Monday, September 25, 2006

Perlukah Persma Berhimpun Dalam Suatu Wadah?

Tema judul di atas, jelas merujuk dari gugatan terhadap peran Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang ompong dan tidak jelas program kerjanya. Bagaimana tidak sejak berdirinya PPMI tahun 1992 sebagai pengganti IPMI yang mati setelah Kongres V tahun 1980-an, peran PPMI sampai kekarang bisa di bilang ‘enol besar’. Adalah Bengkel Jurnalisme Lampung yang mencoba mempertanyakan itu. Dalam acara diskusi rutin dwi mingguannya, Bengkel Jurnalisme mengundang seluruh persma di Lampung untuk menjawab judul di atas. Acara itu di fasilitasi oleh LPM Radin Intan di gedung BEM IAIN. Saya sendiri di undang menjadi panelis bersama Nur Kholis mantan ketua dewan kota PPMI Lampung. Sayangnya Nur Kholis tidak datang. Untungnya Juwendra Asdiansyah yang merupakan dedengkot Bengkel Jurnalisme hadir dalam diskusi. Juwendra ketika masih aktif di Persma ikut dalam Kongres PPMI di Lombok tahun 2000. Bisa dibilang kongres pada 24—29 Mei itu menjadi kongres terbesar PPMI terakhir. Karna bisa mendatangkan hampir seluruh Persma. Diskusi itu bisa dibilang gagal, karna hanya ada tiga perwakilan Persma (UKPM Teknokra, LPM Radin Intan, LPM Digital Darmajaya). Sisanya adalah peserta sekolah jurnalistik Bengkel Jurnalisme, wartawan pers Umum dan angota BEM IAIN Radin Intan. Panitia kurang serius mempersiapkan acara, terbukti undangan saja baru di sebar sehari sebelum acara. Saya diminta menjadi panelis lewat SMS. Tapi biarlah, semangat Bengkel yang perduli dengan persma itu intinya. Karna bisa dibilang, tidak ada Persma di Lampung yang perduli dengan tema ini. Termasuk lembaga yang saya pimpin (Teknokra). Kami larut dalam buaian suasana kerja di bilik redaksi masing-masing. Saya pribadi, tergugah untuk mencermati “perlukah Perma berhimpun dalam satu wadah?”Untuk itu, saya mengajak kawan-kawan Persma lain ikut menjawabnya. Kiranya, beberapa bahan dibawah ini yang terkait dengan wadah perhimpunan persma di Indonesia, menjadi gambaran untuk kita (Pers Mahasiswa), agar menjawab gugatan Bengkel Jurnalisme. >PIPMI direktori pers mahasiswa Indonesia >PIPMI direktori pers mahasiswa Indonesia

Tuesday, September 19, 2006

Kebebasan Informasi dan Pembatasan Rahasia Negara

Kebebasan memperoleh informasi yang selama ini belum terlaksana di negara ini, semakin menjauh dengan di rumuskannya rancangan undang-undang Rahasia Negara. Padahal dalam perundang-undangan, memperoleh informasi merupakan suatu kebebasan yang dijamin oleh konstitusi, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 28F Amandemen kedua UUD 1945 yang berbunyi: "…….setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengelola, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia……."Amandemen tersebut pada jaman presiden BJ. Habibie di tegaskan dalam Undang-undang Pers pasal 6 UU No.40 Tahun 1999. Tujuan utama adanya ketentuan yang sacara tegas mengatur kebebasan informasi adalah: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supermasi hukum, dan hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat dan, akurat, dan benar. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; memperjuangkan keadialan dan kebenaran. Maka terdengar berlebihan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, yang berkata ”Kalau semua dibuka, semua jadi perdebatan yang tidak ada habisnya. Hasilnya adalah mobokrasi, demokrasi massal, di mana semua orang mau ikut nimbrung,” kata Menteri Juwono di majalah Tempo Edisi 01 - 7 Mei 2006. Adalah benar jika kebebasan itu tiada yang mutlak. Seperti yang dikatakan oleh bebarapa filsuf bahwa there is no absolute freedom. Demikian pula dengan kebebasan informasi. Masalahnya adalah, dimanakah batas-batas yang perlu diberikan agar kebebasan informasi ini dapat dilaksanakan dengan tetap menghormati semua orang? Dalam KUHP ada beberapa ketentuan yang merupakan pembatasan informasi, yang memberikan sanksi