tahun ini diselenggarakan lewat siaran langsung. Finalnya 3 Oktober lalu. Acaranya diadakan layaknya, pemilihan penyanyi "Indonesian Idol" atau "Akademi Fantasi Indosiar." Ada acara cat walk. Peserta berputar-putar di panggung. Pakaian kelas disainer. Nyanyian. Hiburan. Lawakan. Pertanyaan disajikan oleh MC Tantowi Yahya. Lalu ada juri-juri: Okky Asokawati (model), Pia Alisjahbana (pengusaha Femina Group), Tengku Malinda (TVRI), Karni Ilyas (SCTV) dan Darwis Triadi (fotografer). Pokoknya, kesannya wangi, jauh dari kesan kerja keras mengejar berita yang jadi citra wartawan. Seorang peserta dari Padang, Dora Multa Sari, tampil cantik dengan busana hijau pupus. Tantowi Yahya pun bertanya apa pendapat Dora soal korupsi di kalangan anggota parlemen. Dora menjawab bla bla bla. TANTOWI: All right, wow, tepuk tangan tanda setuju membahana di studio malam ini. Eeeh ... Dora ini seorang yang penuh prestasi. Di samping sebagai presenter, Dora ini pernah berprestasi di bidang apa? DORA: Saya pernah masuk 10 besar Puteri Indonesia. Maka tepuk tangan pun membahana di studio. Dora tersenyum manis dan melenggak-lenggok meninggalkan panggung. Cantiknya, jangan ditanya. Singkat kata, dari 13 finalis, juri memilih lima orang "grand finalist." Masing-masing diminta mewawancarai seorang nara sumber selama 2,5 menit, dipilih berdasarkan undian, dan nara sumber sengaja dipilih dari orang-orang yang biasa diwawancarai SCTV: Eep Saefulloh Fatah (komentator isu politik), Alan Budi Kusuma (pemain bulu tangkis), Ulfa Dwiyanti (pelawak dan penghibur), Baby Jim Aditya (aktivis HIV/AIDS), dan Brigadir Jenderal Pranowo Dahlan (komandan kesatuan polisi anti teror). NAMA JUMLAH KATA TANYA SUMBER RATA-RATA BUKA TUTUP Grace N. Louisa 31.2 1 6 Pranowo Dahlan M. Achir 25.8 3 3 Baby Aditya Linda P. Mada 18.2 1 6 Alan Kusuma Dora M. Sari 15.5 4 4 Ulfa Dwiyanti Wahyu R. 19.6 3 5 Eep S. Fatah Dari lima orang ini, semuanya bertanya dengan panjang-panjang dan tertutup. Hanya Dora yang bertanya dengan singkat karena ia harus balik menjawab pertanyaan Ulfa Dwiyanti. Dora rata-rata hanya melontarkan 15.5 kata per kalimat tanya. Namun dari delapan pertanyaan itu, lima merupakan pertanyaan tertutup. Kira-kira begini tanya jawab antara Dora dan Ulfa: DORA: Mbak Ulfa, saat banyak sekali talent show-talent show yang melahirkan bintang-bintang baru dalam waktu singkat, seperti mereka di karantina dalam waktu dua bulan, tiga bulan, kira-kira mereka menjadi bintang yang memiliki banyak sekali pengemar. Bagaimana Anda melihat talent show-talent show seperti ini? ULFA: Maksudnya talent instant gitu roger? DORA: Talent show Mbak. ULFA: Kalau menurut saya itu masalah faktor. Faktor keberuntungan, beruntung bisa masuk dalam waktu singkat. Seperti kamu misalnya. Gitu lho. DORA: Tapi Mbak Ulfa, apakah menurut Mbak Ulfa mereka itu sudah cukup siap atau bagaimana? ULFA: Itu yang saya khawatirin. Apakah kalau kamu menang apakah cukup siap di lapangan? DORA: Ya. Baik, Mbak Ulfa itu merintis karir dari awal? ULFA: Sepuluh tahun lebih. DORA: Sepuluh tahun lebih? ULFA: Mbak berapa minggu? DORA: Terima kasih Mbak Ulfa, jika nanti saya jadi bintang nantinya. Mbak Ulfa meniti karir lama sekali. Apakah Mbak Ulfa merasa ada ketidakadilan antara yang lama meniti karir dengan saat ini? ULFA: Bukan ketidakadilan. Nasib beruntung. Itu dia. Dora tampaknya memang beruntung. Malam itu juri memenangkan Dora. Namun dari perhitungan kami, para peserta rata-rata menggunakan 22 kata per pertanyaan, atau lima kata lebih banyak dari batas David Candow. Model bertanya mereka panjang-panjang dan tertutup. Ulfa Dwiyanti