Wednesday, August 18, 2004

Lingkaran Setan’ Itu Bernama Terminal Rajabasa

Oleh Yudi Nopriansyah, Ahmad Wildan Bukan Terminal Rajabasa namanya bila tidak semrawut. Sulit untuk menyebut penyebab terminal ini dikenal rawan. Terutama oleh pendatang yang akan ke Provinsi Lampung. Tingginya tingkat kejahatan, seperti penodongan, pencopetan, pemerasan, dan pernik lain yang mendatangkan uang, mengakibatkan kesan buruk Lampung di luar. Dan untuk menyebut siapa pelakuknya? Tentu tak hanya satu pihak. Banyak yang bermain, seperti sebuah ‘lingkaran setan’ yang tak kunjung habis. Memang salah satu hal yang petut disayangkan dari sekian banyak kekurangan adalah minimnya upaya pengamanan terminal. Nama-nama agen penjual tiket dan PO perwakilan bus juga banyak yang tak terdaftar. Pun di antara penjual tiket resmi dan calo minim perbedaan. Hal ini membuat penumpang kesulitan mengenali mana yang resmi mana yang bukan. Kondisi ini berbuah makin leluasanya para calo untuk mangkal menjual tiket tak resmi—. tanpa ijin pimpinan PO dan pihak keamanan seperti polisi dan Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR). Imbasnya tentu pada penumpang yang ikut enggan bertanya pada petugas atau pos informasi yang disediakan. Dari data Polsek Kedaton, Januari—April 2004 tercatat 13 tindak kriminalitas yang terjadi. Sedang calo sendiri yang tak merasa melanggar aturan semakin menjamur karena merasa tindakannya tidak melanggar hukum dan terkena sanksi. Seperti dituturkan HN yang seharinya mangkal diterminal. Ia menawarkan penumpang tiket ke berbagai jurusan. Dengan alasan membantu memudahkan penumpang, HN yang berbaju rapih dan berkaca mata itu dengan dibantu beberapa temannya, merayu siapa saja yang baru turun dari angkutan umum. Dan jika ada yang bersedia membeli tiket, maka barulah HN menyuruh salah seorang rekannya untuk mengambil tiket di PO jurusan yang dituju penumpang. “Saya tak melanggar peraturan, malah saya berjasa membantu memudahkan penumpang,” tutur HN. Padahal menurut pimpinan perwakilan PO di Terminal, banyak yang merasa praktek percaloan ini malah menciptakan kesemerautan. Di samping image buruk pada masyarakat. “Karena umumnya calo menjual tiket di luar tarif yang ditentukan pemerintah,” ujarnya. Menurut I Putu Eka Suyoso, pihak petugas, siap bersedia membantu penumpang yang bertanya di pos informasi. “Namun tetap saja para penumpang masih bertanya pada orang yang bukan petugas,” tutur Putu. Menanggapi praktek percaloan, Putu menggakui mereka hanya mencari makan diterminal. “Tidak semata-mata menjadi mata pencarian tetap,” katanya. Namun ini tidak terlepas penumpangnya sendiri yang tidak mau ke pos informasi. “Ketakutan penumpang itukan jika mereka menolak membeli pada calo, mereka takut akan diintimidasi,” tambah Putu. Bribka Rahmat yang baru dua bulan menjabat Kepala Polisi Pos Terminal Rajabasa, juga menyayangkan penumpang dan masyarakat yang datang ke terminal tak mengunakan sarana resmi dari pemerintah. Hal inilah yang menurut Rahmat biasanya memicu kejahatan terjadi kepada penumpang. “Karena orang-orang yang menawarkan tiket (calo red), biasanya mencari celah untuk melakukan kejahatan” ungkap Rahmat. Dari pihak pemilik jasa, seperti supir dan pengelola PO bus, merasa masalah yang ada di Rajabasa harusnya jadi tanggung jawab keamanan. Sebab mereka ditertibkan pemegang ‘SK’. Sedangkan pemegang SK adalah orang yang ditunjuk dari perusahaan Bus menjadi pimpinan perwakilan. Saat ditelusuri, pemegang SK ini merupakan orang yang tersohor di terminal dan dianggap mampu menjaga PO perwakilan. Thohir misalnya, Pimpinan perwakilan PO Udayana, Sinar Dempo, Arya Prima untuk Lampung. Menurutnya sejak mulai diresmikan, terminal Rajabasa menjadi terminal Induk Provinsi Lampung 1982, dulunya aman. Tak ada lagi perebutan wilayah seperti tahun sebelumnya, yaitu orang ‘paling kuat’ yang bertahan dan mendapatkan penghasilan di terminal. Thohir juga menyayangkan jika kriminalitas dan kesemerautan di terminal tidak bisa diatasi petugas. Menjadi pimpinan PO perwakilan, aku Thohir memang dirinya dianggap dituakan. Selain dianggap mampu menangulangi masalah yang kelak dialami Bus. Thohir menanggapi budaya lempar korek yang menciptakan ketidakteraturan terminal sekarang. Sebab antara Sopir, yang menyuap petugas, dan penumpang yang malas masuk terminal makin menjadi. Thohir menambahkan penumpang yang naik di luar terminal malah tak terjamin. Menanggapi blundernya Rajabasa, I Putu Eka Suyoso mengaku sedang menata kembali seluruh aparat dan lapisan yang mengatur ketertiban, keamanan, kebersihan di terminal. “Juga mendata seluruh PO di terminal,”terangnya. Sedangakan, Putu menambahkan masalah terjadi di luar terminal bukanlah wewenang pihaknya. “Tugas kami di terminal Rajabasa ini hanya melakukan tugas operasional, dan itu pun di dalam terminal,” jelasnya. Namun dalam pandangan Dosen Sosiologi FISIP Unila, Abdul Syani bahwa kriminalitas di Rajabasa tak akan selesai dengan janji dan disiplin kerja satu pihak saja. “Namun harus ada kesinergian antara pihak pemerintah dan penghuni terminal dari pegawai, kuli, ataupreman sekalipun,” terangnya. []

