Tuesday, November 15, 2011

My Web-Blog

Akhirnya setelah kehilangan blog ini lebih dari empat tahun, saya berhasil masuk dalam akun blog ini. 4 tahun tidak terurus web-blog ini penuh sarang laba-laba kotor berdebu. Tapi alhamdullilah ya, sesuatu banget deh. Bisa menjadi bloger lagi. Salam Jumpa kawan-kawan... Mohon bimbingannya menjadi bloger.

Saturday, November 18, 2006

Vagina Monolog

Penulis: Merlyn Sopjan Cetakan 1, 2006 Ukuran: 125 x 185 mm;Tebal: 124 hal ISBN: 979-24-9952-0 Harga: Rp. 18.000,- Pada tahun 1996, Eve Ensler menulis naskah teater berjudul Vagina Monologues. Naskah itu ditulis Ensler setelah mewawancarai sekitar 200 wanita. Respondennya dari bocah kencur hingga wanita sepuh, berbagai profesi serta etnis. Semula, di Amerika Serikat naskah ini nyaris tak bisa dipentaskan karena judulnya yang mengundang perasaan risi. Stasiun radio, misalnya, menolak mengudarakan iklan pertunjukan karena judul ini dianggap porno. Namun, Ensler maju terus dan menolak mengganti titel seperti yang disarankan teman-temannya. Begitu ia berhasil menggelar pertunjukan perdana, bisik-bisik si vagina ini tak lagi bisa dibendung. Terlebih, bintang-bintang tenar Hollywood seperti Meryl Streep, Glenn Close, dan Winona Ryder berbondong ingin berpartisipasi. Tahun 2002, di Jakarta naskah ini penah di pentaskan oleh Jajang C. Noer. Pemerannya juga artis terkenal macam Ayu Azhari, Sarah Azhari, Ria Irawan, dan Cindy Fatikasari. Dalam naskah, ada dialog mengelitik: “Jika vaginamu berdandan. Apa yang ia pakai?’ Perempuan pertama menjawab ia akan mengenakan sarung sutra, yang kedua bilang kaus oblong, dan yang berikutnya memekikkan nama Oscar Lawalata. Sontak ketawa penonton terdengar. Oscar Lawalata terlahir sebagai pria, dia terkenal sebagai desainer muda berbakat yang lebih dikenal karena penampilannya yang kemayu dan feminin. Oscar tidak oprasi payudara dan tidak menganti kelamin. Namun di luar penampilannya, ada rahasia yang terbungkus penuh tanda tanya. *** Majalah Tempo edisi kemerdekaan 2006, menulis laporan dengan judul “yang terperangkap dalam tubuh,” mengisahkan Meggie Megawati dan Shuniyya. Meggie (29 tahun), berganti kelamin di Rumah Sakit Yanhee International, Bangkok, Thailand. Dadanya membusung dengan silikon di sebuah klinik di Singapura. Untuk itu Meggie mengeluarkan dana sekitar Rp 130 juta. Memang setelah itu Egi Sugiharto nama lahir Meggie, terlihat sangat perempuan. Wajahnya lembut, tak berjakun, gaya bicaranya kemayu. Tubuhnya semampai dengan pinggul menonjol padat. Ia melewati hari-hari di lingkungannya dengan mengikuti berbagai kegiatan sosial, antara lain arisan dan pengajian ibu-ibu. Tidak ada yang tahu kalau