Friday, September 01, 2006

Masih Ada(kah) Hukum di Sebesi

Yudi Nopriansyah Laporan: Riska Meitania Setelah akhirnya dibuktikan oleh beberapa bundel, serta undang-undang yang ada, lalu milik siapakah Sebesi dan Seboekoe?Tiga bundel dokumen berbahasa Belanda dan dua bundel Surat Keputusan Mahkamah Agung ditunjukkan Hasanudin kepada Teknokra. “Ini bukti bahwa secara sah, pulau Sebesi telah dibeli Haji Djamaloedin dari Pangeran Minak Putra,” ujar Hasan. Hasan mengklaim sebagai pemilik sah pulau Sebesi dan Seboekoe. Sudah lebih dari dua jam Hasan bercerita tentang pulaunya itu. Tiba akhirnya ia memperbolehkan Teknokra untuk mengcopi seluruh bundel yang ia tunjukkan. Dokumen tua yang sudah menguning itu seukuran kertas folio, lima lembar halamannya sudah lusuh dan kusam. Namun, dalam dokumen tersebut dilampirkan halaman terjemahan yang dibuat oleh, Abdoel Rahim wnd Demang District dan onderafdeeling warga Kalianda, 3 Januari 1923. Kertas terjemahan pun hampir sama kusamnya. Dalam dokumen itu dijelaskan kalau Haji Djamaloedin telah membeli Pulau Sebesi dan Seboekoe dari Pangeran Minak Poetra pada tanggal 3 Maret 1896. Dokumen itu juga menjelaskan bahwa Haji Djamaloedin harus membayar pajak sesuai dengan undang-undang kehasilan alam tahun 1900 yang tertulis f. 1551,80. (satoe ribu lima ratoes lima poeloeh satoe roepiah delapan poeloeh cent). Hasan menunjukkan satu bundel dukumen surat perjanjian (overeemkomst) dengan cap pemerintahan Hindia Belanda A.E Prosse T.V. Notaris Batavia. Isinya adalah meminta izin menanam pohon kelapa di Pulau Sebesi dan Seboekoe kepada pemilik pulau yaitu The Tian Tjay kakak tertua Hasan sebagai ahli waris dari Mohammad Saleh Ali bin Hadji Djamaloedin. Lebih dari seratus surat perjanjian terdokuntasikan dalam bundel tersebut, dari rentang waktu 1933 sampai 1941. Dalam surat perjanjian tercantum bahwa penanam atau pengolah kebun harus membagi setegah hasil panen dari tanaman kelapa yang ditanam. Sedangkan bagi yang berladang membagi satu perlima bagian dari hasil berladangnya. Meski sebenarnya tak berlaku lagi, dokumen-dokumen itulah yang menjadi bukti turun-temurun keluarga besar Hasan untuk mengklaim Pulau Sebesi dan Seboekoe sebagai warisan Haji Djamaloedin. Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria bab dua pasal 17 yang melahirkan Perpu Nomor 5 tahun1963 tentang surat hutang LANDREFORM, dan Diktum pada pasal 18 yang mencabut kepemilikan tanah dengan memberi ganti kerugian sampai sekarang belum diterima pihak Hasan. “Inilah mengapa kami masih berhak mengambil hak bagi hasil kepada pengolah kebun di pulau, sesuai dengan surat perjanjian tahun 1933,” ucap Hasan. *** Sebagian warga Sebesi tidak paham akan kasus kepemilikan tanah di Pulau Sebesi, bahkan mereka kebinggungan akan dasar hukum yang berlaku. Padahal dalam Abstraksi undang-undang itu juga dijelaskan, ada empat faktor penting dalam melaksanakan Landreform, yaitu kesadaran dan kemauan elit politik, organisasi petani yang kuat, ketersediaan data yang lengkap, serta dukungan anggaran yang memadai. Menurut Staf Badan Pertanahan Nasional (BPN) Isprihadi, Badan Pertanahan Nasional (BPN) pernah menurunkan timnya pada 2003 untuk meregistrasi kepemilikan tanah di pulau Sebesi. Sebagai kepala pengukuran retribusi Pulau Sebesi, ia mengatakan bahwa terdapat kurang lebih 139 warga yang mendaftar ke BPN untuk di retribusi. “Mereka dikenakan uang panjer Rp280 ribu per hektar untuk pengukuran tanahnya. Seharusnya masyarakat disana mendaftar semua untuk diukur tanahnya”. “Dasar hukum retribusi itu berupa Surat Keputusan, namun belum di tandatanggani