Wednesday, April 21, 2004

Mengukur Kapitalisme dalam Seni

Seni dan jaman. Dua hal yang saling terkait. Ketika jaman meretas peradaban modern, maka rangkakan modernitas seni juga ketara. Munculnya ciri-ciri tersebut bisa dibilang sebuah kemajuan. Atau kemunduran? Bila dalam perspektif budaya lokal justru berimbas memasungnya. Dan lambat laun tergusur? Misalnya pada masa komunal primitif. Seni berfungsi menggambarkan pengalaman berburu binatang atau sekedar ritual keagamaan.Sedang seiring munculnya feodalisme, karya seni lebih dominan memuliakan raja dan kehidupan istana. Kemudian pada perkembangannya, hingga seni sudah mulai diukur dengan uang sebagai komoditi pengakumulasi kapital di awal bangkitnya kapitalisme.Bahkan di jaman kapital ini, kemudian berkembang ilusi di kalangan pekerja seni. Karya seni merupakan budaya dari kaum kapitalis di era globalisasi. Dengan anggapan, seni memiliki nilai jual itulah, yang merupakan karya seni terbaik. Karya seni yang harus bisa memberikan nilai jual, dan berimplikasi untuk menghasilkan uang. Memang benar jika karya seni dapat berkembang pesat karena sistem kapitalisme. Tetapi bila karya seni milik sah sistem kapitalime, hal ini yang perlu diluruskan karena pada zaman komunal primitif, yang tentunya corak produksi kapitalisme belum hadir, kesenian sudah lahir mendampingi kegiatan manusia. Hingga bagaimana dengan budaya lokal? Kesenian pada corak produksi kapitalisme telah digunakan kelas berkuasa sebagai alat untuk mendominasi budaya dan ideologi masyarakat. Seniman secara tidak sadar telah dipaksa mengabdi pada sistem kapitalisme. Aspek-aspek pembentuk kebudayaan seperti kesenian, adat-istiadat, kebiasaan, cara berpakaian, cara makan, cara bersopan–santun dan sebagainya akan memiliki patron, menyesuaikan dengan pihak yang menguasai budaya global di dunia. Misalnya gaya hidup Amerika yang senangan bermain basket, berbusana seksi, dan makanan fast food telah berhasil dijual ke seluruh dunia oleh kaum kapitalis, yang kemudian semakin menggelembungkan akumulasi modal Amerika. Tentu saja dalam melihat masalah ini, tidak melulu lewat kacamata hitam putih seperti itu, tetapi harus ada pemahaman pekerja seni budaya dan masyarakat menilai kembali bagaimana dominasi sistem kapitalisme telah merusak tatanan budaya dunia. Sehingga meskipun membawa berbagai kemajuan kehidupan manusia di muka bumi ini, dalam kenyataannya juga mematikan potensi –potensi budaya lokal. Banyak tradisi asli masyarakat suku budaya lokal yang kemudian punah, karena seniman terlena untuk masuk dalam sistem yang hanya mengejar selera pasar sehingga melupakan idealisme kesenian. Yang akhirnya produk kesenian lahir serba seragam yang secara nyata membunuh kreativitas. Keberanian untuk berbeda dari yang ada dipasaran harus ditinjau ulang oleh pekerja seni (seniman). Masalah ini akan menjadi kronis, jika pekerja seni tidak memiliki kesadaran untuk membangun sebuah impiannya. Misalnya saja untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri, baik dalam dunia perfilman, musik dan budaya populer lainnya. Hal ini akan terjadi begitu terus-menerus, jika tidak ada perjuangan budaya yang terorganisir di kalangan pekerja seni itu sendiri. Bangsa Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya lokal harusnya dapat menggunakan kekayaan budaya tersebut untuk mengurangi dominasi pengaruh budaya global yang didukung oleh sistem kapitalisme dunia. Budaya lokal akan tersingkir dan akhirnya punah karena dianggap tidak bermutu atau kalah bersaing dengan budaya asing yang disebarkan di negara-negara berkembang hanya untuk mengeruk keuntungan (Kapital). Tengok budaya suku Dayak di Kalimantan, suku Asmat di Irian Jaya. Padahal sebenarnya karena adanya kaum pemilik modal yang hanya mengejar keuntungan (uang), mereka tidak mempedulikan pengembangan budaya lokal untuk dihidupkan, kecuali tentu saja jika itu menguntungkan dari kacamata pemilik modal. Hal ini menggambarkan ketertindasan seni dan budaya yang ada di bumi nusantara. Nantinya sejarah akan dipenuhi dengan tertindasnya budaya daerah yang semakin lama semakin hilang dari kehidupan, dengan pembenaran tentu saja karena masyarakat pendukungnya sudah tidak memperdulikan sehingga mati begitu saja. Perlawanan Budaya. Jika merujuk pada seorang penyanyi beraliran musik regge asal Jamaika, dengan ciri khas dandanan dan rambut kimbalnya, Bob Marley telah berkesenian sesuai dengan kehendak hatinya. Menyuarakan