Tuesday, April 18, 2006

Tentang RUU Ketenagakerjaan

Rencana Undang-Undang Ketenagakerjaan dikecam buruh. Pemerintah dianggap condong membela pengusaha. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Soeparno mengaku serba salah. ”Aku mau cooling down dulu,” kata sang menteri dengan ekspresi lesu akhir maret lalu kepada wartawan. Erman ”terjepit” sebagai menteri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberi perintah kepada departemennya untuk menggenjot investasi, karena saat ini Indonesia terkena paceklik investasi. Salah satu rekomendasinya adalah melakukan revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai bagian dari paket kebijakan investasi pemerintah. Sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, akhir Februari 2006 lalu. Inpres no 3 itu isinya adalah skema tindakan dan koordinasi dari 22 menteri, pimpinan lembaga nondepartemen, para gubernur, dan juga bupati. Pada skema itu tadi ditulis jelas, tugas, penanggung jawab, batas waktu, dan target pekerjaan masing-masing departemen dalam satu tahun ini. ”Paket ini merupakan jawaban pemerintah atas buruknya iklim investasi,” kata Staf Khusus Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Investasi, Jannes Hutagalung. Tulis majalah Tempo (edisi 3—9 april) Paket kebijakan itu rencananya untuk membuat investasi jadi motor pertumbuhan ekonomi, terutama untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran yang makin meningkat. Lantas, inpres ini menunjuk lima faktor yang perlu dibenahi, di antaranya soal pelayanan dan kejelasan aturan, pabean dan cukai, perpajakan serta tenaga kerja. Masalah tenaga kerja ini rupanya dianggap sandungan betul untuk investor oleh pemerintah. Maka, saking pentingnya revisi ini, parlemen ditargetkan April masuk dan sebelum akhir tahun sudah berlaku. Kira-kira bakal bersamaan dengan revisi UU Penanaman Modal. Nah, karena tugas itulah, Erman kini kena sodok kiri-kanan lantaran menyuruh parlemen ”ngebut” dengan alasan yang kurang kuat. Alasan ”filosofis” revisi, yakni masalah investasi, dinilai lemah. ”Masalah investasi, 60 persen ada dalam ’rumah pemerintah’ sendiri,” kata Yanuar Rizky, Sekretaris Jenderal Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, mengutip hasil penelitian World Economic Forum 2005. Masalah ”dalam rumah” itu antara lain meliputi pemerintahan yang tidak efisien, keterbatasan infrastruktur, perpajakan yang apatis, korupsi, sumber daya manusia yang kurang, stabilitas pemerintahan. ”Di tengah pengangguran yang meningkat ini, pemerintah ikut menuding buruh sebagai biang masalah investasi. Ini pemerintahan elitis,” kata Yanuar. Menjadikan buruh sebagai kambing hitam, menurut alumnus Universitas Gadjah Mada ini, tidak tepat. ”Kalau mau revisi, jangan seperti orang buta menolong orang buta. Sama-sama tak tahu mau ke mana,” kata mantan Ketua Serikat Pekerja Bursa Efek Jakarta ini. Fakta aneh lain, draf revisi itu malah sudah diterima oleh organisasi serikat pekerja pada awal Februari lalu sebelum inpres keluar. Selain itu, belakangan Menteri Erman menyatakan bahwa revisi Undang-Undang Tenaga Kerja itu dilakukan juga karena sebab lain. ”Aturan itu direvisi karena bertentangan dengan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU Nomor 2 Tahun 2004),” kata Erman. Selain itu, ketentuan tentang kontrak kerja juga dianggap bertentangan dengan prinsip hukum perdata. Penjelasan ini juga dianggap aneh karena sebagian besar materi UU Ketenagakerjaan berubah. Tak hanya menyangkut PHK atau kontrak kerja, tapi juga menyangkut tenaga kerja asing, pengupahan, pensiun buruh, sampai hak mogok. Anggota Komisi IX Bidang Kependudukan, Kesehatan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi DPR, Mustafa Kamal, menyatakan, tidak jelasnya alasan pengajuan revisi karena pemerintah terburuburu memenuhi keinginan investor asing. ”Padahal, belum tentu juga mereka akan investasi,” kata dia. Bahkan sampai mengajak bicara anggota Komisi saja tidak sempat. ”Kita malah tahu dari koran dan Serikat Pekerja yang mengadu ke sini,” kata wakil rakyat dari Partai Keadilan Sejahtera ini. Menurut dia, Menteri Erman telah