Tuesday, August 03, 2004

MEDIA DAN KEKUASAAN DALAM MASYARAKAT

(Studi Media dalam Tinjauan Perspektif “Hegemoni” Gramsci) Sesungguhnya cukup banyak alasan untuk menjelaskan bagaimana media massa memiliki keterkaitan erat dengan cara-cara bagaimana kekuasaan dijalankan. Rezim-rezim yang memerintah di dunia, baik liberal maupun komunis, senantiasa memaknai media massa sebagai salah satu hal penting dalam konstruksi kekuasaanya. Sulit rasanya untuk menafsirkan media massa tanpa mengidentifikasi sederet karakteristiknya yang seringkali dipakai untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Media massa bergerak dalam masyarakat yang ditandai oleh adanya penyebaran kekuasaan yang diberikan kepada individu, kelompok, dan kelas sosial secara tidak merata. Media massa dalam beberapa hal berkaitan dengan struktur politik dan ekonomi yang ada. Disisi inilah dapat ditelusuri potensi media berhubungan dengan kekuasaan, disaat media dianggap memiliki konsekwensi ekonomis tempat diperebutkannya kontrol dan akses. Dalam bentuknya yang paling sering dikenali, media kerapkali dianggap sebagai alat kekuasaan yang ampuh dikarenakan kemampuannya mempengaruhi orang lain, baik persepsi maupun tingkah laku. Analisis Permasalahan Bagaimana hubungan media massa, masyarakat, dan kekuasaan dalam perspektif ‘hegemoni’ Gramsci ? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan memperoleh gambaran tentang bagaimana hubungan media massa dan kekuasaan dalam masyarakat, dengan menggunakan perspektif ‘hegemoni’ Gramsci Konsep ‘Hegemoni’ Gramsci Teori Marxis klasik memulai tesisnya dengan asumsi yang kuat bahwa posisi ekonomi sangatlah penting dalam perbedaan sosial. Marx dan Engels menulis risalah mereka mengenai eksploitasi kapitalis terhadap kelas buruh, pada saat ketimpangan ekonomi masih mendasari dan mereproduksi ketimpangan sosial dalam masyarakat industri. Akan tetapi, perkembangan teknologi dalam abad 20 mengakibatkan cara dominasi sosial jauh lebih rumit ketimbang masa sebelumnya. Perbedaan kelas sosial dewasa ini tidak semata-mata atau secara langsung oleh faktor ekonomi. Kini pengaruh ideologi pun menentukan dalam operasi kekuasaan sosial. Antonio Gramsci memperluas teori materialisme Marx ke bidang ideologi. Gramsci menekankan peranan ‘bangunan atas’ (superstructure) dari masyarakat, lembaga-lembaga yang memproduksi ideologinya, dalam perjuangan atas makna dan kekuasaan. Perhatian ditujukan pada struktur kewenangan dan ketergantungan pada lingkungan-lingkungan simbolik yang sesuai, tetapi tidak sama, dengan struktur berbasis kelas yang ditentukan oleh ekonomi dan proses produksi. Interpretasi Marx tentang media menyatakan bahwa media merupakan alat kontrol kekuasaan penguasa kapitalis. Marx dalam German Ideology, menyatakan: “kelas yang menguasai sarana produksi material juga memegang kontrol atas produksi mental. Oleh karena itu secara umum dapat dikatakan bahwa wawasan orang yang tidak memiliki sarana produksi mental pun ikut dipengaruhi…… sebegitu jauh mereka memerintah sebagai suatu kelas dan menentukan serta mewarnai babakan zaman. Sudah jelas mereka pun mengatur produksi dan distribusi gagasan pada zamannya. Dengan demikian gagasan mereka-pun merupakan gagasan penguasa pada zamannya” Terdapat hubungan langsung antara pemilikan kekuatan ekonomi dengan penyebaran pesan yang menegaskan legitimasi dan nilai-nilai suatu kelas dalam masyarakat Pada domain inilah Gramsci (1971) dalam bahasa yang tidak jauh berbeda menelorkan konsep ‘hegemoni’ yang dibedakannya dengan dominasi. Konsep dominasi lazimnya ditafsirkan sebagai pemaksaan kerangka pandangan secara langsung kepada kelas yang lebih lemah dengan menggunakan kekuatan dan keharusan yang terang-terangan. Sedangkan ‘hegemoni’ berupaya untuk menumbuhkan kepatuhan dengan menggunakan kepemimpinan politis dan ideologis. