Tuesday, August 29, 2006

Teknokra Bukan "Teknokrat"

Tahun 2005, Pemimpin redaksi The Jakarta Post, Endy M Bayuni datang ke Lampung. Dia di undang menjadi pemateri pendidikan jurnalistik tingkat pengelola oleh Teknokra. Peserta didiknya pemimpin umum Pers Mahasiswa dari berbagai Universitas se-Indonesia. Sebelumnya Endy membaca setumpuk majalah dari setiap persma yang ikut pelatihan untuk menjadi bahan pelatihan. Dia bilang, kagum dengan wartawan mahasiswa. Berkerja tanpa dibayar namun tetap menghasilkan tulisan yang berbobot. “kalian kawah canradimuka wartawan Indonesia” kata Endy. Setelah pelatihan usai. Kepada panitai, Endy berjanji akan memuat salah satu Propil pers Mahasiswa di The Jakarta Post, koran harian nasional berbahasa Inggris, tempatnya memimpin. Tak disangka dua minggu selesai pelatihan Oyos Saroso HN, wartawan The Jakarta Post ditugaskan untuk meliput aktivitas sehari-hari Teknokra. Lebih membanggakan lagi ketika 19 Oktober 2005, setengah halaman rubrik National News, koran The Jakarta Post memuat berita yang di tulis Oyos Saroso HN, dengan judul Student newspapers told to change their strategies. Dalam rubrik yang sama, The Jakarta Post juga memberitakan tentang fotografer Teknokra yang meninggal di popor senapan ketika sedang meliput berjudul Atul: Forgotten martyrs of reform. Atul atau Saidatul Fitria adalah fotografer Teknokra, ketika demontrasi besar mahasiswa tahun 1999, demonstran cheous dengan aparat di depan kampus Universitas Bandar Lampung (UBL), Atul meminta dirinya dikirim meliput, pemimpin umum setuju asal ditemani Reno Setiaji anggota magang Teknokra saat itu. Atul dengan semangat merekam tujuh pristiwa kerusuhan dalam kamera nikon f 301. Sebelum dia dikejar aparat dan tiba hantaman benda tumpul yang meretakan tengkorang dahi kepalanya 8 cm. Reno sendiri tertembak perutnya. Atul meningal empat hari kemudian di Rumah Sakit Advent. Sedang Reno selamat, peluru diperutnya berhasil di keluarkan. Sekarang kami menyebut sekretariatan Teknokra dengan Graha Saidarul Fitria, dengan demikian perjuangan dan semangat Atul, akan selalu hadir dalam jiwa kami.Foto: Yudi, Mayna-kay, Ronkay, Endy Wife, Hen-kay, Endy M Banyuni, Riekay, Sabam Leo Batubara, Ghizlkay, Irmakay.
***
29 tahun lalu, dalam medio 1975-1977, Teknokra hanya sebuah ide. Asep Unik sebagai koordinator bidang Humas, Penerangan dan Publikasi dalam struktur DEMA (Dewan Mahasiswa) sekarang disebut BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). menyusun program kerja (progja). Asep bersama tim perumus progja yang terdiri dari: Muhajir Utomo (ketua umum DEMA) dan M. Thoha B Sampurna Jaya (Koordinator Bidang Kemahasiswaan), mencoba merumuskan progja bidangnya. Untuk bidang Humas, Penerangan dan Publikasi, Asep Unik membuat salah satu progja yakni menerbitkan majalah dan koran dengan nama Teknokra. Majalah dan koran Teknokra ini diterbitkan dengan tujuan untuk menciptakan iklim komunikasi dua arah antara mahasiswa, dosen dan masyarakat umum, ditambah tujuan-tujuan praktis yang bermanfaat bagi mahasiswa yang berkecimpung di dalamnya. Adapun tujuan praktis dari diterbitkannya majalah dan koran Teknokra adalah untuk melatih kematangan mahasiswa dalam penulisan dan meningkatkan intensitas kegairahan membaca serta mempersiapkan