pidana bagi orang yang memberikan informasi mengenai hal tertentu, misalnya: " Pasal 112 mengenai surat, kabar atau keterangan yang harus dirahasiakan karena kepentingan negara (pidana penjara selama-lamanya 20 tahun, " Pasal 124 mengenai rahasia militer (pidana penjara 15 tahun), " Pasal 322 mengenai rahasia jabatan (pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.9.000,00), " Pasal 323 tentang rahasia perusahaan, " Pasal 369 mengenai rahasia pribadi yang dibuka untuk memeras seseorang (sanksi pidana penjara selama-lamanya 4 tahun), " Pasal 430-434 mengenai kerahasian surat menyurat melalui kantor pos atau kerahasiaan hubungan melalui telepon umum (pidana penjara selama-lamanya 2 tahun 8 bulan), Dalam ketentuan diatas sangat jelas bahwa yang diatur lebih banyak merupakan upaya memberikan informasi daripada memperoleh informasi. Namun pada dasarnya inti dapat saja bermacam-macam, baik positif maupun negatif. Bahwasanya ketentuan dalam KUHP bermaksud untuk memberikan perlindungan hukum pada informasi, pemilik informasi, dan mereka yang mempunyai tanggung jawab untuk memiliki informasi sudahlah jelas. Jadi hal yang perlu dikuatkan bukan membuat produk hukum baru, melainkan dengan meninjau ulang UU untuk memperoleh kebebasan informasi itu sendiri. Dengan meletakkan landasan hukum bagi orang yang berkehendak memiliki informasi yang bersifat publik, hal mana berhubungan erat dengan public accountability suatu lembaga yang merupakan bagian dari good governance. Dengan demikian sedikitnya terdapat dua masalah yang harus diperhatikan akibat bahaya RUU Rahasia Negara: Pertama, hak warga untuk memperoleh informasi dari lembaga public. Kedua, hak warga dan lembaga tertentu untuk melindungi pribadinya apabila hal pertama dapat mengundang sanksi bagi pejabat publik yang menolak memberikan informasi yang ditetapkan sebagai informasi yang dapat diakses publik, maka hal kedua berkenaan dengan sanksi yang dapat dijatuhkan atas mereka yang melanggar right to privacy seseorang ataupun lembaga yang ditetapkan UU sebagai pengecualian atas hak atas kebebasan informasi. Dalam kaitannya dengan kebebasan informasi ini, menilik ketentuan yang ada di beberapa negara, sejumlah informasi yang dikecualikan dari akses publik dan digolongkan kedalam sembilan exemption di Amerika Serikat adalah yang menyangkut: keamanan nasional (National Security) dan politik luar negeri, rencana militer, persenjataan, data iptek yang menyangkut keamanan nasional, dan data CIA, ketentuan internal lembaga, informasi yang secara tegas dikecualikan oleh UU untuk dapat diakses publik, informasi bisnis yang bersifat rahasia, memo internal pemerintah, informasi pribadi (Personal Privacy), data yang berkenaan dengan penyidikan, informasi lembaga keuangan, dan informasi dan data geologis dan geofisik mengenai sumbernya. Harus diingat bahwa kekecualian diatas bersifat diskresioner, tidak wajib, dan diserahkan pada lembaga yang bersangkutan. Di Thailand, memberlakukan Official Information Act pada tahun 1997. pengecualian atas informasi yang dapat di akses publik dalam negara ini, mirip dengan ketentuan yang diatur dalam Freedom of Information Act Amerika Serikat, yakni informasi yang dapat membahayakan istana, yang dapat membahayakan keamanan nasional, hubungan international atau keuangan nasional, menghambat penegakaan hukum, merupakan informasi atau nasihat dari lembaga negara yang bersifat internal, yang dapat membahayakan keselamatan atau nyawa seseorang, informasi pribadi atau rekam medik yang publikasinya akan mengancam the right of privacy, dan informasi resmi yang dilindungi perundang-undangan atau yang diberikan oleh seseorang dan harus dijaga kerahasiannya (pasal 14 s/d 15 ayat 6 (Official Information Act). Keberadaan UU Kebebasan informasi, sebagai salah satu pendorong demokrasi, dengan demikian, memerlukan penjabaran yang sangat teliti, rinci dan jelas, agar tidak justru menjadikan