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan. Hegemoni adalah organisasi konsensus. Hegemoni adalah kekuasaan yang dipegang kelompok sosial tertentu terhadap kelompok-kelompok sosial lainnya. Hegemoni adalah dominasi dan subordinasi pada bidang hubungan yang distrukturkan oleh kekuasaan. Tetapi hegemoni tidak lebih dari sekedar kekuasaan sosial itu sendiri; hegemoni merupakan metode untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan Dengan kata lain hegemoni menekankan ideologi itu sendiri, bentuk ekspresi, cara penerapan, dan mekanisme yang dijalankannya untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para korbannya (terutama kelas pekerja), hingga upaya ini berhasil mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka. Semua itu tidaklah berarti ideologi dipaksakan oleh kelas penguasa, tetapi merupakan pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar, dan dapat meresap, serta berperan dalam menginterpretasikan pengalaman tentang dunia nyata. Proses ini memang terjadi secara tersembunyi namun terjadi terus-menerus Disini ideologi dimengerti sebagai serangkaian preferensi yang dimiliki bersama oleh komunitas politik. Karenanya ideologi itu ‘socialy shared’, ia pasti terbentuk melalui proses sosial. Ia harus dirumuskan secara jelas oleh elit intelektual dan kemudian disebarkan kepada anggota komunitas politik lainnya. Dengan ideologi itulah orang memberi makna pada realitas sosial Tetapi hegemoni tidak menjadi matang bila hanya melalui artikulasi ideologis semata. Arus ideologi yang dominan kemudian harus direproduksi kembali dalam aktifitas kelompok-kelompok sosial kita yang paling dasar, yakni keluarga, tempat kerja, persahabatan, dalam kehidupan sehari-hari. Hegemoni karenanya menghubungkan representasi ideologis dengan budaya. Hegemoni mensyaratkan pernyataan ideologis menjadi asumsi kultural yang nyata dengan sendirinya dan tak disadari. Karenanya, kata Willliams, semua seolah-seolah diterima secara wajar dan dengan akal sehat. Hegemoni mengimplikasikan suatu persetujuan yang ‘ikhlas’ dari orang-orang, yang akan diperintah oleh prinsip-prinsip, peraturan-peraturan, dan hukum-hukum yang mereka percayai beroperasi demi kepentingan mereka, meskipun dalam kenyataanya tidak. Persetujuan masyarakat dapat merupakan sarana kontrol yang efektif ketimbang koersi dan paksaan. Karenanya, Barbero mengatakan bahwa satu kelas menjalankan hegemoni selama kelas yang mendominasi itu mempunyai kepentingan yang oleh kelas-kelas bawah diakui dalam tingkat tertentu sebagai kepentingan mereka juga Ide tentang Media dan Kekuasaan Karena media bergerak dalam masyarakat yang ditandai oleh adanya penyebaran kekuasaan yang diberikan kepada individu, kelompok, dan kelas sosial secara tidak merata, dan karena dalam beberapa hal media berkaitan dengan struktur politik dan ekonomi yang ada, maka ada beberapa masalah yang perlu disinggung menyangkut keberadaan hubungan tersebut: Pertama: media memiliki konsekwensi dan nilai ekonomi, serta merupakan obyek persaingan untuk memperebutkan kontrol dan akses. Media juga tidak terlepas dari aturan-aturan politik, ekonomi, dan hukum. Kedua: Media massa sering dipandang sebagai alat kekuasaan yang efektif karena kemampuannya melakukan salah satu atau lebih dari beberapa hal dibawah ini, yaitu: menarik dan mengarahkan perhatian, membujuk pendapat, mempengaruhi pilihan sikap, memberi status dan legitimasi, mendefinisikan dan membentuk persepsi terhadap realitas dan lain-lain. Semua hal tersebut pada gilirannya melahirkan beberapa pertanyaan: Siapakah yang mengendalikan media dan untuk kepentingan siapa ?; Siapakah yang memiliki akses terhadap media dan berdasarkan alasan apa?; Pandangan (realitas sosial) siapakah yang disajikan media ?; Sejauh mana efektifitas media dalam upaya mencapai tujuan yang dikehendakinya ?; Faktor-faktor apakah yang membatasi atau meningkatkan kekuasaan media dalam beberapa hal yang disebutkan diatas. Ada beberapa pandangan yang mengisyaratkan bagaimana hubungan media massa, masyarakat, dan kekuasaan. Berapa diantaranya, misalnya, tesis Masyarakat Massa (Mass Society) dan pandangan-pandangan kaum fungsionalis. Tesis Masyarakat Massa tentang kekuasaan terutama didasari oleh karakter masyarakatnya yang ‘massa’. Karakteristik masyarakat massa yang bisa dikenali antara lain adalah: para anggotanya tersebar luas dan tidak saling mengenal, kurang memiliki kesadaran diri dan identitas diri, tidak mampu menggerakkan diri secara serentak dan terorganisir, komposisi masyarakatnya sering berubah dengan batas wilayah yang selalu berubah pula, tindakanya seringkali harus dikendalikan pihak lain, anggotanya banyak, heterogen, dan tersebar dari semua lapisan