diri untuk menghadapi penulisan skripsi, melatih ketajaman mahasiswa dalam menganalisa, memperkaya kreatifitas dan menyebarluaskan penyampaian ilmu, teknologi, kebudayaan, sekaligus media promosi komponen mahasiswa Unila, serta untuk melengkapi dan memperluas penerbitan atau penulisan populer kemahasiswaan. Namun terkadang kenyataan tak selamanya sesuai rencana. Rencana untuk menerbitkan majalah atau koran hanya menjadi mimpi, Teknokra hanya terbit hanya berbentuk buletin 30 halaman. Isinya berbeda jauh dari isi Teknokra sekarang, buletin Teknokra dulu 80 persen berisi tulisan opini atau tulisan ilmiah dari dosen dan mahasiswa, 20 persen berisi artikel lepas seperti cerpen, puisi dan sedikit berita bersifat straight news seputar kampus. Prihal nama Teknokra yang merupakan akronim Teknologi, Inovasi, Kreativitas dan Aktivitas. Di kancah oleh Asep unik yang sebenarnya merujuk pada kata Teknokrat. Saat itu kata Teknokrat ini sedang ngetrend untuk menyebut golongan intelektual, orang-orang yang pintar, cerdas dan selalu berpikir. Dan memang harapannya, orang-orang yang terlibat di Teknokra ini akan seperti itu. Akan tetapi nama ini menurut Asep Unik, terlalu berat. Ada sebuah ketakutan yang merasuki jika tahun-tahun kedepan, Unila umumnya atau Teknokra pada khususnya tak mampu menyandang nama besar tersebut. Serta ada kecemasan dari Asep Unik Cs akan keterkungkungan mereka dalam euforia sesaat ketika menggunakan kata Teknokrat. Dengan pertimbangan itu, maka kata Teknokrat tak jadi dipakai, tetapi tetap mengambil bagian dari kata Teknokrat tersebut yaitu kata Teknokra tanpa huruf “t” dibelakangnya. Akhirnya kata tersebutlah yang dipakai sebagai nama media yang akan diterbitkan.
**
Sekarang Teknokra hadir dalam empat terbitan yaitu Teknokra Majalah, Teknokra News, Teknokra On-line dan secara tentatif menerbitkan Buku. Kami juga merasa bertangung jawab untuk ikut perduli dengan mutu jurnalisme, sehingga program kerja tahunan Teknokra, selalu mencantumkan pelatihan jurnalistik ber-level daerah dan nasional dan juga melakukan bimbingan kepada pelajar sekolah. Memang tidak gampang untuk mengerjakan itu semua, 30 kru Teknokra ditambah anggota magang, terkadang larut dan jenuh dengan rutinitas penerbitan dan kegiatan. Disamping tututan untuk cepat lulus tentunya. Namun keingginan berkarya membuat kru kreatif untuk tetap nyaman, semisal menciptakan nama pangilan macam: Padly jadi Padkay, Doni—Dongkay, Roni—Ronkay, Anastasia jadi Anastasiakay, maksa…! (mereka didaulat kru sebagai keluarga bohai-kay). Suasana kekeluargaan diusahakan terbagun di Teknokra, bahkan sejak magang para anggota dinamai aneh macam: Jaling, Ling-lung, Towo, lemot. Bahkan Erie Khafif pemimpin redaksi punya nama magang Gondes (gondrong desa), meski sekarang rambutnya cepak, sekali gondes tetap gondes. Hidup gondes. Seperti kata Asep Unik, kami bukan ‘Teknokrat,’ kaum yang cerdas dan pintar. Kami hanya ‘Teknokra,’ kaum yang belajar ber-Teknologi, ber-Inovasi, mencoba-Kreatif dan ber-Aktivitas sebagai Jurnalis. Karna cerdas dan pintar bukanlah prodak, melaikan roses. “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah… Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Pramoedya Ananta Toer dalam Khotbah dari Jalan Hidup. Tetap Berpikir Merdeka Salam

