Resensi Horison Esai Indonesia
Judul: Horison Esai
Secara sederhana esai dapat diartikan sebagai bentuk tulisan berisi uraian yang bersifat pribadi, akrab, dan asyik layaknya obrolan sungguh-sungguh tetapi terasa rileks dan tidak bertele-tele mengenai persoalan sastra, filsafat, ekonomi, politik, hukum, sosial, medis, dan berbagai persoalan atau disiplin ilmu yang lain. Esai tersusun di antara obyektivitas dan subyektivitas dan memungkinkannya bersikap santai dan juga kritis terhadap kelugasan ilmu dan kelenturan seni.
Bentuk tulisan ini menurut catatan sejarah mulai dikenal luas setelah penulis Prancis, Michel Eyquem de Montaigne (1533-1592), menerbitkan buku Essais pada 1580 (buku ini terbit tiga jilid dan jilid terakhir terbit pada 1588) dan sejak itu banyak penulis terangsang untuk melanjutkan bentuk ini dan masih terus berlanjut sampai sekarang. Di Indonesia bentuk esai dipopulerkan oleh HB Jassin melalui tinjauan-tinjauannya mengenai karya-karya sastra Indonesia yang kemudian dibukukan (sebanyak empat jilid) dengan judul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (1985), tapi Jassin tidak bisa menerangjelaskan rumusan esai.
Apa yang membedakan esai dan bukan esai? Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dilakukan dengan merujuk pendapat-pendapat atau rumusan-rumusan yang telah ada, tetapi pendapat-pendapat atau rumusan-rumusan yang telah ada sering kali masih tidak lengkap dan kadang bertolak belakang sehingga masih mengandung kekurangan juga. Misal mengenai ukuran esai, ada yang menyatakan bebas, sedang, dan dapat dibaca sekali duduk; mengenai isi esai, ada yang menyatakan berupa analisis, penafsiran dan uraian (sastra, budaya, filsafat, ilmu); dan demikian juga mengenai gaya dan metode esai ada yang menyatakan bebas dan ada yang menyatakan teratur.
Penjelasan mengenai esai dapat lebih "aman dan mudah dimengerti" jika ditempuh dengan cara meminjam pembagian model penalaran ala Edward de Bono. Menurut De Bono, penalaran dapat dibagi menjadi dua model. Pertama, model penalaran vertikal (memusatkan perhatian dan mengesampingkan sesuatu yang tidak relevan) dan kedua model penalaran lateral (membukakan perhatian dan menerima semua kemungkinan dan pengaruh).
Dari pembagian model penalaran ini, esai cenderung lebih mengamalkan penalaran lateral karena esai cenderung tidak analitis dan acak, melainkan dapat melompat-lompat dan provokatif. Sebab, esai menurut makna asal katanya adalah sebuah upaya atau percobaan yang tidak harus menjawab suatu persoalan secara final, tetapi lebih ingin merangsang. Menurut Francis Bacon, esai lebih sebagai butir garam pembangkit selera ketimbang sebuah makanan yang mengenyangkan.
Lalu bagaimana pengertian esai menurut Montaigne? Montaigne menuliskan sikap dan pandangannya mengenai esai melalui deskripsi-deskripsinya yang tersirat, sahaja, rendah hati tetapi jernih dalam sebuah kata pengantar bukunya: "Pembaca, ini sebuah buku yang jujur. Anda diperingatkan semenjak awal bahwa dalam buku ini telah saya tetapkan suatu tujuan yang bersifat kekeluargaan dan pribadi. Tidak terpikir oleh saya bahwa buku ini harus bermanfaat untuk anda atau harus memuliakan diri saya. Maksud itu berada di luar kemampuan saya. Buku ini saya persembahkan kepada para kerabat dan handai taulan agar dapat mereka manfaatkan secara pribadi sehingga ketika saya tidak lagi berada di tengah-tengah mereka (suatu hal yang pasti segera mereka alami), dapatlah mereka temukan di dalamnya beberapa sifat dari kebiasaan dan rasa humor saya, dan mudah-mudahan, dengan cara itu, pengetahuan yang telah mereka peroleh tentang diri saya tetap awet dan selalu hidup" (dari "To The Reader").