kaum tertindas dalam lagunya tanpa memikirkan kepentingan pasar dan niat untuk membentuk organisasi perlawanan terhadap sistem yang berkuasa. Begitu juga dengan di Indonesia, perlawanan terhadap fenomena sosial dan rezim yang berkuasa juga ditunjukan oleh Iwan Fals, Sawung Jabo, Edane dalam lagu-lagunya yang banyak mengangkat tema kritik sosial. Pada kenyataannya yang Iwan Fals, Sawung Jabo, dan Edane lakukan hal adalah sama dengan yang dilakukan oleh Bob Marley. Yaitu sama-sama berjuang dan melakukan perlawanan sosial lewat karya seni, khususnya lewat lagu yang mereka ciptakan. Mereka menyuarakan apa yang menjadi kehendak hatinya dan tanpa adanya permintaan pasar. Tapi perjuangan yang mereka suarakan hanya lewat karyanya saja, tanpa bermaksud untuk memobilisasi ide dari perjuangannya dengan membentuk organisasi sosial. Alasan klise yang sering diutarakan seniman dalam berjuang, untuk tidak membentuk organisasi sosial adalah agar menjaga kemurnian kesenian itu, meski tema-tema yang diangkatnya bermuatan politis. Seniman seperti ini tidak memiliki niatan membentuk organisasi perlawanan untuk menolong kaum tertindas yang sering disuarakan lewat lagunya. Mereka tetap konsisten berjuang hanya melalui jalur kesenian dan karya-karyanya yang kritis terhadap rezim berkuasa. Perjuangan untuk membebaskan rakyat jelata dari penindasan, memang tak dapat dilakukan secara individu tetapi haruslah secara terorganisir dan kontinu. Tentu saja bila menggunakan cara ini, sudah akan masuk dalam wilayah yang bersifat politis (dalam artian politik disini adalah perjuangan kepentingan, apapun kepentingan tersebut). Adalah Marcus Garvey yang mempelopori perjuangan kaum negro secara terorganisir dengan membentuk “The Universal Negro Improvement Association” yaitu organisasi yang membangun kesadaran baru diantara orang-orang asli Jamaika pada tahun 1914 di Jamaika. Hanya saja selama ini, negara yang dikuasai suasana depolitisasi di segala aspek kehidupan sehingga sampai sekarang banyak yang terilusi, tidak melihat perjuangan kepentingan sebagai perjuangan politik, dan tetap menganggap politik sebagai sesuatu yang kotor. Sumbangan terbesar dari Bob Marley adalah mempopulerkan Rastafari keseluruh dunia lewat lagu dan musik yang dimainkan. Seandainya Marcus Garvey tidak membentuk organisasi perlawanan, mungkin budaya rambut rasta tidak akan mendunia seperti sekarang. Budaya yang notabene nya milik kaum kulit hitam, yang sering diidentikkan dengan budaya kaum budak, sekarang justru dihargai oleh kaum kulit putih. Bahkan hal ini dijadikan komoditi ‘jualan’ keseluruh dunia oleh kaum kapitalis karena mendatangkan keuntungan. Tengok saja dari cara berpakaian, jenis musik yang sering dilantunkan kaum kulit hitam, gaya rambut kaum hitam akhirnya sekarang diadopsi oleh kaum kulit putih yang dahulu merasa yang membuat budaya dunia. Perlawanan di Indonesia Permasalahannya sekarang adalah pekerja seni di Indonesia yang sudah memiliki kesadaran, mempunyai sebuah pilihan bagaimana memaksimalkan budaya populer yang dikuasai untuk membantu gerakan pembebasan kaum tertindas. Budaya populer yang berwujud musik, film, karya sastra, teater, komik, cerita dalam media massa seperti majalah, buku, koran, kaset, dan sebagainya bisa digunakan untuk menyuarakan penderitaan rakyat tertindas sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari karya seni orisinil yang dibuat oleh seniman. Karya Seni yang hanya menjadi intrumen hegemoni dari budaya global membuat ilusi-ilusi dan fantasi dimana kemudian secara tidak disadari membuat penikmat lupa terhadap realitas sosial disekitarnya. Yang lebih parah lagi adalah implikasinya terhadap kaum tertindas; dimana disaat mereka seharusnya sedang berpikir dan mengusahakan terwujudnya suatu perubahan menuju keadaan yang lebih baik, seniman-budayawan malah terlena dalam suasana mabuk keharuan, cinta, kasih sayang, dan kondisi melankolis. Seni sebagai konsep perlawanan adalah subordinat dari sebuah perlawanan budaya (counter cultur). Konsuekensinya karya seni tersebut akan terpinggirkan meski mungkin cuma sementara dan akan menghadapi penolakan secara reaksioner dari masyarakat. Karya seperti ini juga memiliki risiko "dijinakkan" oleh hegemoni sistem yang ada dengan mengubahnya menjadi sekedar konsep alternatif yang kemudian bakal menjadi mainstream kesenian. Dalam konteks gerakan perubahan, seni adalah sebuah media sekaligus alternatif perlawanan. Meski