Thursday, May 25, 2006

Jurnalisme Sastrawi dalam perbincangan

Jurnalisme Sastrawi dalam perbincangan Oleh: Yudi Nopriansyah Jurnalisme dan Sastrawi adalah sebuah disiplin ilmu yang sangat bertolak belakang, ibarat pria—wanita—bumi—langit,” ucap Budi Setiono. “Dalam Sastra ada sebuah misteri dibalik teks, sedang dalam Jurnalisme ada fakta yang disajikan blak-blakkan,” Tambah Iswadi Pratama. Juwendra Asdiansyah: “jika istilah sastrawi dapat menimbulkan debat kusir yang mendalam, tidak perlu buku ini dinamai Jurnalisme Sastrawi. Saya lebih senang dengan istilah Jurnalisme Narasi!...” Jangan bingung, mereka tidak sedang berdebat tentang apa itu ‘Jurnalisme’ dan apa itu ‘Sastrawi’. Mereka sedang membedah buku “antologi jurnalisme sastrawi.” Sebuah buku yang memuat delapan liputan pristiwa, diterbitkan yayasan pantau. Acaranya digelar di gedung D Fisip Universitas Lampung (Unila) oleh LPM Republica, sebuah organisasi penerbitan mahasiswa tingkat fakultas di Fisip Unila. Banyak pertanyaan dari 40 peserta diskusi yang seminggu sebelumnya telah dibekali buku Jurnalisme sastrawi, mereka merespon pemaparan empat panelis yang dipanel: Budi Setiono (Editor Buku Jurnalisme Sastrawi), Iswadi Pratama (Sastrawan Lampung), Juwendra Asdiansyah (Wartawan Seputar Indonesia) dan Rahmat Sudirman (Redaktur Minggu Lampung Post), mewakili Pemimpin Redaksinya. “Jurnalisme sastrawi” adalah genre dalam jurnalisme dimana reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolfe, wartawan-cum-novelis, pada 1960-an memperkenalkan genre ini dengan nama "new journalism" (jurnalisme baru). papar Budi Setiono yang kerap di pangil Buset. Lebih jauh Buset menanggapi pertanyaan, “Apanya yang baru?” dalam kunjungannya di Teknokra, dia bercerita: pada 1973, Wolfe dan EW Johnson menerbitkan antologi dengan judul The New Journalism. Mereka memasukkan narasi-narasi terkemuka zaman itu. Antara lain dari Hunter S. Thompson, Joan Didion, Truman Capote, Jimmy Breslin, dan Wolfe sendiri. Wolfe dan Johnson menulis kata pengantar. Mereka bilang genre ini berbeda dari reportase sehari-hari karena dalam bertutur ia menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), serta penuh dengan detail. Wawancara bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan bisa ratusan, narasumber. Risetnya tidak main-main. Waktu bekerjanya juga tidak seminggu atau dua. Tapi bisa berbulan-bulan. Ceritanya juga kebanyakan tentang orang biasa. Bukan orang terkenal. *** Kini giliran Iswadi Pratama yang seorang sastrawan membedah buku ini, modurator memintanya membedah dari sudut sastra. Menurutnya buku ini sangat penting apalagi di era sekarang. Ketika arus informasi begitu deras, bahasa cendrung kehilangan makna, manusia tergulung oleh informasi dalam kemasannya yang instan. Orang membaca berita, namun tidak bisa memaknai, mereka tergulung dalam isu media masa. “Tidak ada pupuk untuk budaya baca dan budaya tulis” ucapnya. Iswadi juga memuji kepiawaian delapan penulis dalam buku ini, begitu banyak fakta yang dikemas dengan indah dalam setiap laporan. Jika dalam jurnalisme ada ‘Jurnalisme Sastara’ maka dalam sastara berkembang ‘Sastra Jurnalistik,’ sebuah karya sastra yang lahir dari realitas dan fakta dengan set atau penokohan yang mengasumsikan dan penuh interpertasi. “Perlu diingat banyak sasterwan besar dunia yang juga wartawan” tambahnya. Begitu gamblang pemaparan sastrawan Lampung ini, banyak peserta yang tertawa ketika sesekali dia melucu. Ada sederet garis hitam lebam dibawah kelopak matanya, pagi itu pukul 06.00 wib, iswadi baru pulang ke Lampung setelah delapan hari berada di Australia membaca puisi di beberapa universitas disana. *** Jika di Amerika majalah mingguan The New Yorker yang lahir pada 1975 disebut-sebut sebagai pelopor gedre ini, maka di Indonesia majalah pantau pada 2001 baru mengenalkanya. Ini diakui Buset sebagai salah satu pendiri majalah bulanan itu, “pantau mengadopsi habis gaya dan bentuk majalah The New Yorker” ucapnya. Lalu mengapa gendre ini tidak hidup di Indonesia? Apakah jurnalisme sastrawi tidak berkembang karena pasarnya kecil? Apakah mereka ompong karena zaman rezim Presiden Soeharto belum memungkinkan gaya begitu? Juwendra Asdiansyah hanya berasumsi: karena tak ada media yang mau menyediakan tempat, uang, dan waktu untuk naskah panjang. Banyak wartawan menjadi mesin pencetak berita, wartawan tidak lagi menulis berita dengan bobot dan nilai berita besar, mereka dikejar deadline dan target perusahaan tempatnya berkerja. Bersambung Bro…

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home