dia seorang waria. Hingga suatu hari ia ikut kontes Putri Waria. Meggie terpilih sebagai Juara Pertama. Wajah dan namanya terpampang di sejumlah media massa. Lingkungan di sekitar rumahnya, terutama ibu-ibu pengajian dan arisan, gempar. Lain lagi cerita Shuniyya Ruhama Habiiballah. Alumnus Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini, memilih sebagai perempuan transeksual sejak remaja. Semasa SMA, Shuniyya sudah mengenakan jilbab. Ia ditentang sebagian umat Islam, ia dianggap telah menghina Islam. Suatu hari ia dihampiri sekelompok orang, pria dan wanita. Mereka melontarkan kata-kata tajam, yang menurut Shuniyya, merupakan penghinaan yang sangat memilukan. Ia dibilang menyalahi kodrat, hanya menuruti hawa nafsu. Mereka berteriak, ”Lepaskan kerudungmu. Kamu telah melecehkan kaum muslimah!” Dua orang di antaranya lalu mendekat seraya menarik kerudung Shuniyya. Pernah juga Shuniyya ikut salat berjamaah. Ia masuk barisan perempuan, tapi teman-teman perempuannya menolak keras. Mereka berpandangan. ”Salatnya akan batal bila bersentuhan dengan tubuhku.” Kenang Suniyya. Ia gamang menghadapi kecamuk yang berkerumuk dalam dirinya. ”Saya ini ibarat sosok berjiwa perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki.” Keluh Shuniyya. Benarkah? *** Kisah perempuan tanpa kelamin, bagi sebagian orang memang menjadi cerita lucu. Namun banyak yang menilai tragis. Sebuah perjalanan panjang nan melelahkan ketika waria mencari eksistensi ditengah masyarakat. Bingkai bahwa bahwa tuhan menciptakan manusia berpasangan pria dan wanita, di amini semua agama wahyu sejak terbentuknya bumi. Adalah Merlyn Sopjan, sosok intelektual waria yang memperjuangkan eksistensi waria melalui buku. “Perempuan Tanpa Vagina.” Buku ini merupakan buku keduanya setelah “Jangan Lihat Kelaminku : Suara Hati Seorang Waria” yang diterbitkan tahun 2005. Selain aktif menulis buku, lulusan Universitas Teknologi Surabaya ini juga bekerja di sebuah RS DR Syaiful Anwar Malang sebagai case manager HIV/Aids. Merlyn juga menjabat sebagai ketua Ikatan Waria di Malang. Disana dia pernah mencalonkan diri menjadi Walikota Malang yang berbuah kontroversi. Beberapa prestasi telah berhasil diraih Merlyn dalam kontes waria dan sebagai pemenang Putri Waria Indonesia 2006, Merlyn akan mewakili Indonesia dalam kontes waria internasional Miss Tiffany, International Queen, di Bangkok Oktober tahun ini. Dengan gelar yang disandangnya, Merlyn berharap bisa berbuat sesuatu yang berarti untuk kaum waria. Namun seperti vagina monologues yang mengugat kekejaman dan kekerasan terhadap perempuan. Maka Perempuan Tanpa Vagina, Merlyn Sopjan: mengugat diskriminasi terhadap waria.