kekacauan dalam negara karena tidak adanya rahasia maka hal pertama yang harus difahami bersama adalah bahwa: 1. tidak semua informasi merupakan bahan yang bebas dipublikasikan, 2. penjabaran mengenai informasi merupakan bahan yang bebas harus dirumuskan dengan jelas, 3. pembatasan atas kebebasan informasi menyangkut, a. kepentingan nasional/keamanan negara (militer, ekonomi, keuangan), b. kerahasiaan pribadi warga masyarakat, 4. pelanggaran atas pengecualian atas hak atas kebebasan informasi yang diberi sanksi pidana harus dirumuskan dengan teli dan tegas. Kedua restriksi dalam butir 3 diatas juga diakui oleh komunitas internasional, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights yang intinya menentukan bahwa the right to freedom of expression… and information…may …be subject to certain restriction, but these shall only be such as are provided by law and are necessary: a) for respects of the rights or reputation of others, b)for the protection of national security or of public order, or of public health or morals. Kepentingan negara, merupakan salah satu kata kunci yang membatasi kebebasan informasi, dan sejumlah kebebasan lainnya pula, sebagaimana dicantumkan dalam Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional. Makna dan cakupan kata ini sebenarnya harus mendapatkan suatu rumusan yang tegas, agar agar tidak multi-interpretable yang pada akhirnya membawa ketidak pastian hukum. Dikaitkan dengan ketentuan dalam ketentuan dalam KUHP, yang termasuk dalam kategori ini adalah pasal 112 dan 124. agar dapat menjamin kepastian hukum, melindungi hak masyarakat namun tidak membahayakan negara, maka UU atas kebebasan untuk memperoleh infromasi harus mengandung rumusan yang tegas mengenai informasi dan data yang tidak dapat diakses publik dalam kategori ini. Dengan demikian makna ketentuan yang ada dalam UU no.7 tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan harus ditinjau kembali. Pasal 11 ayat (2) UU ini memberikan sanksi pidana penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun kepada orang yang dengan sengaja diwajibkan merahasiakan hal tersebut. Padahal pasal 1 UU ini memberikan definisi yang sangat luas mengenai arsip, yang mencakup semua naskah yang dibuat dan terima oleh lembaga negara, badan pemerintahan, swasta maupun perorangan. Dapat diduga bahwa hal ini membuat petugas arsip kesulitan dalam memberikan arsip bagi publik. Untuk mengatasi hal ini selayaknya dibuat klasifikasi arsip yang harus dirahasiakan karena sifatnya, misalnya: 1. informasi khusus tentang militer dan persenjataannya dibuat klasifikasi lembaga ini sehingga dapat digunakan untuk melemahkan/menghancurkannya, 2. informasi mengenai system keamanan presiden dan penjabat negara lain yang perlu mendapatkan perlindungan negara, 3. informasi yang dikumpulkan negara mengenai proses peradilan pidana, yang apabila dapat diakses publik dapat menghambat berjalannya proses ini (misalnya mengenai keberadaan saksi pelapor yang menurut UU harus disembunyikan identitasnya dan dilindungi keselamatannya), atau dimanfaatkan oleh tersangka sehingga hukum dan keadilan tidak dapat ditegakkan, 4. informasi yang berkenaan dengan sumber-sumber alam tertentu yang dianggap penting oleh negara, yang diperoleh melalui penelitian yang rinci dan akurat dan menelan biaya besar, sehingga publikasinya dapat merugikan negara, 5. informasi mengenai test yang dipergunakan negara untuk menentukan promosi orang dalam jabatan tertentu, 6. informasi mengenai laporan tentang lembaga keuangan tertentu, dll. Adanya pembatasan semacam ini diperlukan untuk memberikan kepastian pada warga masyarakat, dan harus disertai dengan justification yang sahih, sehingga petugas informasi dalam lembaga yang bersangkutan merasa nyaman dalam melaksanakan tugasnya dan tidak dibayangi ketentuan yang tidak perlu, sedangkan masyarakat memahami pentingnya informasi yang bersangkutan untuk dirahasiakan.

