Saturday, February 11, 2006

Nostalgia Sang Geisha, tanpa Kegetiran

Memoirs of a Geisha Novel Memoirs of a Geisha karya Arthur Golden diangkat menjadi sebuah film oleh Rob Marshall. Ada keinginan untuk membuat sebuah paspor yang mengirim penonton kepada eksotisme, keindahan visual, dan erotisisme dunia geisha. Apa yang membedakan geisha dengan kultur harem? Siapakah para geisha? Dan mampukah sutradara Rob Marshall menampilkan dunia geisha yang paradoksikal, yang penuh dengan kemewahan dan bunga namun hampir tanpa pilihan hidup? tulisan ini ditulis Seno Joko Suyono, gua berharap bagi siapa aja yang pernah baca novelnya mau mendikusikan film ini. terus kalo ada yang mau mengkritisi tulisan ini juga oke...

”Sentuhkan kakimu seolah tanpa se-ngaja.”

Dimulailah persiapan magang itu. Sang geisha senior bernama Mameha (Michelle Yeoh) memberikan serangkai-an trik kepada Nitta Sayuri (Ziyi Zhang), muridnya, yang akan digosoknya menjadi bintang segala geisha. Ini trik untuk menaklukkan laki-laki. Di tempat minum, tatkala para lelaki terhormat berkumpul, seorang geisha harus menguasai jurus-jurus ele-gan menuangkan sake atau teh. Ada cara memegang poci sedemikian rupa sehingga kimono tersibak memper-lihatkan lengan sebelah dalam yang mulus. Ada teknik menyenggolkan kaki sehingga tamu merasakan sedikit getar kehalusannya.

Telah lama Hollywood terpikat oleh erotisisme dari Timur. Geisha memberi daya fantasi sensuali-tas se-perti harem. Mengetahui berbagai rahasia di b-alik sosok berkimono itu adalah sebuah obsesi, sama seper-ti obsesi mengetahui sensasi seks apa saja di ka-wasan terlarang tempat tinggal para perempuan sultan yang dijaga para budak kasim itu. Sementara samurai—dunia Jepang yang jantan—telah dieksplo-rasi habis-habisan oleh Hollywood, dunia kelembut-an geisha masih tersembunyi.

Terbitnya novel Arthur Golden, Memoirs of a Geisha (1997), yang menguak kehidupan geisha secara detail, agaknya memberi kesempatan untuk itu. Dreamwork Pictures, yang dipimpin oleh Steven Spielberg, bergandengan tangan dengan sutradara film Chicago, Rob Marshall. Marshall mengaku sebagai penggemar film klasik yang ”mampu membawa saya ke dunia misteri” seperti karya-karya David Lean. Karena itu, ketika ia ditawar produser untuk menangani film ini, Marshall tidak berpikir panjang lagi menyetujuinya dan langsung mengumpulkan timnya yang dulu mendukungnya dalam film Chicago. Sinematografer Dion Bebe, koreografer Denise Faye, dan beberapa tambahan seperti ahli geisha Liza Dalby dan penulis skenario andal Robin Swicord dan Doug Wright. Mimpi Marshall untuk bisa menyutradarai pemain internasional Gong Li, Ziyi Zhang, dan Michelle Yeoh serta Ken Watanabe juga terwujud.

Hal yang paling utama adalah: bagaimana menafsirkan buku yang sudah dua tahun menjadi buku terlaris di AS itu sebagai film yang menarik dan magnetik? Marshall tak ingin menghilangkan tema utama buku Golden yang menggairahkan perhatian pembaca, yakni kisah tentang tradisi mizuage, sebuah cerita dari Jepang era lampau tentang bagaimana kepe-ra-wanan seorang yang magang geisha dijual kepada penawar tertinggi.