sosial dan kelompok geografis. Ciri-ciri ini seringkali digunakan untuk menyebut masyarakat industri atau masyarakat kota Teori ini memandang media memiliki kekuatan yang cukup besar dalam masyarakat. Kekuatan media ini terutama disebabkan oleh luasnya jangkauan media, keterpencilan institusi, isolasi individu, kurangnya integrasi kelompok. Kenyataan ini menunjukan bahwa media dapat dikendalikan atau dikelola secara monopolistik untuk dijadikan alat utama yang efektif untuk mengorganisasi massa (kelompok khalayak, konsumen, pasar, dan pemilih). Media massa biasanya merupakan corong penguasa, pemberi pendapat, dan instruksi, serta kepuasan psikis. Media menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap media dalam hal penciptaan pendapat, bahkan lebih lanjut menciptakan ketergantungan dalam penciptaan identitas dan kesadaran. W. Mills bahkan mengatakan bahwa potensi yang diciptakan oleh media diarahkan untuk pengendalian ‘non demokratis’ yang berasal dari atas. Pendekatan lain adalah adalah pandangan-pandangan dari kaum fungsional. Pendekatan ini sangat tidak familiar dalam menganalisis kekuasaan, terutama karena penekanannya pada kelangsungan sistem dengan adanya harmoni dan keseimbangan antara unsur-unsurnya Namun, penting untuk dicermati pendekatan ini juga menekankan pada kebutuhan adanya pengarahan, pengendalian, dan kohesi internal bagi kelangsungan sebuah sistem. Dengan kebutuhan itulah efektifitas media dapat dilihat dari fungsinya dalam penyuluhan dan kontrol sosial Setiap sistem berbeda dalam menerapkan fungsi tersebut (negara otoriter: media benar-benar digunakan sebagai alat instruksi, peringatan, dan kontrol langsung negara terhadap masyarakat; sedangkan negara liberal berhubungan dengan situasi persaingan yang ketat baik individu maupun kelompok yang membutuhkan adanya kontrol bagi regulasi. Menurut Mc Quail, teori Dependensi Media dari De Fleur & Ball Rokeach, bisa dikatakan ‘beraroma’ fungsionalis. Teori ini mengatakan tentang ketergantungan relatif khalayak terhadap media sebagai sumber informasi (dibandingkan dengan sumber informasi lainnya). Dengan kata lain semakin tinggi ketergantungan masyarakat terhadap media bagi perolehan informasi dan semakin tinggi ketidakstabilan masyarakat, maka semakin tinggi pula kekuasaan yang dimiliki media dari perannya tersebut. METODE Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian kepustakaan (library reserach). Prosedur pelaksanaan adalah (1) melakukan inventarisasi kepustakaan yang berkaitan dengan media massa, kekuasaan, dan masyarakat (2) mengidentifikasi aspek-aspek kekuasaan pada media massa (3) menguraikan dimensi kekuasaan pada media massa dalam perspektif Gramsci, terutama dalam hal ini yang berkaitan dengan bahasa politik dan representasi gender di media massa dan (4) membuat kesimpulan. PEMBAHASAN Media massa, kata De Fleur , keberadaannya merupakan bagian dari struktur sosial. Dalam hal ini media massa merupakan komponen yang memelihara stabilitas dan harmoni. Dengan kedudukan semacam itu, fungsi media massa sebagai bagian dari mekanisme sosial bertujuan untuk menjaga keseimbangan (equilbrium) antara berbagai komponen dalam masyarakat. Sebagai bagian dari suatu sistem, sesungguhnya media masa merupakan sarana yang memungkinkan institusi-institusi lain berjalan. Institusi sosial, dalam hal ini, pada dasarnya dapat dikelompokan pada tiga (3) entitas besar: politik, ekonomi, budaya Institusi politik mengambil fungsi dalam proses pengambilan keputusan yang ditandai dengan keikutsertaan dalam kekuasaan politik. Institusi ekonomi mengambil fungsi dalam meningkatkan kesejahteraan material, sementara institusi sosial budaya berfungsi meningkatkan kehidupan masyarakat untuk lebih bermakna (immaterial), sedangkan media massa membantu memberikan ruang yang memungkinkan institusi politik, ekonomi, dan budaya berjalan. Untuk itu media massa, karena terkait dengan informasi sebagai poros aktifitasnya, dapat menjalankan fungsi politik, ekonomi ataupun sosial budaya Namun demikian pandangan yang menganut peran media massa yang fungsional semacam itu tidaklah cukup memadai untuk memahami realitas media massa dengan ciri kuatnya perangkat politik dan ideologisnya. Kentalnya dimensi ideologis dalam wacana media tentu saja tidak muncul dalam wajahnya yang historis tetapi simbolik. Wajah simbolik ini muncul salah satunya dalam ‘politik bahasa’ yang akan merujuk pada pengertian penggunaan bahasa dalam proses-proses sosial. Bahasa dalam hal ini merupakan medium hegemonik yang digunakan kelompok dominan