oleh Bupati Lampung Selatan,” lanjutnya. Menurut Isprihadi hal inilah yang kemudian menjadi dasar hukum untuk warga, sehingga terjadi konflik dengan tuan tanah Hasanudin (Baca: Sengketa yang tiada henti). Kepala Desa Tejang Pulau Sebesi Noor Alam sendiri mengaku kalau permasalahan ini sudah sering dicari penyelesaiannya. Bahkan menurutnya Bupati sendiri pernah berjanji akan memasukan ganti rugi atas tanah kelebihan milik Hasan tersebut kedalam RAPBN 2005. “Kami seperti dibuai,” ujar Noor Alam. Isprohadi mengatakan dalam retribusi tanah tersebut seharusnya tidak sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Namun, masyarakat dalam hal ini juga ikut menanggungnya karena mereka adalah penghuni tanah tersebut. Dalam aturannya, masyarakat penghuni tanah Pulau Sebesi seharusnya membayar tanahnya untuk diukur kemudian juga membayar uang ganti rugi kelebihan tanah milik Hasan yang dipakai olehnya sebagai bentuk pembauatan sertifikasi kepada aparat pemerintah. Namun pada kenyataannya masyarakat hanya mau membayar untuk pengukuran tanahnya saja. “Makanya ketika Hasan bertanya kepada pemerintah, pemerintah selalu menjawab peretribusiannya belum selesai karena masyarakat sendiri tdak mau membayar,” seru Isprihadi. “Seharusnya masyarakat yang tinggal di Pulau Sebesi membayar uang retribusi kepada pemerintah, dalam hal ini kepada aparat pemerintah seperti Sekdes dan Kades,” lanjutnya. Beberapa kali Isprihadi mengaku pihaknya telah memberikan penyuluhan kepada warga akan retribusi dan kewajiban mereka untuk membayar uang retribusi namun mereka tetap tidak menggubrisnya dan tidak ada yang membayar. Kini masalah itu menjadi bertambah pelik karena Hasan selaku pemilik tanah menuntut kepada pemerintah untuk segera membayar sisa kelebihan tanah yang dimilikinya. Harga yang dibayar nantinya pun harus sesuai dengan harga saat ini yang berlaku, tidka lagi seperti pada tahun 1982. Alasan Hasan, karena harga tersebut sudah tidak sesuai lagi saat ini. Selain itu juga ditambah dengan bunga yang harus dibayar oleh pemerintah setiap tahunnya karena mengingat pembayaran untuk sisa kelebihan tanah itu seharusnya tidak boleh dicil, apalagi melihat pembayaran yang pertama telah lewat lebih dari dua puluh tahun. Nasib Sebesi ini tergantung dari masyarakat dan pemerintah pada khususnya. Hasil pemilihan kepada desa yang akan dilakukan tahun ini, secara tidak langsung juga menentukan nasib masyarakat Sebesi. Jika yang terpilih nantinya adalah orang-orang yang berpihak pada Hasan, maka pembabatan dan pemetikan kelapa milik warga akan terus berlanjut. Namun orang yang terpilih nantinya adalah pihak yang kontra dengan Hasan maka tidak menutup kemungkinan peristiwa di Pesanggrahan akan terjadi kembali. “Itu artinya pemerintah harus lebih memperhatikan nasib masyarakat di Sebesi, dan menyelsaikan sengketa ini. Karena bila pemerintah tidak dengan cepat menyelesaikannya, masalah ini akan terus berlanjut selamanya,” ujar Noor Alam. Hasan pun mengakuinya. Namun menurutnya, masalah ini tidak ada hubungannya dengan dirinya. “Masalah Sebesi adalah masalah pihak kami (ahli waris) dengan pemerintah. Bila pemerintah mau mengambil kelebihan tanah di pulau itu silahkan saja, tapi ganti rugi dulu kepada kami dengan harga yang sesuai”. Rupanya segala surat-surat keputusan yang dikeluarkan dan berbagai pertemuan antara Hasan dengan pemerintah tidak pernah menemukan titik temu. Maka masyarakat yang menjadi imbas pun tidak akan menemukan kedamaian di Sebesi. Nb: Tulisan Ini dimuat di Majalah Teknokra esisi 208

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home