Wednesday, November 15, 2006

Lebaran, Kawan Menikah dan Umur bertambah

Tahun-tahun sebelum tahun ini, Lebaran menurutku adalah hari dimana, ada ketupat dan pindang tulang yang dimasak dengan versi besar di kuali, tidak lupa gemblong goreng plus rendang daging. Itu biasanya yang dicari tetanga dan sanak family di rumah ku dikampung daerah Suban Lampung Selatan. Hari pertama dan kedua lebaran, ngak ada tempat buat kawanku yang berkunjung kerumah, kecuali di bawah pohon asem halaman belakang. Semua ruangan di rumah yang lumayan luas itu milik tetangga, kerabat dan saudara-saudara yang bergantian menghabiskan makanan dirumah. Maklum Emak seneng kalau masakannya di puji, dan Ebak adalah orang tua gaul yang punya teman hampir satu kecamatan. Karna itu biasanya jarang ada kawan yang datang kerumah dihari pertama dan kedua, namun lebaran tahun ini saya tidak lagi bertugas mencuci piring-gelas, alasannya dua orang tetangga, dengan sukarela membantu mengerjakannya.Walhasil saya jadi tuan rumah yang baik menemani tamu yang datang, satu hal yang membuat saya sangat senang adalah Handphon tak berhenti di kirimi Short Massagge Servise (SMS) ucapan selamat Lebaran. Surprise buat saya. SMS ucapan Lebaran dua hari sebelum dan dua hari sesudah total berjumlah 140-an SMS. Tentu HP tua saya (nokia 3210), tidak bisa menampung jumlah sebanyak itu. kapasitas penyimpanannya hanya 30 SMS. Walhasil, untuk menampung pesan yang terus berdatangan saya pinjam HP emak yang bisa menampung 100 SMS. Semua ucapan itu saya tulis ulang dalam 32 halaman buku catatan saya. Saya tidak mau menghapus ucapan selamat lebaran ini, karna saya tertarik dengan redaksional ucapan yang dipakai. Begitu puitis dan indah permohonan maaf di hari raya ini. Shemone yang berkerja di Kupang mengirim SMS: “Tiada kata Seindah Maaf” tulisnya. Kawan Sunda saya mengirim ucapan berbahasa Sunda, sedangkan yang beretnis Jawa meminta maaf dengan bahasa Jawa. Zeky kawan di Papua, meminta balasan dengan bahasa lampung. Ini kali pertama buat saya memperoleh ucapan Lebaran sebanyak itu, mungkin hanya tahun ini tahun dimana saya menjadi Pemimpin Umum UKPM Teknokra lembaga dimana saya dipertemukan dengan orang-orang yang dengan iklas menyisihkan pulsanya untuk mengucapkan “Selamat Idul Fitri 1427 H, Minal Aidhin walfa Idhin, Mohon Maaf Lahir dan Batin”. Ini merupakan kehormatan buat saya karna 140 orang telah memaafkan kesalahan saya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja lewat SMS. *** Satu minggu setelah Lebaran 29/10, saya berada di kerumunan alumni SMA 5 Way Halim. Sekolah yang mengukir dua tahun kisah remaja putih abu-abu saya, karna bukan di SMU itu saya lulus. Namun kenangan dari pacar pertama sampai sahabat setia saya peroleh dalam dua tahun disana. Diacara reuni itu, angkatan pertama (1987) sampai angkatan paling anyar 2006 datang bersilaturahmi. Begitu banyak kenangan disana. Dari penjaga sekolah, guru killer, tempat kumpul di sela jam istirahat, sampai kawan lama sengakatan, cukup membuat saya cengar-cenggir sendiri seperti orang gila. Dalam obrolan dengan kawan-kawan se-angkatan (1999) saya banyak memperoleh informasi bahwa banyak kawan yang sudah menikah dan punya anak. Dua orang cewek yang saya kenal datang dengan perut buncit hamil lima bulan. Belum lagi dengar informasi bahwa kawan dekat saya sekarang sudah ada yang punya dua anak. Saya sendiri datang dengan dua orang sahabat, Abramham dan Ade Yugustiawan, Abram sudah menikah 6 bulan lalu, sedangkan Ade, sedang mempersiapkan pernikahannya yang tinggal seminggu lagi (5 November). Pulang dari acara reuni, selain cengar-cenggir rupanya saya melamun, bukan hanya karna kawan banyak yang sudah banyak yang menikah melainkan karna status yang masih mahasiswa ini. Lalu tanggal 5 November reuni kembali berlangsung di pernikahan Ade Yugustiawan sahabat saya. Disana saya lebih banyak bertemu kawan dekat, dan hampir semuanya berstatus sudah menikah. Obrolan mereka tak jauh dari jamu kuat, dari belut sawah sampai kuku bima menjadi bahan untuk memojokan. Walhasil prihal menikah ini, menjadi tema lamunan saya beberapa hari terakhir. Tiba akhirnya umur genap seperempat abad pada 8 November 2006. Tak banyak yang bisa saya ceritakan di umur setua ini. Ucapan ulang tahun pertama adalah dari adik kandung saya Astriana. Dia kirim SMS bertulis “Met Ulatah ya Duy, semoga sukses dan selalu dalam ridho Allah. Tetap jadi Iduy karna kamu kakak koe”. SMS berikutnya emak dikampung menulis “Met Ultah ya Nop, jaga kesehatan dan jangan kebanyakan begadang..he..he..”. Tentu saja he..he.. nya emak di SMS dapat komentar dari Rieke kawan di Teknokra yang membaca SMS itu. Menyusul 12 SMS dari kawan dekat. Lain lagi kawan saya Ade (pengantin baru), dia menanggung biaya makan beberapa teman yang inggin merayakan ulang tahun saya di rumah makan Raja Kuring. Di Teknokra tanggal 8 malam, Anastasia bilang anak mangang di ganggu anak Mapala di kamar mandi. Saya keluar melihat, ternyata akting Anas sukses, diluar kru Teknokra sudah siap dengan ember berisi air untuk menyiram saya. Dan genap sudah kebahagian saya di bulan Syawal ini: banyak teman, Kawan menikah dan masih dikaruniai kehidupan di umur yang seperempat abad ini.