terhadap masyarakat lain. Bila kita memakai perspektif constructivism seperti kerangka teori social conctruction of reality – nya Berger (1990), maka politik bahasa akan merujuk pada pengertian penggunaan bahasa dalam proses-proses sosial yang bertujuan mendefinisikan dan atau mengkonstruksi suatu realitas. Lebih spesifik lagi, perspektif constructivism secara implisit sebenarnya juga mengetengahkan pengertian politik bahasa sebagai penggunaan bahasa untuk mengkonstruksi serta melegitimasi suatu realitas hubungan kekuasaan tertentu. Dalam kerangka inilah sesungguhnya hegemoni Gramscian mendapatkan perannya. Hegemoni beroperasi melalui penyebaran wacana yang konstruktif secara sosial. Bersama media, hegemoni ideologi lewat bahasa diciptakan dalam praktek-praktek bahasa media setiap hari. Dalam perumusan dan penyebaran ideologi, peranan bahasa sangat menentukan. Karenanya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa ideologi dibentuk dan membentuk bahasa. Dengan ideologi orang memberi makna pada realitas sosial. Untuk memudahkan penyimpanan, pemeliharaan, pengolahan dan penyimpanan makna diperlukan bahasa. Legitimasi (legitimacy) diperoleh atau dipelihara melalui suatu proses legitimasi (legitimation), yang secara spesifik bisa dilihat sebagai suatu proses untuk menampilkan suatu realitas hubungan atau distribusi kekuasaan tertentu sebagai suatu realitas yang menurut akal memang sewajarnya demikian. Dengan kata lain, bahasa dilihat sebagai alat yang bisa dimanfaatkan dalam proses mendefinisikan, mengkonstruksi, dan melegitimasi suatu realitas hubungan kekuasaan; dan itu antara lain dilakukan melalui pemanfaatan simbol-simbol atau struktur bahasa yang mampu menyajikan realitas hubungan kekuasaan tertentu sebagai suatu realitas yang alamiah, masuk akal, legal, dan sebagainya. Pemanfaatan bahasa untuk tujuan-tujuan mengkonstruksi dan melegitimasi suatu realitas sosial tersebut antara lain bisa diamati dalam wacana media (media discourse) Realitas hubungan antara penguasa atau elit dominan tertentu dan masyarakat merupakan produk konstruksi sosial, bukannya sesuatu yang mampu melanggengkan atau memproduksi eksistensi dirinya sendiri (self sustaining realities). Oleh karena itu, setiap rezim yang berkuasa menyadari perlunya suatu mekanisme yang memungkinkan realitas keberadaan dirinya beserta segala struktur kekuasan yang menunjangnya bisa secara berkesinambungan ditampilkan sebagai suatu realitas yang legitimate, objektif, alamiah dan sewajarnya memang demikian, atau yang tak terelakkan. Mekanisme tersebut antara lain melibatkan suatu politik media dan politik bahasa yang memberi peluang agar suatu wacana media tertentu mendominasi proses-proses mengkonstruksi berbagai realitas sosial yang berlangsung Memang proses-proses sosial dalam kerangka mengkonstruksi suatu realitas tertentu berlangsung dalam suatu arena sosial. Media massa merupakan salah satu arena sosial berbagai kelompok sosial – masing-masing dengan politik bahasa yang mereka kembangkan sendiri – berusaha menampilkan definisi situasi, atau definisi realitas versi mereka yang paling sahih. Itu antara lain dilakukan melalui politik bahasa yang dikembangkan oleh masing-masing kelompok sosial yang terlibat. Berkaitan dengan distribusi ideologi dalam media massa, perspektif Gramsci menyatakan bahwa, kekuatan-kekuatan dominan yang menentukan dalam proses produksi dan distribusi makna mewujud dalam wajahnya yang hegemonik. Ideologi dipandang secara organik -- melengkapi ideologi sebagai arbitrary system: gagasan intelektual filisofis – yang historis yang memiliki eksistensi materialnya. Watak terpenting dari eksistensi material adalah bahwa ideologi memiliki agen-agen dalam bangunan intelektual yang mengkhususkan diri dalam menjabarkan moralitas dan intelektualnya. Gelanggang terpenting dalam penjabaran tersebut praktek-praktek sosial dimana setiap orang dan lembaga sharring dalam lalu lintas ide. Termasuk media massa, semua lembaga yang ada dalam masyarakat, memainkan peran dalam menjabarkan, mempertahankan dan menyebarkan ideologi Namun hal yang mesti dipahami adalah seringkali terjadi ketimpangan akses ke arena sosial oleh unsur-unsur masyarakat. Pertama, menyangkut keterbatasan teknis yang dimiliki media (baik keterbatasan ruang dan waktu) ataupun pertimbangan komersial dan profesional (seperti pertimbangan newsworthiness suatu isu atau peristiwa) menyebabkan berbagai kelompok sosial tidak memperoleh akses ke media untuk mengangkat isu serta versi definisi situasi yang mereka miliki. Kedua, ketimpangan