sendiri mempertanyakan kualitas Dora. Hanya keberuntungan saja. Tanpa kerja keras. Mereka hanya menang tampang tapi miskin pengalaman. Tidak heran kalau banyak nara sumber yang bertanya ulang. Misalnya, Wahyu Rahmawati dari Malang, dalam segenap kegugupannya, bertanya pada Eep Saefullah Fatah, "Langsung saja. Sekarang perpolitikan setelah pemilihan presiden kedua telah dibuktikan bahwa SBY menang. Pada saat ini banyak sekali nama-nama yang dicantumkan, baik itu di SCTV sendiri maupun di suratkabar, tentang calon-calon kabinet. Menurut Anda, bagaimanakah persentase pemberian nama pemunculan nama itu terhadap kabinet nanti?" Eep tampaknya tak mengerti pertanyaan versi 44-kata Wahyu. Eep bertanya, "Maksudnya?" WAHYU: Maksudnya, seberapa kredibelkah orang-orang yang dicantumkan di televisi dalam kabinet nanti? EEP: Sebetulnya belum ada satu pun konfirmasi dari SBY-Kalla tentang nama-nama yang beredar. Jadi saya kira, kita tidak bisa menilai seberapa kredibel mereka sebelum ada konfirmasi (Perhatikan Eep membantah asumsi Wahyu). WAHYU: Tapi mengapa nama-nama itu harus dimunculkan. Apakah ini testing the weather dari SBY atau Anda optimis terhadap testing the weather dari SBY? EEP: Sebetulnya ada kebutuhan memang untuk memunculkan nama sebelum pelantikan 20 Oktober dikarenakan masyarakat perlu tahu siapa yang akan menjadi pejabat publik. Tapi persoalannya, nama-nama yang muncul sekarang ini adalah nama-nama yang sebetulnya beredar begitu saja, tanpa ada konfirmasi. Itu yang jadi persoalan. WAHYU: Kok bisa tanpa ada konfirmasi terlebih dahulu, kenapa harus memunculkan? EEP: Siapa yang memunculkan? WAHYU: Kata Pak Eep tadi bahwa tidak ada konfirmasi terhadap pemunculan nama-nama tersebut. EEP: Sampai sekarang SBY dan Kalla belum mengkonfirmasikan satu pun nama. WAHYU: Dan siapakah yang memunculkan adanya nama-nama di televisi tersebut? EEP: Media massa. WAHYU: Media massa? Jadi tidak ada konfirmasi lebih lanjut dari SBY maupun Kalla. EEP: Belum ada sampai sekarang. Termasuk ketika kemarin SBY mengadakan ujian doktor. Ada sejumlah nama yang ikut serta hadir dan SBY mengatakan bahwa mereka bukanlah calon-calon menteri. WAHYU: Menurut Anda sendiri Pak Eep, bagaimana kredibel yang dicantumkan? Maksud saya, nama-nama yang dicantumkan ini, menurut Pak Eep, bagaimana posisinya dalam kabinet nanti? Apakah mereka cukup mampu dalam memimpin negara kita esoknya? EEP: Belum ada nama masalahnya. Jadi kalau misalnya Anda menanyakan kredibilitas mereka, siapa mereka kita tidak tahu. Jadi ada ketidakjelasan di sini. Siapa yang Anda maksudkan? Tanya jawab ini menghabiskan waktu 2.5 menit karena Wahyu memakai asumsi yang salah. Tapi ini bukan monopoli Wahyu. Wahyu dan kawan-kawannya semua menunjukkan kesan sok pintar, agresif, serta tak mampu mewakili audiens dalam wawancara. Grace Natalie Louisa dan Linda Puteri Mada bertanya enam pertanyaan dan hanya satu yang terbuka. Mohammad Achir bahkan bertanya 62 kata. Kesan belum tentu sama dengan esensi. Bisa saja Dora, Wahyu dan sebagainya sebenarnya rendah hati. Karni Ilyas, direktur pemberitaan SCTV, tak setuju dengan argumentasi kami. Karni mengatakan bahwa kelima orang ini memang bukan wartawan. Mereka hanya calon wartawan. "Ketika mereka jadi juara, mereka baru jadi calon wartawan. Masa percobaan lagi. Begini saja, yang namanya Bayu Setiyono, pantas jadi wartawan atau nggak? Bayu itu juara kami 1997. Sekarang jadi pantas setelah enam tahun. Ketika jadi juara, boleh saja Anda bicara belum pantas." Atmakusumah Astraatmadja, mantan ketua Dewan Pers dan pemenang Hadiah Magsaysay, mengatakan pada kami bahwa