Tuesday, October 10, 2006

Siaran Press

Tragedi UBL Harus Diungkap BANDAR LAMPUNG (Lampost): Peserta Diskusi Mengenang Tragedi UBL Berdarah 28 September 1999, Senin (9-10), di ruang Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Unila, Teknokra, sepakat bahwa lembaga pers harus mengungkap kembali kasus itu ke publik. Sebab, selama tujuh tahun mengendap, upaya keadilan hukum terhadap tragedi 28 September 1999 dalam demonstrasi penolakan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PBK) belum juga tertangani. Dua mahasiswa tewas dalam tragedi tersebut, yaitu seorang aktivis pers mahasiswa, Saidatul Fitria dan aktivis mahasiswa Unila, M. Yusuf Rizal. Diskusi yang digelar Pusat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) UKPM Teknokra Unila itu untuk memeringati tujuh tahun meninggalnya Saidatul dan Yusuf. Saidatul meninggal dengan luka di kepala akibat dipukul popor senjata aparat keamanan. Saat itu, Saidatul yang juga fotografer Teknokra sedang mengabadikan momen demonstrasi itu. Sedangkan Yusuf meninggal setelah peluru petugas menembus pundaknya. Pimpinan Redaksi Lampung Post Ade Alawi menegaskan kasus pelanggaran HAM, kapan pun dapat diungkap karena tidak terbatas waktu. Menurut dia, Teknokra dan lembaga lain dapat segera menulis kronologi peristiwa yang diperkuat keterangan saksi dan dilengkapi foto. Bukti tersebut dapat disampaikan ke Komnas HAM. Usulan lain, menurut Ade, kasus itu dapat dibawa ke Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ade mengatakan komisi yang telah berumur dua tahun itu menyelesaikan kasus dengan jalan rekonsiliasi, sebuah pengakuan bersalah dari pelaku kepada publik, lalu pelaku dapat dibebaskan. Pakar hukum Unila Wahyu Sasongko menyatakan keberingasan aparat saat itu menunjukkan rezim lama masih enggan melepas kekuasaan. Mereka belum siap menghadapi euforia reformasi yang ditandai meningkatnya desakan demokratisasi. Militer masih menjadi simbol represif. Setelah tragedi itu, pihaknya membentuk tim pencari fakta bersama LBH Bandar Lampung, tapi kemudian banyak juga terbentuk tim lain. Kekuatan pun terpecah, setiap tim membawa kepentingan sendiri, sehingga banyak versi dalam proses pengungkapan, yang membingungkan. Pengungkapan kasus hanya bergulir lewat pergulatan pendapat hukum, melalui media. Akhirnya, mengendap seiring waktu. Selanjutnya, kini tidak ada kelompok yang tetap concern terhadap kasus itu. "Seharusnya ada kelompok yang tetap mengkaji kasus itu, hingga memperjuangkannya agar sampai Komnas HAM. Seperti kasus Talangsari Lampung Februari 1989,"kata Wahyu. Pihaknya, mengaku data-data yang berhasil dikumpulkan timnya dulu, kini tidak terarsip dengan baik, ada beberapa yang dipinjam tidak kembali. Menurut dia ada kesulitan dalam pengungkapa kasus, yaitu masuk ke hukum pidana atau peradilan militer. Kedua, tidak ada kejelasan kronologis, menurut catatan medical review Atul meninggal karena benda tumpul. Banyak persepsi di sini, apakah benda tumpul itu popor senjata, atau lainnya. Pada kasus Ijal, dia tertembak hingga menembus pundaknya, sementara di sekitar korban banyak ditemukan proyektil aparat. "Peluru mana yang telah menembus pundaknya tidak ketahuan. Jika dapat diketahui, kita dapat telusuri siapa pemilik peluru itu,"kata Wahyu. Masalah lain, leg spesialis UU Pers belum diterapkan secara utuh. "Belum ada yurisprudensi kekerasan terhadap wartawan. Ketika sampai ke kepolisian, sulit terapkan sanksi sesuai dengan UU Pers,"ungkapnya.