begitu seni tidak dapat lepas sebagai sebuah bentuk perlawanan budaya (counter culture) tersendiri. Karya seni perlawanan dapat mengartikulasikan secara sekaligus hasrat ekspresi seniman dengan tanpa menegasikan idealisme dan potensi revolusioner-nya. Maka kapasitas dan kapabilitas seorang seniman teruji disini, dimana karya –karya seni baru tercipta sebagai bagian dari sebuah sinergisitas gerakan budaya menuju tranformasi sosial budaya. Perjuangan yang terorganisir ternyata lebih efektif dalam membangun kesamaan tujuan dalam satu komunitas. Mengambil contoh dalam gerakan musik bawah tanah, kelompok Front Anti Fasis (FAF), komunitas musik underground di Bandung, dalam waktu singkat setelah dibentuk tahun 1998 dapat menjadi media pendidikan politik bagi kawan–kawan pemusik underground di Bandung. Sehingga nantinya diharapkan seniman dapat memiliki kesadaran untuk ikut memperjuangkan hak-hak kaum tertindas. Dalam aksi–aksinya mereka mau turut dalam aksi buruh, tani ataupun kaum miskin kota yang tersisihkan karena demi sebuah jargon pembangunan. Dan yang lebih penting dengan jaringan yang begitu rapi mereka dapat melawan mayor label dalam memonopoli produksi kaset yang hanya dikehendaki pasar. Mereka berhasil menciptakan pasar dikalangan mereka sendiri. Penindasan sistem kapitalisme dalam industri musik yang sangat memonopoli selera pasar sehingga terjadilah gerakan musik ‘underground’. Di Yogyakarta, Lembaga Budaya Kerakyatan (LBK) "Taring Padi" berhasil memberi arah perkembangan Seni Rupa. Lembaga ini didirikan tanggal 21 Desember 1998 di kantor LBH Yogyakarta oleh beberapa mahasiswa Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. LBK Taring Padi didirikan dengan tujuan mewujudkan kehidupan seni yang dapat membuka peluang terselesaikan keinginan, kebutuhan dan cita-cita rakyat dengan menumbuhkan sikap kritis, progesif, memberi solusi dan revolusioner di masyarakat lewat karya seni. Seniman yang tergabung dalam organisasi ini memilih gaya realisme sosialis sebagai pedoman berkarya. Sedang idiologi yang dianut adalah sosialisme demokratis kerakyatan. Yang tergabung dalam LBK Taring Padi antara lain seniman, budayawan, kritikus seni, mahasiswa seni, pemusik underground, dsb. Bila yang dimusuhi oleh LBK Taring Padi adalah sistem kapitalisme maka mereka memiliki rumusan untuk memenangkan perjuangan itu dengan merumuskan musuh secara kolektif, yang kemudian dirumuskan dalam Lima Iblis Budaya yang terdiri dari individu atau lembaga yang menitikberatkan pada seni untuk seni, yang mensosialisasikan doktrin sesat untuk mempetahankan status quo, pemerintah, yang menjadikan seni sebagai komoditi, lembaga seni yang menjadi legimitator kesenian, sistem yang merusak moral pekerja seni karena melupakan seni dalam masyarakat akibat politik orde baru yang menjadikan ekonomi sebagai panglima. Pertanyaannya sekarang bagi kawan–kawan seniman dan budayawan yang tergerak untuk melawan penindasan budaya yang sepakat untuk memperjuangkan hak mereka agar dapat memiliki kesempatan mengembangkan budaya sendiri maka organisasi sebagai alat perjuangan kepentingan adalah kebutuhan mendesak yang harus segera dibentuk. Tugas yang juga mendesak adalah membuka kesadaran seniman sendiri yang masih banyak menganggap bahwa kondisi ini tidak ada hubungannya dengan sistem ekonomi yang diterapkan oleh negara Indonesia. Dengan menganalisa basis struktur yang terjadi di masyarakat tentunya seniman dapat melihat unsur ketertindasan mereka sehingga mereka lebih sedikit mendapat kesempatan untuk tampil dan mendapat pengakuan masyarakat. Kapitalisme hanya mencari keuntungan dan melihat sesuatu dari segi untung-rugi saja. Sehingga sangat sulit diharapkan bahwa budaya populer yang ada di nusantara akan maju. Pengalaman musik underground /musik indie dapat dijadikan contoh bagaimana mereka dapat memproduksi kaset yang tidak harus menyesuaikan selera pasar. Musik underground, film indie, karya sastra, teater, penerbitan majalah indie sebenarnya adalah salah satu metode untuk melawan sistem kapitalisme bukan hanya sekedar trend. Dan akhirnya perlawanan secara terorganisir lah seniman dan budayawan dapat melawan sistem yang tidak adil ini sehingga kepentingan untuk menghidupkan budaya lokal di negeri sendiri akan tercapai.

1 Comments:

Blogger wencing said...

wah tulisan lu nolong g bgt...
thx ya bro..

Sunday, September 07, 2008  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home