Film Memoirs of a Geisha bercerita tentang Ni-t-ta Sayuri, seorang geisha di Gion, Kyoto, yang pada usianya ke-15 di tahun 1935 melepas keperawanannya seharga 11.500 yen, jumlah tertinggi yang pernah dibayarkan untuk mizuage. Unsur inilah rupanya yang tak pelak membuat novel Arthur Golden sukses besar. Sebetulnya, sebelumnya telah ada novel se-putar geisha seperti roman indah Yasunari Kawabata berjudul Yukini (diterjemahkan oleh Ajip Ro-sidi: Daerah Salju). Novel Kawabata ini bercerita te-ntang seorang lelaki dari Tokyo yang berkunjung ke da-e-rah bagian utara Pulau Honshu, yang pada musim di-ngin selalu tertutup salju. Angin dingin senantiasa me-nerjang daerah itu. Dan dalam kebekuan, ia bertemu dengan seorang geisha lokal. Gerak-geriknya yang lembut dan sopan tapi menggetarkan hati memikat laki-laki itu.

Setting cerita Arthur Golden adalah daerah Gion, Kyoto, lantaran tempat ini syahdan terkenal seba-gai kawasan penghasil geisha terkemuka di Jepang. Tem-pat-tempat minum eksklusif di Gion menjadi dae-ra-h tujuan para lelaki untuk berpesta. Arthur G-ol-d-en membangun kisahnya bertolak dari informasi mantan seorang geisha paling top di Gion bernama Mineko Iwasaki. Umur lima tahun, Iwasaki telah dididik di okiya—rumah geisha—dan magang geisha pada umur 15 tahun. Ia mengundurkan diri dari geisha di puncak kariernya pada usia 29 tahun.

Tak lama setelah muncul novel Memoirs of a Geisha, Iwasaki menggugat Golden. Sayuri, tokoh utama novel (dimainkan oleh Ziyi Zhang), jelas mengambil kisah suka-duka hidupnya. Yang paling kontroversial, Iwasaki mengatakan banyak hal kurang akurat di novel Golden, termasuk persoalan mizuage. Menurut Iwasaki, dirinya tak pernah melakukan mizuage. Bahkan tradisi mizuage dinyatakan Iwasaki tidak ada di Gion. Geisha di Kyoto menurut dia lain de-ngan di Tokyo. Tahun 2003 Iwasaki menulis otobiografi, Geisha of Gion, untuk melawan novel Golden. Buku ini berisi kegiatannya selama menjadi geisha.

Spielberg agaknya tak menggunakan bahan protes Iwasaki ini. Dalam film ini persoalan mizuage tetap menjadi inti cerita. Film mengisahkan perjalanan Sayuri dari kecil, yang dididik untuk kelak disiapkan untuk ”dipetik”.

”Kamu bukan pelacur, tapi seniman,” kata Ma-meha, sang mentor. Suku kata gei dalam geisha ber-arti seni. Selama bertahun-tahun seorang calon geisha digembleng untuk memiliki keterampilan tinggi dalam menari, memainkan tsutsumi—gendang kecil—memetik shamisen, memiliki keahlian kaligrafi, dan mengetahui seluk-beluk upacara minum teh. Masa-masa pendidikan itu ibarat kepompong yang menyiap-kan ulat menjadi kupu-kupu. Mereka yang tak berbakat akan terpental.

Geisha juga adalah wakil terdepan dari dunia cita rasa. Pada saat di Jepang kimono menjadi satu-satunya gaun perempuan, gaya berpakaian geisha adalah pelopor tren. Pada geisha terletak seluruh keanggun-an, keeleganan. Meskipun film ini tak bisa se-ri-nci penggambaran Golden dalam menampilkan ba-gaimana cara berbusana para geisha, akan dapat di-saksikan bagaimana dari konde sampai kimono geisha berbeda dengan perempuan biasa. Motifnya, warna-warnanya lebih cerah. Obi—ikat pinggang kimono yang agak tebal—milik para geisha magang, misalnya, mempunyai ujung menggantung nyaris menyentuh lantai.

Gabungan cita rasa dan keahlian seni ini yang mem-bedakan mana geisha top dan murahan. Semakin tinggi kemampuannya, semakin sang geisha menjaga image dirinya dan mereka tak mudah dibeli begitu saja. Geisha senior akan membimbing sang geisha magang agar ia selalu menjaga dunia penampilannya. Bagai seorang kakak, ia membawa sang yunior keli-ling berbagai perjamuan, pesta, menonton drama kabuki, tamasya, agar wajahnya dapat dikenal oleh para pelanggan kaya. Di situlah ia belajar saling berkompetisi dengan geisha lain. Sebuah kehidupan keras tempat sesama geisha bisa saling menjatuhkan.