Saturday, October 07, 2006

Semangat Baru Teknokra

Bagi pengurus Teknokra, mencari generasi penerus bukan main pentingnya. Kami rapat berjam-jam bahkan berhari-hari mencari calon magang Teknokra. Hari sabtu minggu lalu 30/9, pendaftar yang jumlahnya 97 orang harus ikut dalam tes tulis, panitia menyiapkan ruang sidang ekstra besar dan luas di gedung PKM lantai 2. Untuk memfasilitasi orang sebanyak itu, bukan main merepotkan, kami harus menyiapkan lebar soal yang meliputi tes bidang redaksi, usaha, litbang, kesekretariatan dan psikotes. Namun seleksi alam dimulai hari pertama. Dari 97 pendaftar yang datang ikut tes hanya 54 peserta. Wajah-wajah prustasi peserta yang tidak bisa mengerjakan soal tes terlihat jelas di hari pertama. Nilai tes tulis mereka 50% tidak terisi. Harapan kami dalam tes tulis ini, selain menggali potensi peserta, juga bisa mendapat gambaran tentang pengetahuan di bidang penerbitan dan jurnalistik mereka.Di hari berikutnya minggu, dalam tes wawancara kami menggali mentalitas, militansi, loyalitas, dan totalitas di singkat (MILYTOT). Jumlah berkurang menjadi 45 peserta dalam tes ini. Saya mendapat 18 orang untuk di wawancara. Semuanya saya nilai cukup baik, mereka baru lulus SMA tahun 2005 dan 2006. Ada yang dari Medan, Bandung, Jakarta, Padang. Saya hampir lupa dengan draf wawancara, karna tertarik bertanya tentang daerah masing-masing. Ketika saya tanya alasan memilih masuk Teknokra, jawabanya: ada yang di suruh orang tua, ada yang inggin terkenal, inggin menjadi penulis, ingin menjadi penyair, cerpenis. Intinya semua inggin belajar jurnalistik dan belajar menulis. Mereka semua meyakinkan, bahkan ada yang memperlihatkan buku harian dan kumpulan puisi. Saya jadi takut, bisakah Teknokra memenuhi semua keingginan mereka?. Malamnya selepas sholat tarawih jam 10.00, rapat pleno digelar. Kertas-kertas plano hasil tes tertulis, ditempel di dinding dan lemari. Sedangkan Interviewer siap mempresentasikan hasil wawancara tadi siang. Secara acak nama peserta di kocok untuk di bahas satu persatu. Malam itu, rapat pleno selesai jam 04 pagi dan berhasil membahas 9 orang peserta. Rapat di teruskan senin jam 15.oo. Luar bisa melelahkan membahas calon megang ini. Belum lagi di sela-sela itu ada agenda rutin seluruh kru Teknokra untuk jiarah ke makam Alm Saidatul Fitriah, Fotografer Teknokra yang meninggal ketika meliput demontrasi besar mahasiswa bulan September tahun 1999. Hingga akhirnya rapat pleno baru selesai rabu malam 4 oktober. Kami mendapat 30 orang magang dan cukup puas dengan hasil rapat pleno. Kami sangat berharap kepada ke 30 orang ini bisa menjadi generasi penerus Teknokra kedepan. Sementara ini 30 orang ini akan masuk dalam proses magang selama kurang lebih 6 bulan.