Friday, September 08, 2006

RUU Penyelenggara Pemilu

Jumat (8/9, saya mewakili Teknokra ikut dalam kegiatan Maintening KPU's Independence yang di gelar Institute for Public Policy Reform (INFORMA) dan CENTRO Jakarta. Kegiatan itu mengundang seluruh pers dilampung dengan sub tema Media Workshop. Bertempat di Hotel Indrapuri, hadir sebagai pembicara wakil Ketua Panitia Khusus RUU Penyelenggara Pemilu DPR RI Andi Yuliani Paris, Hadar N. Gumay (Cetro Jakarta), pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Denny Indrayana, dan Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu 2004 Lampung Firman Seponada. Poin penting yang disampaikan Andi Yulianti Paris adalah: RUU Penyelenggara Pemilu nantinya, memposisikan KPU bersifat hierarkis. KPUD kabupaten/kota dan provinsi tidak perlu lagi meminta fatwa atau berkonsultasi ke Departemen Dalam Negeri. Cukup ke lembaga yang sama di atasnya. "Struktur hierarkis ini diperlukan salah satunya untuk menjaga independensi KPU dari intervensi lembaga-lembaga lain". ucap Andi Yuliani. Masalahnya mungkin,KPUD di daerah dalam menjaga netralitas dalam pilkada sering ada kedekatan khusus antara anggota KPUD dan calon kepala daerah, sedangkan Kalau pemilu legislatif dan pilpres netralitas itu masih bisa dijaga karena jarak antara calon legislatif atau calon presiden agak jauh. Hal inilah mengapa, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), menurut Andi Yuliani perlu dibentuk supaya KPU tidak menjadi superpower. "Ke depan, Bawaslu bisa mengawasi semua tahapan pemilu dan tidak hanya meneliti berkas-berkas pencalonan," ujarnya. Denny Indrayana (Pakar Hukum tata negara UGM) menilai perlunya RUU Penyelengaraan Pemilu, diuraikan lagi mengenai posisi, fungsi, komposisi, administrasi, dan sanksi agar KPU dapat berdiri sebagai lembaga independen. Di asumsikannya, kini Indonesia mempunyai 13 lembaga independen meliputi berbagai komisi seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPK, KY, dst. Sementara lembaga sejenis yang berada di bawah kendali birokrasi ada 60-an, termasuk KONI, Dewan Maritim, dst. Ia menyebutkan ciri-ciri lembaga independen di antaranya secara eksplisit dalam undang-undang disebutkan independen, sifat kepemimpinannya kolektif, dan presiden tidak bisa menerapkan hak prerogatifnya untuk mengangkat atau memberhentikan anggota lembaga tersebut. "Ketiga ciri ini yang harus melekat di kelembagaan KPU. Dengan demikian KPU punya hak konstitusional," kata Denny. Untuk mencapai independensi KPU, 82 pasal dalam RUU Penyelengaraan Pemilu menurut Deni, masih belum sempurna. KPU belum dapat mengatur dirinya sendiri, termasuk dalam hal anggaran dan rekrutmen sekretariat. "Perlu juga dibahas kembali bagaimana jenjang karier staf sekretariat KPU