ia tak setuju seleksi wartawan dilakukan secara komersial (Dora mendapat hadiah Daihatsu Xenia) dan memanfaatkan frekuensi publik untuk keperluan internal SCTV. Beberapa wartawan lain juga tak setuju karena kuatir citra wartawan diasosiasikan dengan kinerja Dora dan kawan-kawan. Kami juga belum melakukan analisis kemampuan Bayu Setiyono. Tapi kami ingat Bayu pernah diperlakukan sama macam gaya Ulfa ketika Bayu mewawancarai Kwik Kian Gie dari PDI Perjuangan. Kwik menyebut Bayu "jongkok." Tapi menarik juga kalau mulai sekarang Anda memakai prinsip David Candow untuk menghitung jumlah kata pertanyaan-pertanyaan Bayu. Atau seberapa tertutup atau terbuka pertanyaannya? Dan tentu saja, bukan hanya Bayu, tapi kalau perlu semua wartawan televisi Jakarta. Jangan-jangan Anda akan menemukan kesimpulan bahwa kualitas mereka tak jauh lebih baik dari Dora atau Wahyu?

*Artikel Ini telah dimuat di majalah Gatra Gatra, 30 Oktober 2004, dengan Judul "Wawancara, Wartawan, dan Ratu Kecantikan, " Oleh Andreas Harsono dan Esti Wahyuni *

Namun untuk paragraf pertama di buat penulis berdasrkan fakta ketika Andreas menjadi fasilitator pendidikan jurnalistik tingkat lanjut di Lampung, 18 september 2004, penulis untuk kepentingan eksklusifitas belaka.

Monday, September 20, 2004

Perlu Pembenahan Menyeluruh

Liputan: Ahmad Wildan, Yudi Nopriansyah Sebagaimana layaknya sebuah terminal, Rajabasa tak lepas dari aksi kejahatan beberapa oknum. Apalagi jika ditilik dari struktur tata ruang terminal yang semrawut, bisa dikatakan kesempatan berbuat kejahatan sangat terbuka lebar. Ditambah kurang tegasnya aparat terminal dalam menangani kasus kejahatan ikut mendukung aksi tersebut, didukung fasilitas keamanan yang disediakan masih tergolong minim. Peristiwa kejahatan di Terminal Rajabasa memang kerap kali terjadi. Umumnya dialami oleh pendatang baru. Keluguan dan keterasingan mereka akan terminal ini sering dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu. Mereka (pendatang baru, red) sering terlihat bingung dan panik ketika kali pertama melangkahkan kaki di Terminal Rajabasa. Pasalnya, mereka mengalami kesulitan dalam mencari bus yang akan ditumpanginya. Hal ini terjadi karena posisi bus di terminal tidak teratur. Pun kebingungan mereka diperparah dengan rentetan pertanyaan yang diajukan para calo. Meski awalnya para calo bertujuan untuk membantu pendatang menemukan bus, namun keluguan mereka tak jarang dimanfaatkan juga oleh calo untuk lebih mengambil keuntungan. Tak hanya aksi calo, pun kondisi pendatang tersebut sering dimanfaatkan oknum lain untuk mencopet.Berdasarkan data Polsek Kedaton yang diperoleh Teknokra, setidaknya dalam tahun 2004 ini tercatat telah terjadi 13 kasus tindak kriminalitas di Terminal Rajabasa Tata Ruang Semrawut Terminal memang identik dengan keramaian angkutan. Karena terminal merupakan sentral berkumpulnya semua angkutan pada suatu kawasan tertentu. Namun jika keramaian tersebut tidak tertata dengan baik, maka akan menimbulkan dampak eksternalitas. Pun demikian dengan Terminal Rajabasa. Tata ruangnya yang tak beraturan memungkinkan banyak oknum berkesempatan melakukan aksi kejahatan. Posisi bus-bus antar kota misalnya. Banyak diantara bus tersebut yang mangkal tidak sesuai dengan posisi seharusnya. Mereka cenderung berusaha mendekati pintu masuk terminal sebagai sentral masuknya para pendatang. Kecenderungan ini dilakukan agar bus mereka bisa lebih cepat dinaiki penumpang. Tak hanya bus, tata ruang terminal pun diperparah dengan semakin menjamurnya usaha-usaha komersial didalam terminal. Sebut saja warung-warung, wartel serta