distribusi kekuasan antara rezim penguasa dan pers Selain itu, realitas media yang kapitalistik mendorong media untuk selalu mendefinisikan realitas dalam kerangka budaya dominan disebabkan media sangat berkepentingan dengan kesinambungan dan stabilitas. Dengan kata lain akibat keterbatasan teknis dan profesional serta timpangnya distribusi kekuasaan, ditambah lagi dengan budaya dominan yang melingkupinya membuat media massa menjadi sub ordinat dari kekuasaan negara dan atau kelompok dominan. Media massa menjadi pihak yang berperanan penting – sebagai salah satu bangunan intelektual ideologis – dalam menjabarkan, mempertahankan dan menyebarkan versi definisi realitas rezim dan kelas dominan tertentu. Oleh karenanya hubungan media massa, kelompok dominan, dan masyarakat menyiratkan hubungan yang hegemonik. ‘Hegemoni’ berupaya untuk menumbuhkan kepatuhan dengan menggunakan kepemimpinan politis dan ideologis. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan. Hegemoni adalah organisasi konsensus. Dengan demikian media massa ditafsirkan (1) sebagai medium tempat dimana wacana dari kepemimpinan politik dan ideologis disebarkan (2) sebagai arena tempat dimana keragaman praktek wacana dilakukan , dengan tujuan akhir adalah membangun konsensus dengan pihak yang lemah berada dalam posisi patuh. Hasil konsensus ini digunakan kelas yang lemah untuk menafsirkan pengalamannya yang sebelumnya telah diintrodusir oleh pihak yang berkuasa Dalam bahasa yang sebangun, Louis Althusser memandang media sebagai Aparat Ideologi Negara (Ideological State Apparatuses), yang tidak jauh berbeda dengan Aparat Represif Negara (Represive State Apparatusses—Angkatan Bersenjata, Polisi, dll). Keduanya sama-sama menindas. Aparat Ideologi Negara memungkinkan negara kapitalis mempertahankan keberadaannya tanpa melakukan kekerasan secara langsung Hegemoni bukanlah suatu stimulasi pikiran atau aksi yang langsung, melainkan merupakan suatu susunan dari semua definisi yang saling bersaing mengenai realitas kedalam jangkauan kelas dominan, dengan membawa semua alternatif gagasan kedalam cakrawala pemikiran mereka. Kelas dominan menetapkan batas-batas baik mental maupun struktural didalam mana kelas bawah hidup dan memahami realitas subordinasi mereka sehingga mendukung dominasi orang-orang yang berkuasa atas mereka. Komunikasi Politik dan Praktek Wacana di Indonesia Dalam konteks komunikasi politik setidaknya kita bisa merujuk pada dua fase sejarah politik modern Indonesia, yang membentuk ‘kamusnya’ sendiri untuk memerangkap masyarakat sebagai komunitas politik dalam mendefinisikan realitas politiknya. Jalaluddin Rakhmat menemukan bahwa dalam pergantian elit Orde Lama ke Orde Baru telah terjadi pergantian pula dalam wacana politiknya. Ada dua hal yang bisa diidentifikasi, yaitu, pergantian daftar kosa kata dan pergeseran makna kata. Ada sejumlah besar daftar kata dalam wacana politik Orde Lama tidak terdengar lagi pada wacana politik Orde Baru, begitupula sebaliknya. “Revolusi”, “kontra revolusi”, “nekolim”, “ antek-antek kapitalis imperialis”, “nasakom”, “Manipol-Usdek”, “indoktrinasi”, adalah contoh kata pada ‘kamus’ Orde Lama. Sebaliknya “Pembangunan”, “Anti Pembangunan”, “Gerakan Pengacau Keamanan”, “lepas landas”, “stabilitas nasional”, “penataran”, adalah sebagian daftar kosa kata Orde Baru. Selain pergantian daftar kosa kata, telah terjadi juga pergeseran makna kata. Kata “subversi” misalnya, pada masa Orde Lama berarti upaya penyusupan yang dilakukan oleh agen-agen nekolim untuk menghancurkan revolusi. Gerakan intelektual seperti kelompok Manikebu (Manifesto Kebudayaan) dipandang sebagai subversi. Sedangkan pada masa Orde Baru kata “subversi” merujuk pada kegiatan anti pembangunan yang dilakukan oleh ekstrem kanan atau ekstrem kiri, atau orang-orang yang melakukan “kritik yang tidak bertanggung jawab”. Kata lain, “politik” misalnya mengalami pergeseran makna yang sangat menonjol. Pada masa Orde Lama politik memiliki konotasi yang positif, berkaitan dengan kegiatan yang mempunyai akses pada struktur kekuasaan. Orang tidak takut bicara politik. Pada masa Orde Baru kegiatan politik dimaknai sebagai segala kegiatan yang tidak sejalan dengan elit penguasa. Karenanya bicara politik dianggap mengkritik pemerintah, dan itu mengganggu stabilitas pembangunan nasional. Semua kosakata dan makna dari kamus yang dibentuk tersebut pada gilirannya menjadi ‘makanan’ sehari-hari media massa dalam mendefinisikan dan menjelaskan realitas objektif sehari-hari. Karenanya tidaklah aneh apabila masyarakat sebagai