jika diangkat dari pegawai negeri sipil," kata Deni. Sementara, Firman Seponada mensyaratkan tiga hal untuk menjadikan KPU sebagai lembaga independen, yakni bebas anasir politik, bebas anasir birokrasi, dan panitia seleksi yang kredibel. Upaya membentuk KPU sebagai lembaga independen, kata dia, harus dimulai dari panitia seleksi anggota KPU. Pengalaman lalu, unsur-unsur birokrasi menunjuk nama-nama calon pantia seleksi tidak secara transparan. Bahkan, di sebuah kabupaten di Lampung tiba-tiba muncul nama-nama panitia seleksi yang diajukan kepala daerah tanpa dijelaskan lebih dulu mekanisme rekrutmennya. "Harus ada uji publik bagi calon panitia seleksi karena kalau tidak, kepala daerah dapat menyusupkan orang-orangnya," kata penggiat Aliansi Jurnalis Independen Lampung itu. : Arsip RUU tentang Penyelenggara Pemilihan Umum

Thursday, September 07, 2006

Foto jurnalistik dan Non Jurnalistik

Foto ini diambil oleh Rizki, biasa di panggil Kiki atau Pinky. Ia memberi judul karyanya "Suara-suara Bunga". Foto ini diberikan Pinky beberapa waktu lalu, ia berharap fotonya bisa masuk dalam majalah edisi khusus mahasiswa baru Unila. "Gimana kak, foto saya bisa masuk tidak" kata pinky kepada saya yang menjadi pemred sementara, mengantikan Eriek yang sedang ke Surabaya. Saya suka foto ini, kuncup bungga yang sedang mekar di pohon tanpa daun, dengan latar belakang hijau rumput. Foto itu menceritakan sesuatu kepada saya. Namun foto yang dibutuhkan untuk majalah edisi khusus adalah foto jurnalistik di rubrik essay foto. Saya tidak yakin foto ini akan dimuat, tapi saya janjikan jika dalam batas waktu, fotografer belum memberikan foto berita, maka foto ini akan saya muat di rubrik galeri foto. Pinky adalah pengurus baru Teknokra yang belakangan rajin belajar design grafis dan layout. Namun ketertrikannya di fotografi tidak bisa disembunyikan. Dia tanya macam-macam tentang foto ke saya. Kualahan juga saya dibuatnya. Saya tidak pernah menjadi fotografer, walau sering ikut lomba fotografi. Ilmu foto yang saya dapat otodidak ber eksperimen dengan kamera pinjaman, ditambah teori dari buku dan beberapa kali ikut dalam diskusi foto. Dan hampir setahun ini, nyaris tidak pernah memotret lagi. Pinky tanya kenapa fotonya tidak masuk dalam kategori foto jurnalistik? Menjawab ini, saya teringgat obrolan saya di Jakarta beberapa waktu lalu dengan Oscar Matuloh (redaktur foto LKBN ANTARA) Oscar bilang: fotojurnalistik adalah suatu medium sajian informasi untuk menyampaikan beragam bukti visual atas berbagai 'peristiwa' kepada masyarakat seluas-luasnya, bahkan hingga kerak dibalik peristiwa tersebut dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. Brian Horton penyunting buku "Assosiated Press, Photojournalism Style