”Geisha sejati tidak akan pernah mengotori reputasinya dengan membuat dirinya bisa disewa laki-la-ki dengan tarif per malam,” kata Sayuri dalam no-vel. ”Geisha kelas bawah bisa saja bersedia melayani tawaran semacam ini. Perempuan seperti ini bisa saja menyebut dirinya geisha, tetapi kurasa kau harus melihat bagaimana dia menari, seberapa baik dia bisa memetik shamisen, sebelum kau memutuskan apakah dia geisha sebenarnya.” ***

Erotisisme memang tak terelakkan menjadi bagian yang melekat pada dunia geisha. Pada zaman Edo atau zaman Tokugawa (1600-1868), saat Jepang tertutup dari dunia luar, dunia kesenian tumbuh berkembang. Gulat dan geisha sering menjadi obyek gambar Ukiyo-e—kerajinan cetak saring atau cukil kayu—yang sangat populer. Imajinasi erotik—dunia hasrat yang paling liar dari geisha— sering diungkap dalam seni kerajinan massal.

Seorang geisha tak pernah menikah. Dalam hidupnya, seorang geisha akan mencari seorang danna, laki-laki yang nanti akan membiayai hidup dan ke-mewahannya. Para geisha terpandang memiliki danna dari kalangan pengusaha berpengaruh sampai jenderal-jenderal. Saat peralihan politik dari zaman Tokugawa ke Meiji, banyak geisha dekat dengan para tokoh. Saat itu berbagai rencana revolusi atau kerusuhan selalu disusun di tea house. Geisha dihargai karena dianggap bisa menyimpan rahasia pembicara-an-pembicaraan penting itu. Geisha, karena itu, bisa banyak memiliki kedekatan dengan para tokoh.

”Aku tak akan berpura-pura seorang geisha tak pernah menyerah sukarela kepada laki-laki yang dianggapnya menarik. Geisha juga punya kerinduan seperti halnya manusia biasa. Geisha yang mengambil risiko semacam itu hanya bisa berharap dia tidak akan ketahuan,” tutur Sayuri.

Dalam Memoirs of a Geisha, diceritakan Sayuri ja-tuh cinta pada Iwamura Ken, pendiri Iwamura Electric, yang membelikannya es krim di tepi Sungai Shirakawa saat ia kecil. Sayuri dipersiapkan menjadi danna Nobbu Toshikazu, Presiden Direktur Iwamura Electric, sahabat akrab Iwamura, tapi hati kecilnya memberontak. Setting novel adalah tahun 1930-1945 saat Jepang dilanda malaise.

Saat itu terjadi perubahan besar. Citra geisha lambat-laun mengalami degradasi. Setelah pe-rang, b-anyak geisha kehilangan patron, terusir dari rumah-ru-mah mewah. Pelacur atau hostes di bar menya-mar se-bagai geisha. Para tentara GI Amerika yang menduduki di Jepang sedikit-banyak memberi andil pada perubahan cara pandang ini, karena mereka semata-mata menempatkan geisha sebagai obyek sek-sual. Mereka membayangkan geisha sebagai semacam h-arem.

Dalam film dikisahkan, selama masa perang Sayuri sempat diungsikan di pedesaan. Ia menjadi pe-rempu-an petani biasa. Tangannya yang lentik berubah kasar. Namun, ketika perang selesai, ia balik sebagai gei-sha. Di tengah kondisi yang berbeda, ia tetap menampilkan citranya sebagai geisha yang elegan. Sa-yuri ingin ditampilkan oleh Arthur Golden sebagai so-sok geisha sejati. Sebagai last geisha, seorang geisha yang bertahan dalam perubahan.

Itu akan berbeda sekali, misalnya, kalau kita me-nonton panorama geisha dalam film kontroversi-al su-tradara Jepang, Nagisa Oshima, In the Realm of -Senses, produksi tahun 1976. Film ini awalnya di-ce-kal, dilarang beredar di Jepang sendiri. Film ini ber-tolak dari sebuah kisah nyata pada tahun 1930-an. Bertempat di sebuah kawasan distrik militer di Tokyo, tempat para mantan geisha menggelandang di jalanan. Film berkisah tentang hubungan antara seorang laki-laki bernama Kichi dan pelacur bernama Sada.