Tuesday, October 03, 2006

Surat Terbuka Teknokra, Atas Kekerasan Terhadap Wartawan

Pada hari ini 3 Oktober, yang bertepatan dengan meninggalnya (Alm) Saidatul Fitria, kami Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra, turut berbela sungkawa atas perkembangan pers di tanah air ini. Kepada Yang Terhormat Bapak Presiden Republik Indonesia di Jakarta Dengan Hormat, UKPM Teknokra mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa, semoga Bapak Presiden beserta keluarga selalu dalam lindungan Allah SWT. Pada hari ini 3 Oktober, yang diperingati oleh kami sebagai hari meninggalnya Alm Saidatul Fitria, izinkan kami menyampaikan keprihatinan kami atas perkembangan pers di tanah air. Sebelumnya, izinkan kami menyampaikan sedikit tentang UKPM Teknokra dan tentang meninggalnya Alm Saidatul Fitria. UKPM Teknokra adalah sebuah lembaga pers mahasiswa di lingkungan kampus Universitas Lampung (Unila), 29 tahun lalu tepatnya 1 Maret 1977 para mahasiswa pendiri Teknokra berkumpul untuk mendirikan sebuah lembaga yang nantinya dapat berperan dalam menyajikan informasi yang berguna bagi masyarakat. Dengan semangat itu, kami digodok untuk siap berkerja tanpa dibayar dalam memperoleh berita dan informasi. Namun pada tanggal 28 September 1999, anggota kami yang bernama Saidatul Fitria atau akrab dipanggil Atul (fotografer Teknokra red ), ketika sedang meliput demontrasi besar mahasiswa menolak Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Atul tewas dihantam benda tumpul di kepalanya. Bagi Atul yang seorang wartawan, menyajikan fakta kepada masyarakat tentang penolakan mahasiswa terhadap RUU PKB saat itu adalah sebuah kewajibannya. Tak hanya Atul, seorang mahasiswa FISIP Unila, M. Yusuf Rizal (Ijal) tewas ditembak aparat keamanan yang menghalau aksi demonstrasi. Atul bukanlah masuk dalam barisan Ijal, salah seorang demonstran yang mengalami cheous dengan aparat di depan kampus Universitas Bandar Lampung (UBL) ketika itu. Atul hanya bertugas meliput, guna menyajikan kebenaran peristiwa kepada masyarakat. Ternyata, Ijal sang demonstran dan Atul yang wartawan, dianggap perusuh dan harus disikapi dengan senjata. Atul dikejar di tembaki dan dipukul. Moncong senapan seolah dikendalikan setan, karena tidak jelas siapa yang memicu dan siapa yang memerintah untuk memicu. Hingga memasuki tahun ketujuh ini (1999—2006), kami tidak tahu siapa dibalik tewasnya Atul dan Ijal. Kami menilai tidak ada upaya serius dari pemerintah dalam menelusuri siapa yang bertanggungjawab atas kematian mereka berdua. Bapak Presiden Yang Terhormat, Pada kesempatan ini, tepat di hari meninggalnya Saidatul Fitria, kami menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab atas hilangnya nyawa sahabat kami akibat keberutalan aparat keamanan ketika itu. Sekaligus kami menagih komitmen pemerintah pada semua tingkatan untuk menjamin kemerdekaan pers, dan keselamatan para jurnalis, sekaligus memastikan bahwa kekerasan terhadap wartawan tidak terjadi lagi. Setiap kekerasan terhadap wartawan atau kantor-kantor media dengan alasan apapun, akan merampas hak publik memperoleh informasi dan merusak citra pemerintah. Apalagi setelah kita memiliki UU Pers Nomor 40/1999 dan Konstitusi Pasal 28 F yang memberikan perlindungan penuh kepada wartawan dan terhadap tugas jurnalistiknya. Kami yakin Bapak Presiden mendengar apa yang kami telah sampaikan sejak tujuh tahun ini. Jauh di lubuk hati, kami menginginkan pemerintahan Bapak membela kepentingan masyarakat luas demi cita-cita suatu pemerintahan yang demokratis, menjunjung supremasi hukum, dan melindungi hak asasi manusia untuk hidup. Kami selalu ingat janji kampanye pasangan SBY-JK menjelang Pemilihan Presiden 2004 lalu tentang keinginan menciptakan negara Indonesia yang aman, adil, dan sejahtera. Bapak Presiden, Kami tidak menutup mata, bahwa pers Indonesia masih jauh dari gambaran ideal yang diidamkan masyarakat pers sendiri. Untuk itu kami terus berupaya keras untuk menjalankan etika dan profesionalisme jurnalisme Pers yang bebas dan profesional. Kami juga berjanji akan terus mengawal usaha pemerintah dalam memberantas korupsi dan pengawal upaya pemerintah menegakkan good governance. Terima kasih. Hormat kami, Pemimpin Umum UKPM Teknokra Unila Yudi Nopriansyah