Book" menyatakan Peristiwa sendiri adalah suatu bagian dari proses terbentuknya sejarah umat manusia. "memandang fotojurnalistik sebagai suatu kajian artinya memasuki matra yang memiliki tradisi kuat tentang proses 'sesuatu' yang dikomunikasikan, dalam hal ini yang bernilai berita kepada orang atau khalayak lain dalam masyarakat" ucap Oscar. Jika pernah menonton film documenter James Nechtwey 'War Fotogrefer,' disana kita akan melihat aktivitas Nechtwey dalam meliput dengan kameranya. Nechtwey selalu dekat dengan apa yang difotonya, kemudian melaporkannya kepada khalayak dengan gambar utuh tanpa distorsi pemaknaan. Suatu hal yang tak mungkin dibuat oleh paparrazi yang mencuri foto dari jauh. Inilah mengapa pewarta foto berita, menjadikan hasil fotonya sebagai subjek bukannya objek. Foto pemandangan laut bisa jadi objek foto, tetapi laut yang tumpah di Aceh (tsunami), adalah subjek. Kembali kepada pertanyaan Pinky, kenapa fotonya yang indah itu bukan foto berita? Jawabnya: keindahan bukan unsur utama dalam fotojurnalistik, tapi 'peristiwa' yang dibutuhkan publik, itu intinya.! "Tapi keindahan jugakan dibutuhkan publik?" ya, tapi keindahan tidak menginformasikan sesuatu pada publik. World Press Photo yang bermarkas di Amsterdam, memecah beberapa kategori dalam fotojurnalistik yang kerap menjadi acuan mereka saat memilih foto-foto jurnalistik sebagai kandidat Bast Photo of The Year -Spot News Photo (foto berita spontan/spot) -General News Photo (foto berita umum) -Nature and Environman Photo (foto berita alam dan lingkungan) -People in the News photo (foto berita/potret) -Science and Tachnology Photo(Foto berita Iptek) -Daily life Photo (foto berita keseharian) -Arts photo (Foto berita seni dan budaya) -Sport Photo (foto berita olahraga) Semua foto harus bernilai humanis, jelas, dan tidak bias tafsir. Menariknya foto bisa dari camera apa saja, bisa kamera Digital, kamera konvensional CLR bahkan kamera saku. Sedangkan foto Pinky yang indah, bisa masuk dalam kategori, photografy hobby non-jurnalistik. Kategori ini, di koran biasa di temukan dalam rubrik non liputan, Foto macam ini juga biasa di lombakan dalam berbagai iven lomba photografy macam Salon Foto, Arts Inernational Photografy dll. Dengan bobot penilaian lebih pada , teknik, komposisi, engel, dan citarasa sipenilai. Saya pernah ikut lomba foto sejenis itu dalam Pekan seni Daerah, saya mengirim dua foto kebetulan mendapat juara satu dan dua. Keduanya di ikut lombakan lagi dalam pekan seni Nasional 2004. Saya senang akhirnya ada yang mau belajar fotografy. Dan semoga saja Pinky tidak puas dengan dikusinya bersama saya. Sehingga dengan begitu dia akan terus belajar. Kelak pengetahuan saya yang secuil ini, bisa jadi bertambah dengan pengetahuannya.