beberapa agen transportasi ilegal yang berdiri sekenanya. Hal ini membuat terminal semakin tidak kondusif. Seperti diungkapkan Kepala Polisi Kota Besar (Kapoltabes) Bandar Lampung, Drs M Iman Djauhari, dirinya sempat membandingkan kondisi Terminal Rajabasa dengan beberapa terminal di kota besar lain. “Berbeda dengan Terminal Pulo Gadung dan beberapa terminal di Bandung. Disana terminal terlihat lapang karena tidak ada bangunan di tengah-tengah terminal,” jelas Imam. Tidak adanya bangunan yang ditengah-tengah terminal, menurut Imam, sebenarnya akan lebih memudahkan aparat dalam melakukan pengamanan terminal. Selain itu Terminal Rajabasa juga tidak dipagari. Hal inilah yang memudahkan setiap orang bisa masuk ke terminal seenaknya. Kondisi ini juga mempermudah para copet untuk melarikan diri. Pun demikian dengan calo. Padahal bila terminal dipagar, pengamanan yang dilakukan aparat akan lebih mudah. Pun pendapatan daerah dari hasil peron bisa lebih maksimal. Secara garis besar, sebenarnya kontur Terminal Rajabasa terbagi atas tiga wilayah: Terminal bawah, Terminal atas dan Terminal Tanah Merah (cat: lihat peta box). Sayang, pos polisi dan pos pengendali terminal berada pada terminal atas sehingga akan kesulitan untuk memantau penumpang yang berada di terminal tanah merah ataupun juga terminal bawah. Tidak strategisnya pos pengendali terminal dan pos polisi dari awal penumpang turun angkutan adalah salah satu penyebabnya. Bila terjadi tindak kecopetan atau kejahatan pada daerah terminal bawah, hal ini akan sulit terpantau dari kantor pos polisi. Kasus peristiwa keributan antara TNI dengan calo misalnya (Baca: Akibat Ulah Si Calo yang Bikin Kecolongan). Kasus tersebut terjadi di terminal bawah dan tidak diketahui oleh pos polisi dan pos pengendali terminal. “Kalau waktu itu langsung bisa diketahui oleh polisi pasti hal itu (keributan TNI dengan calo, red) akan segera diamankan,” ujar Iman. Perlu Kajian Mendalam Pengaturan tata ruang terminal perlu untuk segera dikaji ulang, mengingat kondisinya yang semakin semrawut. Kecenderungan bus yang mangkal tak beraturan perlu diadakan tindakan tegas. Karena hal ini berkaitan dengan akses kemudahan pendatang baru. Apalagi mengingat Terminal Rajabasa termasuk terminal besar dan penting di Lampung. Terminal ini sering juga digunakan transit bagi semua bus yang akan menuju ke timur Pulau Sumatra. Dari Pelabuhan Bakauheni, kemana pun hendak tujuan bus-bus Pulau Sumatra, pasti akan transit di Terminal Rajabasa. Pemisahan antara bus luar kota dan dalam kota juga tidak jelas. Seperti diungkapkan Ir Rislan Syarief MT, pemerhati tata ruang, “Seharusnya bus di klasifikasikan berdasarkan trayek dalam kota dan luar kota.” Tata ruang pemisahan bangunan yang jelas di terminal, menurutnya, dapat mempengaruhi calon penumpang dan berkurangnya bisnis pencaloan. Saat ini Terminal Rajabasa memang belum diadakan pemisahan yang jelas antara pool untuk trayek dalam kota, luar kota, serta pool angkutan kota (angkot). Semua bus di terminal ini masih berbaur. Misalnya saja untuk bus AC jurusan Rajabasa-Kota Bumi mangkal berdekatan dengan tempat pangkalan angkot jurusan Rajabasa-Natar. Tidak adanya pemisah antara tempat bus dalam kota dan bus luar kota menyebabkan petugas kesulitan menarik uang peron dari penumpang bus luar kota. Petugas peron biasanya mensiasatinya akan mengambil uang peron ketika bus telah penuh penumpang dan akan segera jalan. Menurut Rislan, Terminal Rajabasa juga seharusnya dibuat satu pintu, baik untuk masuk dan keluar. “Dari sistem satu pintu ini, penumpang dapat lebih terkontrol. Selain itu, pendapatan