Friday, August 18, 2006

Saya Terperangkap Estetika

Saya pernah ikut dikusi ‘Bilik Sastra,’ sebuah komunitas diskusi yang setiap bulan menampilkan sastrawan Lampung, untuk mempersentasikan karya didepan sastrawan lain kemudian membahasnya bersama. Saya terkagum sekaligus binggung. Kagum karna, melihat penyair ternyata berkerja keras memberdayakan kata-kata dan mengikatnya menjadi sebuah konstruksi makna yang hidup dan berkobar. Bingung, karan dipaksa untuk memahami deretan perdebatan yang berkembang sesama penyair. Di “Bilik Sastra’ para penyair berargumen dengan corak dan style masing-masing, misalnya, penyair berwarna surealisme, dadais, simbolis atau yang lain, mengunakan teori aliarannya, untuk mendebat penyair yang tidak sealiran. Dan itu membuat saya terus mengalir binggung. Begitu rumit tampaknya untuk menikmati sastra. Sehingga para tokoh aliran sastra itu, sangat perlu memperdebatkannya. Anehnya setelah perdebatan yang simpang siur dikepala itu, tidak mempengaruhi apresiasi saya terhadap karya yang dibahas, melaikan sebuah informasi tentang si pembahas dan yang dibahas. Lalu diakhir sesi, ada pertanyaan yang tersisa “memang apa sih definisi sastra itu?” jawabannya pasti tidak konkrit jika didebatkan, tidak seperti rumus matematika. Lantaran ini saya mencoba mencari definisi sastra, lalu saya membuka kamus besar bahasa Indonesia mencari arti sastra. Menurut KBBI arti sastra adalah: (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); (2) karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya. Lalu apa definisi sastra itu? karna saya tidak temukan definisinnya seperti yang di perdebatan. kemudian saya membuka kamus bahasa Inggris dan menemukan kata literature. Arti literature (menurut kamus online WorldNet) adalah: 1: creative writing of recognized artistic value 2: the humanistic study of a body of literature; “he took a course in French literature” 3: published writings in a particular style on a particular subject; “the technical literature”; “one aspect of Waterloo has not yet been treated in the literature” 4: the profession or art of a writer; “her place in literature is secure” So, apakah sastra mempunyai definisi yang sama dengan literature? *** Saya pernah mencoba membuat puisi, yang rencananya beraliran surealisme, macam puisi Goenawan Moehamad yang sering menginspirasi. Dorongan untuk mencipta puisi yang berangkat dari keinginan memunculkan estetika tertentu ini. Ternyata tidak dapat membebaskan diri saya. Saat mulai menuliskan baris-baris puisi, Saya sudah mulai berpikir untuk menjadikannya puisi harus bercorak pada warna surealisme. Saat itu eksploitasi bahasa dan kata menjadi sangat terbatas dan terbelenggu. Imaji yang dibangun tidak bisa hadir secara spontan, tidak bisa utuh, dipaksakan. Kawan saya mengkritik. Saya gagal membangun komunikasi dengan pembaca. Akhirnya dengan mengabaikan semua teori sastra, dan menyerahkannya kepada indrawi. Saya membaca puisi koleksi favorit, berbagai keriuhan, tumpang tindih, simpang-siur, bahkan remuk dengan berbagai bentuk frase, simbol, dan kata, ternyata dapat membangun susunan imaji yang utuh. Saya menikmatinya, masabodo, tentang teori dan style penulisannya. Lalu saya bandingkan dengan puisi yang saya dapat dari novel tenlit bertema ‘kisah cinta anak sekolah.’ jebakan tema itu membuat penyairnya harus bisa berkomunikasi dan berinteraksi sejelas-jelasnya pada pembaca, dan akhirnya puisi itu gagal mengeksploitasi bahasa sebagai sebuah seni ditelingga saya. Yang muncul pada puisi itu adalah sederetan kata-kata klise yang sudah usang, seperti mawar, merpati, laut, air mata, sepi, sunyi, bunga,kota, bulan, matahari, dan sebagainya, yang digunakan tanpa upaya rekonstruksi pemaknaan yang mampu melahirkan arti baru. Pada situasi demikian, estetika bukanlah sebuah kitab suci yang mutlak dihikmati. Juga tidak dengan komunikasi. Penyair tidak boleh mengabdi pada estetika an sich dan mendewakan komunikasi. Puisi sebagai sebuah dunia yang samar bagai sebuah ruang kosong yang setiap orang (pembaca) dapat menziarahinya dan setiap kali pula dapat menandainya, menafsirkannya, bahkan mempertanyakannya, seperti mereka memaknai, menandai, menafsirkan, dan menanyai masa silam dan harapan masa depannya. Saya setuju, kata adalah senjata dan amunisi bagi seorang penyair. Karenanya setiap saat penyair harus bergelut, mencari, dan menghisap kata-kata. Penyair tak boleh berhenti pada satu titik pencarian atau satu eksploitasi saja namun selalu dalam proses pencarian dan eksplotasi yang terus-menerus. Jika penyair mandeg karna menjadi nabi, paus, atau tabib sastra, maka dia sudah membatasi proses kreatifnya. Menjadi objek, bukan subjek, dan selalu tidak setuju dengan hal baru di luar dirinya. Ibarat sebuah jeda yang sekejap akan melangkah lagi ke titik yang lain, penyair harus hidup pada berbagai titik. Hingga, sebuah puisi akan menjelma berbagai keriuhan, simpang-siur, tumpah ruah bahkan remuk dengan berbagai bentuk frase, simbol, dan kata. Kata yang berkelebat ke berbagai titik itu, dengan segala keriuhannya itu, akan membangun susunan suatu bangunan imaji yang disebut puisi. Sesungguhnya puisi itu adalah bangunan imaji yang utuh. Keutuhan bangunan yang dibangun dengan kata-kata ini akan menjadi aspek penentu bagus tidaknya, mampu tidaknya menghadirkan sebuah imaji yang kuat, jernih, dan baru. Pada situasi demikianlah puisi merupakan sebuah tempat pertemuan. Arena yang siapa saja dapat mempergunakannya untuk berdiolog untuk hanya sekedar menatap, memberi harapan-harapan, menyumpah, membangun ingatan, atau meratapi sejarah. Hanya saja bila seorang penyair tidak mampu menghadirkan Imaji puisi, dengan memilih untaian kata, frase, klausa atau kalimat yang mampu menciptakan gambaran konkret di kepala pembaca. Kegagalan ini menyebabkan puisi tak dapat dinikmati, gelap, bahkan gagal menyampaikan sesuatu pada pembaca. Hanya alasan jika penyair mengeluh, karana eksploitasi bahasa dengan segenap eksperimentasinya sudah dikuasai dan dijelajahi para penyair pendahulunya. Karna seorang penyair harus bisa menciptakan lambang-lambangnya sendiri dalam ruang kreatitivitas dan orisinalitasnya. Barangkali benar kata Nirwan, bahwa tak seorang penyair pun mampu menciptakan lambang-lambangnya sendiri. Sebuah puisi adalah organisme yang melayang-layang dalam serumpun populasi yang berkelebat dalam habitat-habitat, melalang buana dalam ekosistem lambang-lambang, berevolusi terus-menerus. Maka setiap penyair tak pernah mampu menghitung dan melunasi hutang-hutangnya pada penyair lain. Namun seperti cahaya matahari yang tanpa di undang menerobos celah pintu dan jendela. Penyair dalam melunasi hutang-hutangnya itu, selalu dapat menampilkan dan menunjukkan titik-titik dan lobang yang berbeda.