komunitas politik juga turut memaknai dirinya sebagaimana kamus yang disediakan bagi mereka. Hegemoni dan Politik Gender Wacana hegemonik tersebut juga merambah politik gender. Politik gender mengacu pada berperannya ideologi gender dalam mewujudkan relasi kuasa satu atas yang lainnya, dalam hal ini laki-laki dan perempuan. Untuk menjelaskan hal ini, dalam bentuk yang paling konkret bagaimana hegemoni diterapkan secara sistematis dalam kehidupan simbolik media, baik bahasa dalam wacana media maupun gambar visual, adalah hegemoni ideologi patriarki atas perempuan yang bisa dilihat pada representasi media. Ideologi seksime, misalnya seolah-olah telah menjadi kesadaran dominan bagaimana media mendefinisikan realitas historis maupun simbolik perempuan. Banyak contoh yang menggambarkan seksisme (diskriminasi berdasarkan jenis kelamin) dalam peliputan media. Junneta Davis menemukan bukti bahwa perbandingan perempuan dan laki-laki sebagai obyek utama berita (main character) dalam surat kabar-surat kabar di AS adalah 1: 6. Studi yang lain terhadap peliputan 16 harian besar di AS juga menunjukan bahwa laki-laki tampil tiga kali, lebih banyak dibandingkan perempuan. Proporsi peliputan perempuan dan laki-laki di media yang tidak seimbang itu juga terjadi di Indonesia. Dalam penelitian Gati Gayatri , figur yang dijadikan sumber dalam berita-berita pembangunan di dua surat kabar utama di Ibu Kota sebagian besar adalah laki-laki (92,17%), dan sisanya (7,83%) adalah perempuan Disamping tersubordinasi (dinomorduakan) secara kuantitatif, perempuan juga harus menyandang model citra (image) yang begitu stereotip. Karakter perempuan biasanya muda (dan cantik), sudah menikah, dan tidak bekerja disektor publik, sehingga peran yang dijalaninya adalah “traditional female occupations”— pekerjaan yang secara tradisional dianggap “khas” perempuan. Pandangan yang seksis ini juga terjadi dalam pelekatan citra perempuan dan laki-laki di televisi. Figur perempuan digambarkan sebagai kurang dewasa (less mature), sehingga dianggap kurang berwenang (less autoritative) dalam menangani berbagai persoalan Citra tersebut cocok dengan apa yang dikemukan Park Yong Sang bahwa perempuan dikarakterisasikan sebagai emosional, tidak logis, tergantung, pasif, lemah, dan takut. Sedangkan laki-laki merupakan kebalikan dari sifat-sifat tersebut. Kedudukan dan peran perempuan dipandang sangat remeh (unimportant), lemah, dan tidak berarti dalam urusan publik. Citra media yang lain menurut Sang adalah bahwa perempuan sering ditampilkan sebagai objek seks (sexual object), karena kecantikan dan penampilannya, atau lebih jauh sebagai korban kejahatan seksual. Alhasil, dengan membatasi perempuan dalam kerangka image tersebut diatas, media secara tidak langsung telah menggiring perempuan untuk (hanya) mengurusi rumah tangga, atau sebagai makhluk yang lemah yang tugas utamanya adalah menyenangkan pria Gati Gayatri memperkuat argumen tersebut dalam studinya tentang perempuan dan pembangunan. Ia menemukan bukti adanya segregasi (pengucilan) terhadap citra perempuan yang cenderung stereotip, bahkan pada media yang eksklusif perempuan. Gambaran yang sama juga terjadi dalam di dalam film. Krishna Sen yang meneliti perihal representasi gender dalam film-film Indonesia, menemukan bahwa mayoritas genre dalam film Indonesia berkenaan dengan laki-laki, dan apa yang didefinisikan film sebagai dunia pria adalah dunia tindakan. Karakter wanita yang di tampilkan hanyalah sekedar peran tambahan sehingga citra dan tindakan wanita fungsinya kecil dan tidak penting dalam narasi. Kalaupun ada usaha untuk menampilkan peran perempuan dalam sosoknya yang lebih mandiri, usaha itu senantiasa tidak menampilkan kemandirian tersebut secara utuh. Lingkup domestik dan persoalan romantisme seolah-olah merupakan sesuatu yang melekat dan tidak bisa dilepaskan dalam persoalan-persoalan kaum perempuan Media dengan membangun diskursus tersebut – telah bertindak sebagai agen kontrol sosial yang memerangkap khalayak kedalam ideologi, norma, dan fantasi mereka. Instrumen tersebut diciptakan media demi memberi basis khalayak dalam berinteraksi. Julia Suryakusuma dalam tulisannya yang bertajuk Wanita dalam Mitos, Realitas dan Emansipasi , menunjukan bagaimana superioritas laki-laki dan cara pandang terhadap perempuan sudah menjadi semacam mitos yang telah berakar kuat karena disosialisasikan secara turun temurun: Kadang-kadang “dunia” wanita dikontraskan dengan “dunia” lelaki. Tetapi sebenarnya wanita tak pernah mempunyai suatu dunia yang tersendiri dan