peron juga dapat lebih terkendali,” tambahnya. Terminal bus tujuan luar kota dan dalam kota pada suatu wilayah dengan satu pintu masuk saja, akan lebih memudahkan penumpang. Penumpang yang akan bepergian ke luar kota, tentunya akan cepat mengetahui dimana letak bus-bus luar kota. “Penumpang akan dapat mudah memetakan dimana bus yang akan dicarinya itu,” lanjut Rislan. Berbeda dengan Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Jalur bus dengan jalur angkotan kota dibuat terpisah. Pun demikian dengan bus tujuan antarkota dengan bus antarprovinsi. Keteraturan ini memudahkan pengguna terminal mencari bus yang ditujunya. Misalnya, penumpang akan menaiki bus antarprovinsi, mereka tinggal mencari lokasi dimana bus-bus antarprovinsi itu mangkal. Plang penunjuk atau keterangan didalam terminal pun dibuat jelas, sehingga calon penumpang dapat langsung mencari busnya ketika baru saja tiba. Selain itu, Terminal Rajabasa juga minim fasilitas. Penerangan seperti lampu misalnya. Lampu dalam terminal sangat kurang. Seperti dijelaskan Kepala Polisi Pos (Kapolpos) Terminal Rajabasa, Bripka Rahmat, “Bila situasi gelap, kondisi terminal jadi sulit sekali terkontrol oleh petugas keamanan.” Pun hal ini juga sempat dilontarkan Kapoltabes Bandar Lampung. Meski demikian, Rahmat berusaha untuk mengatasi masalah dengan menetapkan kebijakan bahwa setiap bus yang menurunkan penumpang harus di depan pos polisi Terminal Rajabasa. Tak hanya pembenahan masalah fisik, masalah sosial juga perlu dibenahi di terminal ini. Seperti tidak teraturnya calo yang bebas berkeliaran ada pembeda antara agen resmi atau calo. Sangat membinggungkan bagi penumpang dan petugas. Seperti yang diutarakan Bribka Rahmat, “Bagusnya para penjual tiket resmi mengunakan seragam, agar dapat dicireni apakah di petugas atau bukan.”

Wednesday, September 15, 2004

Tindak Kriminal di Terminal Rajabasa

Akibat Ulah Si Calo yang Bikin Kecolongan Oleh Ahmad Wildan, Yudi Nopriansyah Setengah bergegas, Hendra menyambut setiap angkutan kota (angkot) yang masuk terminal. Suasana hiruk pikuk tak menghalanginya untuk memburu orang-orang yang baru saja turun dari angkot biru itu. “Mau kemana pak! Bu! Itu mobilnya siap berangkat, enggak ngetem kok!” teriak Hendra bersaing dengan teman seprofesinya yang lain. Terminal Rajabasa, penghidupan bagi Hendra. Bagi calo macam dia, kerja paruh hari belum tentu mendatangkan untung. Belum lagi profesi ini tak hanya digeluti sendiri. Sebagai makelar tiket bus, Hendra yang berperawakan tinggi besar harus jeli mencari tambahan uang kantong. Menambah uang kantong ini pula yang menjadi kerja sambilan rekan Hendra yang lain. “Kalau ada untung dapat penumpang lolo, tarif busnya bisa lebih dari sewajarnya,” ceritanya. Yang dimaksud Hendra adalah menaikkan harga tiket bus. Dengan segala macam alasan, penumpang harus mau membayar di luar tarif biasa. “Yang penting bisa naik bus dulu,” katanya ringan. Hendra menambahkan, biasanya orang orang yang baru masuk terminal akan mudah digaet. “Kelihatan antara yang baru atau yang sering,” tambah Hendra. Memang, pekerjaan seperti Hendra sebagai calo sudah menjamur di sebagian besar terminal, tak hanya Rajabasa. Tapi kejadiannya jadi berbeda, bila para calo ini mencoba cari keuntungan dari penumpang. Terutama yang terlihat binggung. Kemudian dimanfaatkan. Seperti yang terjadi pada Riza Murtaza dan Warsito, mahasiswa FE Unila angkatan 99 bebepa waktu lalu. Keduanya pernah ‘diperas’ oleh calo saat masih duduk di semester empat. Waktu itu Riza dan Warsito akan pulang ke Jakarta ngeteng. Tujuan pertama Pelabuhan Bakauheni. Namun, baru