KEDUA jilid buku kolosal ini telah mencari, memilih, dan menampung esai-esai karya para penulis kita sejak sebelum kemerdekaan (Haji Agus Salim, kelahiran 1884) sampai masa mutakhir (Sita Aripurnami, kelahiran 1971) dan dari beragam latar belakang (pejuang, ulama, sejarawan, pastor, aktivis, dokter, politisi, pelukis, ilmuwan, sastrawan, ekonom, akademisi, birokrat, wartawan, penulis, dan lain-lain) dan juga beragam sudut pandang maupun pokok persoalan (sastra, nasionalisme, politik, musik, filsafat, dan lain-lain).
Buku ini adalah salah satu album esai penulis kita yang tergolong sangat lengkap karena telah menampung karya penulis dari berbagai belahan masa sehingga bisa merekam perjalanan esai kita secara representatif dari sisi kesejarahan maupun substansi. Dari sini tampak bahwa esai telah melabrak garis batas spesialisasi. Esai menjadi tempat perjumpaan banyak orang dan dalam perbedaan-perbedaan yang hangat dan mengasyikkan.
Akan tetapi, ada nama-nama yang menurut saya masih tercecer dari buku ini dan tidak mendapatkan penjelasan dari para editor secara tertulis di dalam kata pengantar, misalnya Chairil Anwar, Faruk HT, Arief B Prasetyo, Maman S Mahayana, Adi Wicaksono, Edy A Effendi, Nirwan Ahmad Arsuka, dan Sitor Situmorang yang esainya juga berbobot dan cukup dikenal selama ini, tetapi tidak diikutkan dalam buku ini. Chairil Anwar telah menulis esai-esai yang cukup bernas, padat, dan populer; esai-esai Arief B Prasetyo tajam dan dengan memakai pendekatan yang sangat kompleks, atau Faruk HT yang banyak menulis esai-esai panjang yang kokoh secara teoretis.
Tentu para editor buku ini memiliki dasar alasan tersendiri kenapa nama-nama itu tidak diikutkan dalam buku ini meskipun keterceceran itu dapat dibilang sebagai sebuah kejadian yang tidak bijaksana. Atau barangkali juga ini lebih menyangkut pada persoalan pilihan yang harus ditempuh ketimbang sebuah kesalahan yang tidak disengaja.
Terlepas dari keterceceran itu, ternyata esai dan para penulis esai dalam buku ini banyak juga yang selama ini belum akrab di belantika kepenulisan kita. Maka ini indikator sederhana bahwa buku ini dikerjakan bukan hanya dengan cara yang sangat gampangan langsung merekam jejak-jejak besar yang sudah dikenal, tetapi juga berusaha mencari, menelusuri, menemukan, mengumpulkan, dan kemudian memilih jejak-jejak besar lain yang selama ini masih "tersembunyi" atau bukan dianggap sebagai esai sama sekali.
Surat-surat pribadi Sutan Syahrir yang berisikan catatan selama perjalanannya menuju tempat pembuangannya (Ambon) dan ketika ia berada di tempat pembuangan sebagaimana terungkap dalam "Intermezo", tulisan Tan Malaka "Pendahuluan MADILOG" yang sesak dengan dalil-dalil filsafat dan temuan ilmu pengetahuannya untuk mendukung gagasan ideologinya, atau tulisan Soekarno yang bobot politiknya tinggi dan cenderung blak-blakan seperti dalam "Laki-Laki dan Perempuan" adalah karya-karya tulis yang menurut para editor buku ini adalah esai-esai yang baik. Penemuan-penemuan ini sangat penting dan mengandung kadar rintisan yang tinggi sebagai sebuah upaya penilaian ulang dan pemberian penghargaan terhadap karya-karya tulis yang sebelumnya tidak dijamah secara adil atau dianggap sama sekali bukan esai.
1 Comments:
Your blog keeps getting better and better! Your older articles are not as good as newer ones you have a lot more creativity and originality now keep it up!
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home