2 Comments:

Blogger Kang Geri said...

duy, intinya elo nikmati kata demi kata yang elo baca, lalu elo renungkan dengan hati dan pikiran, kalo elo banyak waktu coba elo rekontruksi semua yang telah masuk ke dalam memori.
itulas percikan sastra

Tuesday, August 29, 2006  
Blogger Yudi Nopriansyah said...

untuk Abah Geri, tengkiyuk masukannya, tar gw bakal coba mencari percikan itu.

Untuk my dear Aji, gimana penelitian tentang anarkisme ormasnya? dan apakah masih mendalami filsafat esek-esek he..he

Untuk Maia, gimana kabar Bandung? apa masih suka dengan ....? Wah senangnya ternyata kau mau mengunjuggi blog ini.

untuk pertanyaanmu, sepertinya sudah kita bahas waktu kita diskusi di Mercubuana Jakarta. Dulu kau kasih pertanyaan kenapa, banyak sastrawan yang menolak karya Pramoedya di golongkan sebagai taks sastra. kau juga cerita, kenapa pram tidak berpuisi. Dan Kalau tidak salah, kita hanya beda pendapat tentang catatan pinggir Goenawan Moehamad yang kau bilang adalah taks sastra. Ah, sudahlah setidaknya apa yang ku pukirkan sudah kutulis. Intinya aku juga punya kegelisahan yang sama dengan kamu. Maia kapan ya, kita bisa ketemu lagi? Naik busway dan nyasar di Jakarta yang kau bilang ibu kota sampah.

Friday, September 01, 2006  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home