saja sampai di depan pos pengendali terminal Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR), seorang calo menayakan mau ke mana mereka pergi. Karena tidak ingin terusik lebih lanjut dengan pertanyaan si calo, mereka pun menjawab tujuan akhir mereka, Jakarta. Dan tanpa diduga, si calo langsung menarik lengan Riza. Malang bagi Riza dan Warsito, belum lagi meraka sampai ke bus AC Bakauheni, mereka malah dibawa masuk ke dalam sebuah loket PO kosong dekat pos pengendali terminal. Loket yang semula kosong, mendadak dipenuhi lima orang calo. Kedatangan mereka pun diikuti dengan aksi mengkunci pintu ruangan. Tahu tujuan Riza dan Warsito adalah ke Jakarta, calo tersebut kemudian manawarkan tiket Bus ke Pulo Gadung, dengan harga lebih dari Rp100 ribu. Curiga bercampur takut, Riza dan Warsito akhirnya beralasan tidak punya duit. Mereka pun berkilah hanya mampu membayar tarif bus Rajabasa—Bakauhuni biasa saja. Sayang keenam calo tersebut tidak percaya. Aksi calo-calo itu semakin garang dengan terus memaksa dan mengancam akan mengeledah dompet Riza dan Warsito. Mereka pun akhirnya melakukan negosiasi. Beruntung calo-calo itu hanya meminta uang lelah sebesar Rp10 ribu. Melihat ada peluang bebas, Riza dan Warsito pun memberikan sejumlah uang tersebut. “Masih untung cuma 10 ribu, dari pada dompet diambil!” tutur Riza mengenang. Lemah Bangkrut, Berani Benjut Praktek percaloan di terminal Rajabasa memang sering berbuntut pada tindak kriminalitas. Aksi-aksi para calo inilah yang akhirnya mampu merusak citra terminal. Bahkan terminal sering disebut-sebut sebagai sarang ‘penyamun’. Penumpang yang kelihatan bingung dan takut bisa jadi bangkrut, sedang korban yang berani bisa jadi benjut (babak belur) Seperti dialami Praka David dan Praka Alex, anggota TNI Kompi B Batalion 143 Tri Wira Eka Jaya (TWEJ). Bermula dari keinginan dua anggota TNI itu untuk pulang ke Candi Mas Natar setelah tidak jadi membeli lemari di Bandar Lampung. Sesampainya di Terminal Rajabasa mereka ditarik-tarik oleh calo bus di terminal tersebut. Tidak ingin berlama-lama dengan bersinggungan dengan calo pemaksa tersebut, Alex dan David pun memutuskan untuk menaiki bus Natar yang ditawarkan calo. Namun baru saja setengah perjalanan berlalu, didalam bus sudah terjadi keributan kecil antara dua anggota TNI itu dengan kernet bus. Hal ini diawali dengan tingkah kernet yang tidak ingin mengembalian uang kembalian anggota TNI. Kernet bus semula meminta ongkos Rp3 ribu untuk empat orang tapi ketika disodorkan uang Rp 5 ribu si kernet tak mempunyai kembalian, sehingga sempat terjadi selisih paham. Untung tidak sampai berbuntut pada perkelahian. Keesokan harinya, David dan Alex kembali ke Bandar Lampung. Kali ini mereka membawa dua orang rekan, Praka Pus Puryanto dan Praka Yulianto. Tujuannya adalah untuk kembali membeli lemari yang kemarin sempat tidak jadi dibeli. Namun tak dinyana, sesampainya di Terminal Rajabasa, mereka kembali bertemu dengan calo yang kemarin. Spontan saja, dua anggota TNI itu menasehati calo tersebut. “Eh, mas jangan begitu dong kalau mau nyari penumpang”, ujar David dan Alex seperti ditiru oleh Mayor CHk J Simbolon SH dalam isi berkas laporan perkaranya. Sayang, nasehat itu ternyata tidak diterima oleh si calo. Maka terjadilah percekcokan mulut. Awalnya hanya terjadinya antara si calo dengan keempat anggota TNI, namun dalam waktu yang singkat percekcokan itu sudah melibatkan para calo dan keempat anggota TNI. Percekcokan ini pun kemudian berbuntut pada aksi baku hantam antar mereka (calo dan keempat anggota TNI, red). Menyadari bahwa perkelahian terjadi