Wednesday, August 18, 2004

Lingkaran Setan’ Itu Bernama Terminal Rajabasa

Oleh Yudi Nopriansyah, Ahmad Wildan Bukan Terminal Rajabasa namanya bila tidak semrawut. Sulit untuk menyebut penyebab terminal ini dikenal rawan. Terutama oleh pendatang yang akan ke Provinsi Lampung. Tingginya tingkat kejahatan, seperti penodongan, pencopetan, pemerasan, dan pernik lain yang mendatangkan uang, mengakibatkan kesan buruk Lampung di luar. Dan untuk menyebut siapa pelakuknya? Tentu tak hanya satu pihak. Banyak yang bermain, seperti sebuah ‘lingkaran setan’ yang tak kunjung habis. Memang salah satu hal yang petut disayangkan dari sekian banyak kekurangan adalah minimnya upaya pengamanan terminal. Nama-nama agen penjual tiket dan PO perwakilan bus juga banyak yang tak terdaftar. Pun di antara penjual tiket resmi dan calo minim perbedaan. Hal ini membuat penumpang kesulitan mengenali mana yang resmi mana yang bukan. Kondisi ini berbuah makin leluasanya para calo untuk mangkal menjual tiket tak resmi—. tanpa ijin pimpinan PO dan pihak keamanan seperti polisi dan Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR). Imbasnya tentu pada penumpang yang ikut enggan bertanya pada petugas atau pos informasi yang disediakan. Dari data Polsek Kedaton, Januari—April 2004 tercatat 13 tindak kriminalitas yang terjadi. Sedang calo sendiri yang tak merasa melanggar aturan semakin menjamur karena merasa tindakannya tidak melanggar hukum dan terkena sanksi. Seperti dituturkan HN yang seharinya mangkal diterminal. Ia menawarkan penumpang tiket ke berbagai jurusan. Dengan alasan membantu memudahkan penumpang, HN yang berbaju rapih dan berkaca mata itu dengan dibantu beberapa temannya, merayu siapa saja yang baru turun dari angkutan umum. Dan jika ada yang bersedia membeli tiket, maka barulah HN menyuruh salah seorang rekannya untuk mengambil tiket di PO jurusan yang dituju penumpang. “Saya tak melanggar peraturan, malah saya berjasa membantu memudahkan penumpang,” tutur HN. Padahal menurut pimpinan perwakilan PO di Terminal, banyak yang merasa praktek percaloan ini malah menciptakan kesemerautan. Di samping image buruk pada masyarakat. “Karena umumnya calo menjual tiket di luar tarif yang ditentukan pemerintah,” ujarnya. Menurut I Putu Eka Suyoso, pihak petugas, siap bersedia membantu penumpang yang bertanya di pos informasi. “Namun tetap saja para penumpang masih bertanya pada orang yang bukan petugas,” tutur Putu. Menanggapi praktek percaloan, Putu menggakui mereka hanya mencari makan diterminal. “Tidak semata-mata menjadi mata pencarian tetap,” katanya. Namun ini tidak terlepas penumpangnya sendiri yang tidak mau ke pos informasi. “Ketakutan penumpang itukan jika mereka menolak membeli pada calo, mereka takut akan diintimidasi,” tambah Putu. Bribka Rahmat yang baru dua bulan menjabat Kepala Polisi Pos Terminal Rajabasa, juga menyayangkan penumpang dan masyarakat yang datang ke terminal tak mengunakan sarana resmi dari pemerintah. Hal inilah yang menurut Rahmat biasanya memicu kejahatan terjadi kepada penumpang. “Karena orang-orang yang menawarkan tiket (calo red), biasanya mencari celah untuk melakukan kejahatan” ungkap Rahmat. Dari pihak pemilik jasa, seperti supir dan pengelola PO bus, merasa masalah yang ada di Rajabasa harusnya jadi tanggung jawab keamanan. Sebab mereka ditertibkan pemegang ‘SK’. Sedangkan pemegang SK adalah orang yang ditunjuk dari perusahaan Bus menjadi pimpinan perwakilan. Saat ditelusuri, pemegang SK ini merupakan orang yang tersohor di terminal dan dianggap mampu menjaga PO perwakilan. Thohir misalnya, Pimpinan perwakilan PO Udayana, Sinar Dempo, Arya Prima untuk Lampung. Menurutnya sejak mulai diresmikan, terminal Rajabasa menjadi terminal Induk Provinsi Lampung 1982, dulunya aman. Tak ada lagi perebutan wilayah seperti tahun sebelumnya, yaitu orang ‘paling kuat’ yang bertahan dan mendapatkan penghasilan di terminal. Thohir juga menyayangkan jika kriminalitas dan kesemerautan di terminal tidak bisa diatasi petugas. Menjadi pimpinan PO perwakilan, aku Thohir memang dirinya dianggap dituakan. Selain dianggap mampu menangulangi masalah yang kelak dialami Bus. Thohir menanggapi budaya lempar korek yang menciptakan ketidakteraturan terminal sekarang. Sebab antara Sopir, yang menyuap petugas, dan penumpang yang malas masuk terminal makin menjadi. Thohir menambahkan penumpang yang naik di luar terminal malah tak terjamin. Menanggapi blundernya Rajabasa, I Putu Eka Suyoso mengaku sedang menata kembali seluruh aparat dan lapisan yang mengatur ketertiban, keamanan, kebersihan di terminal. “Juga mendata seluruh PO di terminal,”terangnya. Sedangakan, Putu menambahkan masalah terjadi di luar terminal bukanlah wewenang pihaknya. “Tugas kami di terminal Rajabasa ini hanya melakukan tugas operasional, dan itu pun di dalam terminal,” jelasnya. Namun dalam pandangan Dosen Sosiologi FISIP Unila, Abdul Syani bahwa kriminalitas di Rajabasa tak akan selesai dengan janji dan disiplin kerja satu pihak saja. “Namun harus ada kesinergian antara pihak pemerintah dan penghuni terminal dari pegawai, kuli, ataupreman sekalipun,” terangnya. []

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home