Sehari-hari mereka melakukan seks tiada henti. Film memperlihatkan keintiman itu secara eksplisit, inci demi inci. Keduanya tak dapat menyetop kegiat-an itu. Mereka lalu jam demi jam melakukan eksperimen genital yang sangat vulgar. Pernah sekali waktu mereka bersanggama diiringi permainan shamisen yang dimainkan seorang geisha tua dan gemuk. Atas permintaan Sada, Kichi kemudian juga ”menimpa” geisha itu. Eksperimen tubuh ini makin lama makin menjadi eksperimen yang sakit. Sampai akhirnya eks-perimen berujung pada destruksi. Karena begitu posesif dan takut Kichi bakal dimiliki wanita lain, ak-hirnya, setelah sebuah sanggama, Sada memotong penis Kichi. Kichi mati. Sada kemudian berkeliling ke seluruh Tokyo sambil membawa potongan penis itu sebelum akhirnya ditangkap.

Kita juga bisa membandingkan film Hareem karya Ferzan Ozpetek (2003), yang pernah menjadi nomine dalam Festival Film Cannes. Film ini mengambil setting masa-masa menjelang dan sesudah runtuhnya Kesultanan Ottoman, Turki. Isi Hareem diperli-hatkan penuh dengan ratusan perempuan cantik dan se-lir sultan yang sebagian adalah keturunan E-ropa. Pekerjaan sehari-hari mereka adalah merawat tubuh,- mandi, berendam berjam-jam dengan diba-ntu bebe-rapa pelayan, telanjang bulat dipijit, dibelai dengan minyak wangi oleh para budak kasim yang berotot. Mereka memanjakan tubuh dengan segala kemewah-an. Mereka berusaha terus mempercantik, meng-halus-kan, bersaing satu sama lain untuk memperebutkan kesempatan agar mereka bisa dipilih sultan untuk menghasilkan anak.

Bila kita misalnya sekarang ke Istana Topkapi, Istam-bul—bekas is-tana dinasti Ottoman yang berhek-tare-hektare itu—kompleks harem masih terjaga de-ngan rapi, meski tak lagi berfungsi. Kita bisa melihat kamar dan ruang-ruang luks bekas selir itu, mulai- kamar mandi, kamar tidur, sampai kolam-kolam be-rendam. Bila memasuki bekas kawasan lain istana,- misalnya tempat pribadi sultan menyimpan barang-barang yang dipercaya milik Nabi Muhammad, se-perti pedang atau helai rambut nabi, pengunjung bo-leh membawa guide dari luar. Tapi, untuk memasuki r-uangan bekas harem ini—seperti yang pernah dilakukan Tempo dalam sebuah perjalanan—pe-ngunjung harus membayar guide khusus dari istana. Tampaknya, itu untuk menghindari timbulnya informasi-informasi berbau erotis.

Film karya Ferzan membuka mata kita bahwa pe-rempuan-perempuan harem, yang pada zaman Otoman menjadi bagian istimewa kerajaan, pada era Tur-ki mengalami perubah-an sosial akibat perubahan kerajaan yang menjadi republik. Mereka tercerai-berai. Ketika istana diserbu, mereka lalu telantar. Kemudian ba-nyak yang hidup susah. Terbiasa seha-ri-hari hidup dalam kenikmatan cita rasa, mereka ke-mudian menjadi bukan siapa-siapa. Tak ada yang ingat lagi siapa me-reka. Hal yang getir seperti ini tak dapat dibidik oleh Memoirs of a Geisha.

Di akhir cerita, dalam novel (meski tak ada di film), hidup Sayuri berakhir di New York. Ia dibawa oleh sang danna, Iwamura, ke New York. Mulanya ia menyangka tak bakal betah, kesepian, dan asing. Tapi, dalam waktu singkat, New York dirasakannya seba-gai kota menggairahkan. Sayuri kemudian merasa-kan New York seperti rumahnya sendiri.

Di dalam novel dan film, kisah Sayuri adalah kisah Cinderella.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home