melakukan blunder. ”Teman-teman di DPR merasa difait accompli,” katanya. Rencana pemerintah agar revisi bisa cepat dibahas DPR, menurut dia, susah untuk terjadi. Usulan revisi UU Nomor 3 Ta-hun 2003 tidak termasuk dalam program Badan Legislasi (Baleg) DPR 2006. ”Su-dah saya cari ke Baleg dan Sekretari-at- Komisi. Selembar surat tentang revisi itu saja tidak ada,” kata Mustafa. Sebelum jadi program Baleg, sebuah usulan le-gislasi harus diajukan kepada Baleg dan dibahas dalam rapat Badan Musyawarah DPR. ”Ini: alih-alih mau bikin iklim yang baik, malah bikin iklim yang buruk,” tuturnya. Iklim buruk itu setidaknya akibat gelombang unjuk rasa buruh sepanjang tiga pekan terakhir, terutama di Jakarta dan sejumlah kota di Jawa. Bahkan meletup juga di Makassar, Sulawesi Selatan. Sikap mereka jelas, menolak rencana perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Aksi itu agaknya berhasil ”mencuri” perhatian Presiden. ”Kita jelas protenaga- kerja,” kata Yudhoyono dalam sambutan-nya saat itu. Meski Presiden tak menyebut rencana revisi bakal dicabut, ia menyatakan pemerintah mendukung pemberian hak-hak yang adil bagi para tenaga kerja. Menteri Erman juga turut meredam kemarahan buruh. Menurut dia, rancangan revisi itu belum final. ”Kita akan tampung dan dudukkan bersama aspirasi pengusaha dan pekerja,” kata dia. Yang terang, dia menambahkan, revisi hanya membuat pasal-pasal yang samar menjadi jelas. ”Supaya jangan sampai membuat iklim investasi tidak kondusif,” kata dia. Masalahnya adalah, meski rancang-an revisi yang dibuat oleh Tim Bappenas dibuka untuk suara buruh, sebagian buruh telanjur membaca sikap batin pemerintah yang menganggap buruh sebagai penghalang investasi masuk ke Indonesia, sehingga sebagian organisasi serikat pekerja menolak usulan revisi. Memang, ada organisasi serikat buruh yang menanggapi ajakan Erman. Serikat Pekerja Seluruh Indonesia termasuk yang mau mengajukan tanggapan terhadap naskah revisi. ”Kita memang mengajukan tanggapan, tapi intinya tetap sama dengan serikat pekerja lain, menolak revisi,” kata Arif Sudjito, Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Berbeda dengan buruh, pengusaha lebih kooperatif terhadap usulan revisi. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), misalnya, hanya mengusulkan perubahan redaksional di 32 pasal saja dari 193 pasal yang ada. Ada beberapa pasal dan ayat yang diusulkan agar dicabut. Menurut Deputi Chairman Apindo, Hassanudin Rachman, saat ini ada tiga undang-undang yang mengatur hubungan antara pengusaha dan serikat pekerja, yakni UU Serikat Pekerja (UU 21 Tahun 2000), UU Ketenagakerjaan (UU 13 Tahun 2003), dan UU Penyelesaian Perselisihan Industrial (UU 2 Tahun 2004). ”Ketiganya punya kelemahan, sehingga harus direvisi melalui pembicaraan tripar-tit. Saat ini kita fokus ke UU Tenaga Kerja dulu,” kata Hassanudin. Menurut Hassanudin, pengusaha bisa menerima prinsip-prinsip perburuhan, misalnya mereka tidak anti hak pesa-ngon. ”Kami hanya minta disesuaikan.” Saat ini karyawan yang telah bekerja selama 10–15 tahun akan mendapat pesangon minimal 32 kali gaji, dan tidak ada pembedaan antara karyawan di jajaran direksi dengan karyawan biasa. ”Jumlah ini terlalu besar dan perlu direvisi,” ungkapnya. Pasal-pasal Penyulut Amarah Dari 193 pasal Naskah Revisi Undang-Undang- Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga-kerjaan terdapat beberapa pasal kontroversial, di antaranya: Pasal 35 (ayat 3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja (dalam revisi, ayat ini dihapus). Pasal 59 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifat atau kegiatan yang pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Kontroversi revisi Pasal 59 (1) yang dilakukan atas dasar jangka waktu, dapat dilakukan untuk semua jenis pekerjaan; (6) Dalam hal hubungan kerja diakhiri sebelum berakhirnya PKWT yang disebabkan karena pekerja/ buruh melanggar ketentuan di dalam perjanjian kerja maka pekerja/ buruh tidak berhak atas santunan dan pekerja/ buruh yang bersangkutan wajib membayar ganti rugi kepada peng-usaha sebesar upah yang seharusnya diterima sampai