tidak seimbang, keempat anggota TNI pun menyelamat diri dengan sedikit demi sedikit mengundurkan diri. Namun naas bagi mereka (keempat anggota TNI, red), belum lagi mereka jauh meninggalkan tempat perkelahian, para calo sudah meneriakinya maling. Spontan saja, sejumlah orang yang berada di terminal mengejar keempat anggota TNI tersebut. Jumlah ini terus bertambah semakin banyak. Alhasil keempat anggota TNI itu pun jadi bulan-bulanan massa. Menyadari situasi sudah tak terkendali, keempat anggota TNI tersebut dengan keadaan babak belur berlari menyelamatkan diri ke arah Jalan Indra Bangsawan. Massa yang semakin ramai saja mengejarnya, bahkan diantara mereka ada yang membawa balok kayu. Bahkan dari wajah David telah mengucur darah segar kental, pun juga dari telinganya akibat bogem yang sempat mengenai wajahnya. Namun dalam keadaan sempoyongan itu, ia terus berlari meski sesekali ada saja massa yang berhasil memukulnya. Beruntung ketika sampai di Jalan Indra Bangsawan No.22, depan kantor kelurahan Rajabasa, David sempat diselamatkan seorang ibu rumah tangga, Yunita Mahera. Setelah berlari cukup jauh dari lokasi awal kejadian (Terminal Rajabasa, red) David dapat diselamatkan dari amuk massa yang beringas itu. Mendengar suara ribut-ribut diluar rumahnya, Yunita bergegas keluar. Diluar ia melihat seorang lelaki berbadan kekar berambut cepak lari sempoyongan dengan muka babak belur mengeluarkan darah segar dan kental. Lelaki itu (David, red) kemudian mendekat kearahnya dan berkata: “Saya bukan maling, saya anggota (TNI)”, ujar Yunita menirukan perkataan David. Untuk meyakinkan Yunita, David sempat berusaha mengeluarkan tanda anggotanya dari saku celananya. Sayang, belum lagi David berhasil menunjukkan kartu anggotanya, massa sudah dekat dengannya dan langsung menghajarnya habis-habisan. Akhirnya tangan David yang sempat merogoh pada saku celananya itu kemudian mengeluarkan isi sakunya secara berhamburan. Dinatara hamburan tersebut, Yunita sempat melihat ada kartu anggota TNI atas nama David. Tak hanya kartu anggota, dari saaku celana David keluar juga handphone miliknya dan uang tunai tiga juta rupiah yang akhirnya ikut terjatuh dan hilang. Melihat kartu anggota TNI David, spontanitas Yunita pun segera mendekap David yang sudah tak berdaya itu. “Jangan, nanti kalau mati gimana!” teriak Yunita seraya melarang massa untuk meneruskan aksinya lebih lanjut. Kemudian dengan dibantu adik sepupunya, Serka Sardiono Yn, yang juga anggota TNI, mereka mengamankan David serta kedua rekannya Pus Puryanto, dan Yulianto yang kebetulan lari ke arah rumahnya di Jalan Indra Bangsawan. Sedangkan Alex tidak diketahui jelas kemana larinya. Beberapa waktu setelah dijelaskan duduk perkara sebenarnya dan identitas asli keempat anggota TNI itu, barulah massa berangsur membubarkan diri. Informasi tentang perkelahian akhirnya sampai pada jajaran Korem. Sore harinya Terminal Rajabasa gempar dengan kedatangan puluhan anggota TNI dari jajaran Korem 043/Gatam. Kedatangan mereka dihantarkan dengan dua truk Kompi. Mereka merasuk serempak menuju ke penjuru pelosok Terminal Rajabasa. Mereka menyebar, berpencar dengan cepat untuk mencari tahu dalang kejadian siang tadi (perkelahian, red). Mereka mengintrogasi siapa saja yang sekiranya dicurigai. Aksi TNI ini kontan menghebohkan kalangan masyarakat sekitar. Mereka pun menyingkir untuk menghindar dari sasaran amukan tersebut. Aksi TNI tersebut baru bisa berhenti ketika Wakil Komandan Batalion 143 TWEJ, Mayor Inf. Irwan Mulyana, beserta lima orang anggota provosnya memerintahkan agar TNI segera menghentikan aksi tersebut. Dalam