8 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Apa Kabar Yudi dan Teknokra

Saya ikut dalam pelatihan itu. klo tidak salah Bung Yudi Ketuplaknya. Pak Endy orang hebat. Bersukur saya pernah mengenalnya. Salut untuk Teknokra yang dimuat di The Jakarta Post. Sayangnya tidak bisa melihat berita utuhnya. Kira-kira bisa didapat dimana berita Teknokra itu ya?

Salam Persma

Thursday, August 31, 2006  
Blogger Yudi Nopriansyah said...

Terimakasih komentarnya,

Waktu Pelatihan Jurnalistik Mahasiswa tingkat Pengelola se-Indonesia tahun 2005. Heni Fuji Astuti yang jadi ketua pelaksana. Saya hanya membantu Heni sebagai sekretaris. Berita Teknokra di The Jakarta Post, sudah saya posting di blog ini. dalam data base tulisan bulan Oktober.

Salam Persma

Friday, September 01, 2006  
Anonymous Anonymous said...

Yud, berita tentang Alm Atul fotografer Teknokra yang meninggal waktu meliput, ada yang pakai bahasa indonesia ngak? Berita di The Jakarta Post aku ngak ngerti. Kisah Atul ku pikir bisa jadi motivator bagi kawan-kawan Persma Se-Indonesia, bahkan wartawan pers Umum. Atul buakan saja pahlawan bagi kalian, tapi bagi seluruh Indonesia.

Sunday, September 03, 2006  
Blogger Kang Geri said...

yah memang persma adalah kawah candradimuka wartawan indonesia, mungkin!!!
karena ternyata belum banyak media yang menghargai persma atau alumni wartawan persma untuk menjadi bagian pers umum

Monday, September 04, 2006  
Anonymous Anonymous said...

Hi Abah,

Dibandingkan dengan tahun 90-an s/d 2000, Persma sekarang relatif di lirik oleh media umum. Terutama media Umum Nasional. Semisal: Koran dan Majalah Tempo. Mereka mensyaratkan calon wartawannya pernah berkecimpung di Persma atau kegiatan ekstra yang sejenis. Pun halnya dengan Kompas, Bisnis Indonesia dan Gatra. Bahkan Trans TV dan AN Tv juga tahun ini menerapkan kebijakan serupa. Yudi tahu itu. Tahun lalu di Jakarta, Eriyanto dari Lembaga Survei Indonesia (LSI). Pernah memaparkannya. Kalau tidak salah, Alumni Teknokra, Himah, Balairung, yang masih berstatus mahasiswa, bisa masuk Bisnis Indonesia, tanpa embel-embel ijasah s1.

Masalah Persma di bilang Kawah candradimuka, itu aku sepakat. Tapi tergantung orangnya. Karna tidak semua alumni Persma inggin jadi wartawan. seperti aku yang punya cita-cita inggin menjadi penulis.

Salam
Maia

Wednesday, September 06, 2006  
Blogger Kang Geri said...

yup, betul sih.
cuma persma hanya sebagai informasi tambahan.
kadang masih liat titel juga, apalagi kalo anak persma yang nggak selesai, kan mereka tetep punya kapabilitas di bidang pers, tapi cause of no titel, jadi mentok dech.
bravo persma

lama kenal maia

Thursday, September 07, 2006  
Blogger Yudi Nopriansyah said...

Wah terimakasih nih, komentarnya.
Aku seneng kolom comment tulisan ku ini bisa jadi ajang diskusi tentang persma.

Sebelum coomentnya abah masuk, sebenernya aku lagi Cheting sama Maia, dia penasaran dengan cerita Alm Atul, versi indonesianya. Aku sendiri ngak punya copy berita tentang meninggalnya alm. Aku banyak dikasih tahu senior Teknokra yang tahu persis pristiwa. Memang dulu pernah ada beritanya di muat di beberapa media. Bahkan Juwendra (PU saat itu)pernah menulis dalam edisi khusus, namun lebih pada perengungannya pribadi. Untuk kronologis yang diminta maia, aku jajikan segera kutulis lengkap dalam kolom berbeda. Semoga keingginan Maia untuk menerbitkannya di majalah Suara Reformasi Bandung, bisa bermanfaat.

Salam

Thursday, September 07, 2006  
Blogger putri said...

alow.... q anak stikes dijogjakarta..

bwt tmenku yg kul di teknokrat jur bhs inggris..

gmn kbrnya?????

Wednesday, January 21, 2009  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home