berakhir-nya- PKWT. Pasal 155 (3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud ayat 2 berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh. Kontroversi revisi Pasal 155: (3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud ayat 2 berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja. (4) Pengusaha yang melakukan skorsing sebagaimana pada ayat 3 wajib membayar upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima buruh selama-lamanya 6 bulan. Pasal 156 (1)Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. (3) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 paling sedikit sebagai berikut: a. masa kerja 1 tahun, 1 bulan upah dst. g. masa kerja 6 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah. h. masa kerja 7 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah. i.masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 kali upah. (4) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ditetapkan sebagai berikut: a. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah dst. h. masa kerja 24 tahu atau lebih, 10 bulan upah. (5) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 meliputi: a. dst. c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan sebesar 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat. Kontroversi revisi Pasal 156: (2) Pekerja/buruh yang berhak mendapatkan pesangon adalah pekerja/buruh yang mendapat upah lebih rendah atau sama dengan satu kali penghasilan tidak kena pajak. (3) Perhitungan upah pesangon sebagaimana dimaksud ayat 1 paling sedikit sebagai berikut: a. masa kerja lebih dari 3 bulan tapi kurang 1 tahun, 1 bulan upah; b. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah dst. g. masa kerja 6 tahun atau lebih, 7 bulan upah. (4) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ditetapkan sebagai berikut: a. masa kerja 5 tahun tetapi kurang dari 10 tahun, 2 bulan upah b. masa kerja 10 tahun tetapi kurang dari 15 tahun, 3 bulan upah dst. e. masa kerja 25 tahun atau lebih, 6 bulan upah. (5) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana di maksud ayat 1 meliputi: a. dst. c. penggantian perumahan sebesar 10% bagi pekerja/buruh yang mendapatkan fasilitas atau tunjangan perumahan serta penggantian pengobatan dan perawatan sebesar 5% dari uang pesangon/atau uang penghargaan masa kerja bagi pekerja/buruh yang di-PHK yang mendapatkan pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja. Pasal 158 (1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat, sebagai berikut: a. melakukan penipuan, pencurian atau penggelapan barang dan/ atau milik perusahaan dst. s/d poin j. (2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus didukung dengan bukti sebagai berikut: a. pekerja/ buruh tertangkap tangan; b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat pihak berwajib dst. (Catatan: pasal ini tidak berlaku lagi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi karena ke-salahan berat tersebut merupakan bagian dari hukum pidana). Kontroversi revisi : Kesalahan berat diberlakukan kembali Pasal 167 (menyangkut kompensasi pensiun) (1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh peng-usaha dst s/d ayat 5. Kontroversi Pasal 167 (dalam revisi, pasal ini dicabut).

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

dalam peraturan yang lama/baru, apakah ada perubahan tentang kewajiban pengusaha membayar pesangon?

saya sdh bekerja 10thn dan terancam tidak mendapat pesangon.

cerita disini http://www.advokatindonesia.com/forum/viewtopic.php?id=304

Tuesday, October 02, 2007  
Anonymous Anonymous said...

buy facebook likes
get facebook likes

http://www.cdapress.com/news/business/article_980d4e52-05d9-5306-8166-02a2f912df2a.html http://www.columbusneighborhoods.org/content/irs-recognizes-columbus-hilltop-neighborhood-vita-program-volunteers
buy facebook likes buy facebook likes get facebook likes
is this a virus attack? what should i do now?

buy facebook likes buy facebook likes [url=http://1000fbfans.info]1000 facebook likes [/url] buy facebook likes

Sunday, August 14, 2011  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home