Friday, September 01, 2006

Masih Ada(kah) Hukum di Sebesi

Yudi Nopriansyah Laporan: Riska Meitania Setelah akhirnya dibuktikan oleh beberapa bundel, serta undang-undang yang ada, lalu milik siapakah Sebesi dan Seboekoe?Tiga bundel dokumen berbahasa Belanda dan dua bundel Surat Keputusan Mahkamah Agung ditunjukkan Hasanudin kepada Teknokra. “Ini bukti bahwa secara sah, pulau Sebesi telah dibeli Haji Djamaloedin dari Pangeran Minak Putra,” ujar Hasan. Hasan mengklaim sebagai pemilik sah pulau Sebesi dan Seboekoe. Sudah lebih dari dua jam Hasan bercerita tentang pulaunya itu. Tiba akhirnya ia memperbolehkan Teknokra untuk mengcopi seluruh bundel yang ia tunjukkan. Dokumen tua yang sudah menguning itu seukuran kertas folio, lima lembar halamannya sudah lusuh dan kusam. Namun, dalam dokumen tersebut dilampirkan halaman terjemahan yang dibuat oleh, Abdoel Rahim wnd Demang District dan onderafdeeling warga Kalianda, 3 Januari 1923. Kertas terjemahan pun hampir sama kusamnya. Dalam dokumen itu dijelaskan kalau Haji Djamaloedin telah membeli Pulau Sebesi dan Seboekoe dari Pangeran Minak Poetra pada tanggal 3 Maret 1896. Dokumen itu juga menjelaskan bahwa Haji Djamaloedin harus membayar pajak sesuai dengan undang-undang kehasilan alam tahun 1900 yang tertulis f. 1551,80. (satoe ribu lima ratoes lima poeloeh satoe roepiah delapan poeloeh cent). Hasan menunjukkan satu bundel dukumen surat perjanjian (overeemkomst) dengan cap pemerintahan Hindia Belanda A.E Prosse T.V. Notaris Batavia. Isinya adalah meminta izin menanam pohon kelapa di Pulau Sebesi dan Seboekoe kepada pemilik pulau yaitu The Tian Tjay kakak tertua Hasan sebagai ahli waris dari Mohammad Saleh Ali bin Hadji Djamaloedin. Lebih dari seratus surat perjanjian terdokuntasikan dalam bundel tersebut, dari rentang waktu 1933 sampai 1941. Dalam surat perjanjian tercantum bahwa penanam atau pengolah kebun harus membagi setegah hasil panen dari tanaman kelapa yang ditanam. Sedangkan bagi yang berladang membagi satu perlima bagian dari hasil berladangnya. Meski sebenarnya tak berlaku lagi, dokumen-dokumen itulah yang menjadi bukti turun-temurun keluarga besar Hasan untuk mengklaim Pulau Sebesi dan Seboekoe sebagai warisan Haji Djamaloedin. Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria bab dua pasal 17 yang melahirkan Perpu Nomor 5 tahun1963 tentang surat hutang LANDREFORM, dan Diktum pada pasal 18 yang mencabut kepemilikan tanah dengan memberi ganti kerugian sampai sekarang belum diterima pihak Hasan. “Inilah mengapa kami masih berhak mengambil hak bagi hasil kepada pengolah kebun di pulau, sesuai dengan surat perjanjian tahun 1933,” ucap Hasan. *** Sebagian warga Sebesi tidak paham akan kasus kepemilikan tanah di Pulau Sebesi, bahkan mereka kebinggungan akan dasar hukum yang berlaku. Padahal dalam Abstraksi undang-undang itu juga dijelaskan, ada empat faktor penting dalam melaksanakan Landreform, yaitu kesadaran dan kemauan elit politik, organisasi petani yang kuat, ketersediaan data yang lengkap, serta dukungan anggaran yang memadai. Menurut Staf Badan Pertanahan Nasional (BPN) Isprihadi, Badan Pertanahan Nasional (BPN) pernah menurunkan timnya pada 2003 untuk meregistrasi kepemilikan tanah di pulau Sebesi. Sebagai kepala pengukuran retribusi Pulau Sebesi, ia mengatakan bahwa terdapat kurang lebih 139 warga yang mendaftar ke BPN untuk di retribusi. “Mereka dikenakan uang panjer Rp280 ribu per hektar untuk pengukuran tanahnya. Seharusnya masyarakat disana mendaftar semua untuk diukur tanahnya”. “Dasar hukum retribusi itu berupa Surat