tertutup. Mereka merupakan bagian dari masyarakat yang dikuasai laki-laki dimana wanita menempati kedudukan yang lebih rendah. Wanitanya sendiri secara langsung ataupun tidak, mengakui bahwa dunia ini pada dasarnya milik kaum lelaki -- ia dibentuk, diberi ciri maskulin, dikuasai,dan sampai sekarang didominir kaum lelaki ....tapi untuk melihat situasi dirinya itu bukan tugasnya, karena dia sudah begitu biasa menerima otoritas pria…..wanita telah terlalu terbiasa memberi kepercayaan pada lelaki. Dunia dan hidup ini dinterpretasikan melalui mata dan persepsi lelaki, berdiri dibelakang suami – demi kemajuan bangsa ! Ketika perempuan didefinisikan dari world view dan standar laki-laki itu muncul bermacam deskripsi perempuan yang sarat dengan mitos . Mitos yang dibangun dalam masyarakat patriarkal dan seksis akan tercermin dalam isi media. “Stand behind your man, for the progress of people and country “, adalah nilai yang merefleksikan perempuan sebagai makhluk kedua. Mitos itu dicangkok oleh media, dijadikan semesta diskursus dan ditanamkan kedalam kesadaran kolektif sebagai imajinasi alam bawah sadar khalayak. Sebagai buahnya, disadari atau tidak, perempuan selain diperlakukan secara subordinatif, juga mendefinisikan diri secara subordinatif sesuai dengan tatapan mata laki-laki. KESIMPULAN Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa bagi Gramsci hubungan media massa, kelompok dominan, dan masyarakat menyiratkan hubungan yang hegemonik. ‘Hegemoni’ berupaya untuk menumbuhkan kepatuhan dengan menggunakan kepemimpinan politis dan ideologis. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dan konsensus. Dengan demikian media massa dapat ditafsirkan: Pertama: sebagai medium tempat dimana wacana dari kepemimpinan politik dan ideologis disebarkan, dan; Kedua: sebagai arena tempat dimana keragaman praktek wacana dilakukan, dengan tujuan akhir adalah membangun konsensus dengan pihak yang lemah. Hasil konsensus ini digunakan kelas yang lemah untuk menafsirkan pengalamannya yang sebelumnya telah diintrodusir oleh pihak yang berkuasa atau kelompok dominan. Karena itu bisa dipahami apabila masyarakat sebagai komunitas politik sangat tergantung pada apa dan bagaimana realitas politik didefinisikan oleh elit politik dominan. Begitupula dalam wacana gender. Perempuan memaknai realitas historisnya sebagaimana ideologi patriarki merumuskan atasnya. DAFTAR PUSTAKA Ardt, Hanno, “Introduction to Social Theories of the Press”, dalam C. Cleveland & Harold de Bock, Mass Communication Review Year Book Vol.2. Sage Publication, Beverly Hills, 1981 Aripurnami, Sita, “Sosok Perempuan dalam Film Indonesia: Gambaran Beberapa Persoalan”, Prisma No.5 Tahun XIX, 1990 Craib, Ian, Teori-Teori Sosial Modern: Dari Parsons Sampai Habermas, Rajawali Press, Jakarta, 1994 Davis, Junneta, “Sexist Bias in Eight Newspapers”, Jurnalism Quartely Vol.59 (3), 1982 De Fleur, Melvin, dan Sandra Ball-Rokeach, Theories of Mass Communication, (Fourth Edition), Longman Inc, New York, 1982 Gayatri, Gati,“Penulisan dan Pemberitaan Tentang Kedudukan dan Peranan Wanita dalam Pembangunan pada Majalah Wanita”, Jurnal Penelitian dan Komunikasi Pembangunan No.32, Badan Litbang Penerangan Deppen RI, Jakarta, 1992 Gilly, Mary C, “Sex Roles in Advertising: A Comparison of Television Advertisments in Australia, Mexico, and the United States”, Journal of Marketting, Vol.52 (April), 1988 Hidayat, Dedy N, “Politik Media, Politik Bahasa Dalam Proses Legitimasi dan Delegitimasi Rejim Orde Baru”, dalam, Sandra Kartika dan M. Mahendra (Eds), Dari Keseragaman Menuju Keberagaman: Wacana Multikultur Dalam Media, LSSP, Jakarta, 1999 Rakhmat, Jalaluddin, ”Dari Psikologi Androsentris ke Psikologi Feminis: Membongkar Mitos-Mitos tentang Perempuan”, Ulumul Qur’an No.5 & 6, Vol. 5, 1994 Rakhmat, Jalaluddin, “Komunikasi dan Perubahan Politik di Indonesia”, Audientia. Vol.I, No 2 April-Juni 1993 Renzetti, Claire M, and Daniel J. Curran, Women, Men, and Society: The Sociology of Gender, Allyn & Bacon, Boston, 1988 Sang, Park Yong, “Women in the Mass Media”, Media Development, 1987 Sen, Krishna, “Menafsirkan Feminisme dalam Sinema Orde Baru: Represi dan Resistensi”, dalam Idi Subandi Ibrahim (Ed), Ekstasi Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Mizan, Jakarta, 1997 Simon, Roger, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999 Suryakusuma, Julia I, “Perempuan dalam Mitos, Realitas dan Emansipasi”, Prisma No.7-Juli Tahun X, 1981 Keterangan: Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Sosiologi Vol. 3, No. 2, September 2001