aksi ini, tercatat tiga warga sipil menjadi korban dengan luka cukup serius. Mereka adalah Heri, sopir Bus Karona, Eka calo, dan Suhaimi, pedagang asongan. Pun aksi ini juga menghasilkan kerugian material. Saat aksi, TNI sempat memecahkan pos pengendali terminal dan Pos Polisi Terminal Rajabasa sebagai sasaran kemarahannya. Namun aski ini tidak sepenuhnya kesalahan TNI. Suhaimi, korban, meski dirinya sempat dipukuli hingga babak belur oleh TNI, justru menyalahkan calo-calo di Terminal Rajabasa. Kekesalannya terjadi karena dirinya sempat melihat para calo memukuli anggota TNI. “Kalau bukan karena calo-calo tersebut yang lebih dulu mengeroyok anggota TNI, maka mereka juga tidak akan ngamuk”, jelas Suhaimi. Sayang, Suhaimi yang sempat dirawat di Rumah Sakit Tentara, Bandar Lampung dengan 12 luka jahitan ini enggan bercerita lebih lanjut tentang peristiwa tersebut. Akibat kejadian ini, Panglima Kodam II/Sriwijaya, Mayjen Inf. Syahrial BP Peliung, langsung meminta maaf kepada anggota Polri, Dinas Lalu Lintas dan Jalan Raya (DLLAJR) Lampung, atas penyerbuan anggota TNI ke Terminal Rajabasa, Senin (22/3) petang. "Kami berjanji akan menindak anggota TNI yang melakukan perbuatan keliru," kata Syahrial saat meninjau terminal Rajabasa, Rabu (24/3). Kasus ini memang mendapat perhatian serius dari Angkatan Darat. Terbukti dengan datangnya Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jendral TNI Ryamizard Ryacudu ke Batalion 143 TWEJ, Candi Mas, Natar, pada Rabu (7/4). Peristiwa yang berujung pada perusakan bangunan instansi pemerintah, pos polisi dan pos pengendali terminal, menurut Ryamizard memang harus ditindak lanjut. Pun oknum TNI tersebut akan di proses secara hukum. “Apapun alasannya, merusak fasilitas pemerintah merupakan kesalahan,” ujar Ryamizard. Hingga kini, berkas pekara kasus ini masih di proses Oditurat Militer Lampung untuk dibawa ke Pengadilan Militer Palembang dalam waktu cepat, ujar Simbolon lebih lanjut. ‘Sarang Penyamun’ Tak hanya marak praktek percaloan yang berbuntut kekerasan kepada penumpang, pun tindak kriminal lain sering terjadi di Terminal Rajabasa. Umumnya, aksi kriminal ini terjadi pada penumpang yang lengah. Sebut saja Bekti Setyawardani, mahasiswa Program Studi Kedokteran Unila. Ketika itu (8/4), Bekti bermaksud pergi ke Jakarta bersama dua rekannya, Agung Sindu dan Ikhlas. Namun ketika Bekti sedang menggunakan handphone untuk SMS (Short Message Servis), tiba-tiba dua orang lelaki bersepeda motor bebek mencegat mereka di tengah jalan. Seorang diantaranya turun dari atas motor dan langsung ‘mengalungkan’ sebilah golok ke leher Bekti. Tanpa basa basi mereka meminta handphone miliknya. Kaget akan perlakukan oknum yang tiba-tiba, Bekti sempat menjerit. Sayang ketika itu terminal dalam kondisi sepi sehingga tidak ada seorang pun yang datang menolong. Agung dan Ikhlas melihat kejadian ganjil tersebut semula ingin menolong Bekti. Namun belum lagi Agung bisa berbuat banyak, golok tersebut sudah diarahkan melayang ketubuhnya. Beruntung Agung segera menghindar hingga hanya tangannya saja yang sempat tergores. Tepat disaat itu Bekti secara diam-diam sempat melempar handphone nya ke arah semak semak didekatnya. Namun karena kondisi saat itu masih malam, dan lampu handphone masih menyala, penodong dengan mudah bisa melihat keberadaan handphone itu dan mengambilnya. Para calo tak hanya berkerja menjajakan tiket pada penumpang, disela kerjanya Hendra bersama kawan-kawannya juga kadang menggoda wanita cantik yang ditawari tiket atau malah marah-marah pada calon penumpang yang mengabaikan profesinya sebagai calo []