Kepala Kelinci Berdasi Masuk Indonesia
Oleh: Yudi Nopriansyah
Motivasi dibalik pembelian franchise majalah Playboy.
Ketika tahun lalu kelompok gramedia membeli franchise majalah National Geographic (NG), segala bentuk liputan dan bahasan di majalah NG Indonesia tidak terlepas dari isi majalah induknya yang sudah berdiri dari tahun 1888 di Washington, D. C. Bahkan dibawah bok redaksi NG Indonesia, dicantumkan pula bok redaksi induknya. Tantyo Bangun pemimpin redaksi NG indonesia, sadar bahwa membeli franchise sebuah majalah asing, tidak hanya membeli brand tapi juga tata cara beroprasi, baik secara penyajian, bisnis, pemasaran, dan bahkan secara keseluruhan “corporate Culture”. Sama halnya dengan rumahmakan cepat saji KFC atau McDonald’s, meski mereka membuat inovasi lokal seperti McSate atau McRendang mereka tidak bisa lepas dari citra dan corporate culture restoran induknya di Amerika. Karna standard operating procedure (SOP) inilah yang dapat memikat pasar, sehingga bisnis franchise bisa men-dunia.
Namun di Indonesia kepentingan bisnis jauh di atas kepentingan masyarakat dan negara, Ketika masyarakat sedang ribut menafsirkan pornografi dan pornoaksi yang akan di undangkan, sosok gadis muda Andara Early yang presenter televisi tampil di sampul muka majalah Playboy (PB) Indonesia edisi perdana april lalu. "Always Happy Early" judulnya: Andara berlagak dalam samar kemerahan, mengenakan baju tidur memegang bolam yang entah apa maknanya, tapi tidak telanjang bulat sebagaimana lazimnya sampul majalah PB. Di halaman mukanya, jendela berita menuliskan sederet artikel isi dari majalah, antara lain wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, esai karya Agus Sopian dan Linda Christanty dari Yayasan Pantau. Mungkin para redaktur majalah playboy Indonesia inggin menjelaskan inilah majalah playboy ala indonesia yang tidak telanjang. Mereka menyajikan liputan mendalam bergaya majalah pantau dan foto model setengah telanjang bergaya tabloid kuning seperti Popular, lipstik, dan lain sebagainya yang di jual tersembunyi di kios pinggir jalan. Tulisan Agus Sopian dan Linda Christanty di selang dengan foto model setengah bugil. Pemimpin redaksi Erwin Arnada, dalam editorialnya menulis "The power of visual will shakes our mind. But, words will make you live."
Pertanyaan sederhana, apakah kepala kelinci datang hanya untuk berbisnis? Tidak adakah muatan politik idiologis dari si-penjual franchise? Tidak mudah menjawabnya dengan hanya perangkat hukum positif dan semangat bisnis, pendekatan historis dan ilmiah perlu di sampaikan dalam wacana ini. Sehingga playboy Indonesia tidak hanya menjadi “Bara dalam Api” ditengah polemik pembahasan Rancangan Undang-undang Pornografi dan fornoaksi yang sedang dibahas.
Hugh Hefner dan Playboy
Majalah Playboy pastinya sudah tak asing lagi bagi sebagian orang apalagi kaum laki-laki. Majalah yang telah beredar resmi di 28 negara ini digawangi Hugh Hefner. Copywriter pertama majalah playboy pada desember 1953, Hefner menampilkan foto telanjang seorang wanita yang sebelumnya tidak terkenal Marlyn Monroe berjudul “Sweetheart of the Month.” Dia sangat tidak yakin akan ada edisi kedua, hingga ia tidak mencantumkan tanggal pada sampul, Namun rupanya palyboy direspon oleh pasar Amerika bersama dengan datangnya pil kontrasepsi pada tahun 1960, dengan ikon kepala kelinci, palyboy memainkan sebuah peranan penting dalam transformasi masyarakat barat. Dalam pesta ulang tahunnya yang ke-80 april lalu Hafner berkelakar “tiga karya besar peradaban adalah: Api, Roda dan Playboy, tak seorangpun melakukan sex sebelum playboy.” Katanya tertawa dalam wawancara dengan Agence France Presse (AFP). Dengan menyebarkan idiologi playboy kebanyak negara di seluruh dunia, menjadikan Hafner salah satu dari orang yang paling dikenal—sekaligus paling dikritik sebagai tokoh abad 20.
Dengan memampang foto-foto bugil wanita seluruh dunia, mulai dari selebriti sampai model pendatang baru di majalahnya Hafner bisa dibilang sukses. Bahkan Tiara Lestari, model asal Indonesia pernah terpampang bugil di sampul majalah Playboy Spanyol edisi Agustus 2005. Sebelumnya tidak banyak orang yang mengenal Tiara sebelum aksi telanjangnya di majalah playboy. Walau di dunia maya sendiri, nama Tiara Lestari atau Amara ini memang sudah tidak asing. Jika kita mengetik namanya di mesin pencari google, maka ratusan artikel dan situs yang memajang foto Tiara yang maaf tanpa busana akan bergantian bermunculan. Playboy sendiri menetapkan jika model yang tidak memakai baju—celana hanya sepatu, maka sang model di anggap masih berbusana. Sensasi inilah yang kemudian di pakai playboy untuk dapat mendongkrak populeritas perempuan seperti Marilyn Monroe dan Tiara Lestari menjadi buah bibir tayangan infotaiment. Bagi para model playboy sendiri mungkin inilah tangga tercepat menuju dunia selebritas.
1 Comments:
Nice article. Thanks.
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home