Monday, September 25, 2006

Perlukah Persma Berhimpun Dalam Suatu Wadah?

Tema judul di atas, jelas merujuk dari gugatan terhadap peran Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang ompong dan tidak jelas program kerjanya. Bagaimana tidak sejak berdirinya PPMI tahun 1992 sebagai pengganti IPMI yang mati setelah Kongres V tahun 1980-an, peran PPMI sampai kekarang bisa di bilang ‘enol besar’. Adalah Bengkel Jurnalisme Lampung yang mencoba mempertanyakan itu. Dalam acara diskusi rutin dwi mingguannya, Bengkel Jurnalisme mengundang seluruh persma di Lampung untuk menjawab judul di atas. Acara itu di fasilitasi oleh LPM Radin Intan di gedung BEM IAIN. Saya sendiri di undang menjadi panelis bersama Nur Kholis mantan ketua dewan kota PPMI Lampung. Sayangnya Nur Kholis tidak datang. Untungnya Juwendra Asdiansyah yang merupakan dedengkot Bengkel Jurnalisme hadir dalam diskusi. Juwendra ketika masih aktif di Persma ikut dalam Kongres PPMI di Lombok tahun 2000. Bisa dibilang kongres pada 24—29 Mei itu menjadi kongres terbesar PPMI terakhir. Karna bisa mendatangkan hampir seluruh Persma. Diskusi itu bisa dibilang gagal, karna hanya ada tiga perwakilan Persma (UKPM Teknokra, LPM Radin Intan, LPM Digital Darmajaya). Sisanya adalah peserta sekolah jurnalistik Bengkel Jurnalisme, wartawan pers Umum dan angota BEM IAIN Radin Intan. Panitia kurang serius mempersiapkan acara, terbukti undangan saja baru di sebar sehari sebelum acara. Saya diminta menjadi panelis lewat SMS. Tapi biarlah, semangat Bengkel yang perduli dengan persma itu intinya. Karna bisa dibilang, tidak ada Persma di Lampung yang perduli dengan tema ini. Termasuk lembaga yang saya pimpin (Teknokra). Kami larut dalam buaian suasana kerja di bilik redaksi masing-masing. Saya pribadi, tergugah untuk mencermati “perlukah Perma berhimpun dalam satu wadah?”Untuk itu, saya mengajak kawan-kawan Persma lain ikut menjawabnya. Kiranya, beberapa bahan dibawah ini yang terkait dengan wadah perhimpunan persma di Indonesia, menjadi gambaran untuk kita (Pers Mahasiswa), agar menjawab gugatan Bengkel Jurnalisme. >PIPMI direktori pers mahasiswa Indonesia >PIPMI direktori pers mahasiswa Indonesia