Keputusan, namun belum di tandatanggani oleh Bupati Lampung Selatan,” lanjutnya. Menurut Isprihadi hal inilah yang kemudian menjadi dasar hukum untuk warga, sehingga terjadi konflik dengan tuan tanah Hasanudin (Baca: Sengketa yang tiada henti). Kepala Desa Tejang Pulau Sebesi Noor Alam sendiri mengaku kalau permasalahan ini sudah sering dicari penyelesaiannya. Bahkan menurutnya Bupati sendiri pernah berjanji akan memasukan ganti rugi atas tanah kelebihan milik Hasan tersebut kedalam RAPBN 2005. “Kami seperti dibuai,” ujar Noor Alam. Isprohadi mengatakan dalam retribusi tanah tersebut seharusnya tidak sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Namun, masyarakat dalam hal ini juga ikut menanggungnya karena mereka adalah penghuni tanah tersebut. Dalam aturannya, masyarakat penghuni tanah Pulau Sebesi seharusnya membayar tanahnya untuk diukur kemudian juga membayar uang ganti rugi kelebihan tanah milik Hasan yang dipakai olehnya sebagai bentuk pembauatan sertifikasi kepada aparat pemerintah. Namun pada kenyataannya masyarakat hanya mau membayar untuk pengukuran tanahnya saja. “Makanya ketika Hasan bertanya kepada pemerintah, pemerintah selalu menjawab peretribusiannya belum selesai karena masyarakat sendiri tdak mau membayar,” seru Isprihadi. “Seharusnya masyarakat yang tinggal di Pulau Sebesi membayar uang retribusi kepada pemerintah, dalam hal ini kepada aparat pemerintah seperti Sekdes dan Kades,” lanjutnya. Beberapa kali Isprihadi mengaku pihaknya telah memberikan penyuluhan kepada warga akan retribusi dan kewajiban mereka untuk membayar uang retribusi namun mereka tetap tidak menggubrisnya dan tidak ada yang membayar. Kini masalah itu menjadi bertambah pelik karena Hasan selaku pemilik tanah menuntut kepada pemerintah untuk segera membayar sisa kelebihan tanah yang dimilikinya. Harga yang dibayar nantinya pun harus sesuai dengan harga saat ini yang berlaku, tidka lagi seperti pada tahun 1982. Alasan Hasan, karena harga tersebut sudah tidak sesuai lagi saat ini. Selain itu juga ditambah dengan bunga yang harus dibayar oleh pemerintah setiap tahunnya karena mengingat pembayaran untuk sisa kelebihan tanah itu seharusnya tidak boleh dicil, apalagi melihat pembayaran yang pertama telah lewat lebih dari dua puluh tahun. Nasib Sebesi ini tergantung dari masyarakat dan pemerintah pada khususnya. Hasil pemilihan kepada desa yang akan dilakukan tahun ini, secara tidak langsung juga menentukan nasib masyarakat Sebesi. Jika yang terpilih nantinya adalah orang-orang yang berpihak pada Hasan, maka pembabatan dan pemetikan kelapa milik warga akan terus berlanjut. Namun orang yang terpilih nantinya adalah pihak yang kontra dengan Hasan maka tidak menutup kemungkinan peristiwa di Pesanggrahan akan terjadi kembali. “Itu artinya pemerintah harus lebih memperhatikan nasib masyarakat di Sebesi, dan menyelsaikan sengketa ini. Karena bila pemerintah tidak dengan cepat menyelesaikannya, masalah ini akan terus berlanjut selamanya,” ujar Noor Alam. Hasan pun mengakuinya. Namun menurutnya, masalah ini tidak ada hubungannya dengan dirinya. “Masalah Sebesi adalah masalah pihak kami (ahli waris) dengan pemerintah. Bila pemerintah mau mengambil kelebihan tanah di pulau itu silahkan saja, tapi ganti rugi dulu kepada kami dengan harga yang sesuai”. Rupanya segala surat-surat keputusan yang dikeluarkan dan berbagai pertemuan antara Hasan dengan pemerintah tidak pernah menemukan titik temu. Maka masyarakat yang menjadi imbas pun tidak akan menemukan kedamaian di Sebesi. Nb: Tulisan Ini dimuat di Majalah Teknokra esisi 208